Dalam bukunya, Understanding Christian Missions, Herbert Kane mengungkapkan tentang beberapa pemahaman yang keliru (mitos) dari sebagian besar orang Kristen tentang pelayanan misi. Saya memperoleh pemahaman yang lebih baik melalui tulisannya dan saya ingin segenap pembaca juga memperoleh berkat yang sama. Untuk itu saya meringkaskan tulisannya tersebut seperti di bawah ini.
Masa kini banyak mitos (pandangan yang keliru) tentang misi Kristen. Jemaat gereja terus memberikan dukungan misi terbanyak dengan uang mereka, kadang-kadang dengan doa mereka; tetapi mereka jarang sekali membaca literatur tentang strategi dan kebijakan misi. Banyak yang hanya tahu sedikit sekali atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang kemajuan yang pernah tercapai di masa lalu atau hakekat dan meningkatnya permasalahan yang ada. Sebagian besar informasi yang diperoleh berasal dari kebaktian atau konferensi misi tahunan, yang biasanya lebih inspiratif ketimbang informatif. Beberapa mitos misi yang selama ini dipegang oleh umat Kristen adalah:
Banyak yang mengkaitkan misi dengan kolonialisme Barat ke Asia, Afrika, dan Oceania. Karena kolonialisme semacam itu kini sudah tidak ada lagi, berarti misi Kristen pun sudah bukan waktunya lagi. Era pelayanan misi telah lewat. Sebenarnya tidak demikian. Terkaitnya misi dengan kolonialisme bukan direncanakan dan dikehendaki Allah. Justru hal itu mendatangkan kerugian yang amat besar, menimbulkan luka-luka di hati bangsa yang dijajah. Jadi, sekalipun kini bukan masanya lagi kolonialisme dan imperialisme, tetapi misi Allah bagi penyelamatan jiwa-jiwa harus terus berlangsung.
Seringkali orang melihat wilayah atau ladang misi secara geografis. Amanat Agung Yesus Kristus agar setiap orang percaya memberitakan Injil kepada seluruh bangsa telah dipahami sebagai penginjilan ke negara lain, padahal yang dimaksudkan adalah secara etnografis, bukan geografis. Pelayanan misi bersifat lintas-budaya, dan itu tidak selalu berarti lintas negara. Ciri khas pelayanan lintas-budaya ini terletak kepada perbedaan budaya antara si pemberita Injil dan mereka yang diinjili. Bisa saja letaknya sekota atau sepulau; memang bisa juga ke luar negeri, tetapi tidak mutlak.
Dalam hal ini sekali lagi istilah misi dikaitkan dengan kolonialisme dan imperialisme, yang menjajah, membunuh, memperbudak, membodohi, dan membelenggu bangsa lain. Padahal tidak selalu demikian. Dari catatan sejarah, beberapa negara dunia ketiga yang pernah dijajah oleh bangsa Barat ada pula yang berkesempatan mengenal beberapa ilmu pengetahuan dan teknik-teknik baru dalam pertanian, kesehatan, administrasi pemerintahan, hukum, dan sebagainya. Itulah sebabnya dari waktu ke waktu para misionaris terus diperlengkapi dengan pengetahuan dan ketrampilan praktis, agar dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat di samping memberitakan Injil kepada mereka.
Seringkali jemaat menganggap bahwa misionaris yang mereka utus adalah seorang superman, yang mampu bertahan atas segala cuaca dan kesulitan, tidak pernah kesepian dan selalu bisa mencukupi kebutuhannya sendiri; demikian pula dengan istri dan anak-anaknya. Sekali mereka diutus, jemaat bisa melepaskannya untuk selama-lamanya, tanpa perlu diurusi lagi. Seorang misionaris dan keluarganya adalah manusia biasa. Mereka bisa ketakutan, kesepian, sakit, tertekan, dsb. Justru di sinilah jemaat dapat banyak menolong melalui doa, persembahan, dll. Sekali kita mengutus misionaris, kita perlu terus memperhatikannya.
Memang dalam dunia bisnis spesialisasi sangat dibutuhkan. Tetapi dalam pekerjaan Tuhan, khususnya dalam pelayanan misi, yang seringkali dibutuhkan justru adalah seorang yang bisa melakukan banyak hal, mulai dari penginjilan, pembinaan rohani, sampai kepada memberikan bantuan pemikiran, tenaga, serta dana untuk ikut membangun, mencerdaskan dan menyejahterakan masyarakat di sekitarnya.
Dulu memang demikian, para misionaris yang melayani di daerah primitif ikut menjalani pola hidup primitif. Namun dalam perkembangannya, orang-orang yang dijangkau sekarang banyak terdapat di kota-kota besar (urban), misalnya kepada kaum pekerja dan para pelajar. Itu berarti seorang misionaris tidak lagi harus tinggal di dalam gubug beratap rumbia dan makan daun-daunan; bisa juga mereka tinggal di kota dengan rumah berlistrik, air PAM, ber-AC, bermobil, namun tetap berhati misi.
Kelompok etnis yang belum terjangkau bagi Kristus memang adalah orang-orang berdosa, tanpa pengharapan, dan pasti akan binasa. Tetapi ternyata mereka tidak menyadari keberadaan mereka yang di dalam kegelapan, bahkan mereka tidak membutuhkan Kristus. Ilah-ilah zaman telah membutakan mereka sama sekali. Kepercayaan dan agama lama yang mereka pegang dipandang lebih unggul dari Kekristenan, sehingga mereka merasa sama sekali tidak membutuhkan Kristus dan Juru Selamat yang sejati. Untuk itu dibutuhkan metode dan strategi misi yang tepat di samping kesabaran dan ketekunan dalam doa dan pelayanan.
Memang ada negara-negara yang sama sekali tertutup bagi Injil, tetapi ada juga yang masih terbuka lebar. Buktinya banyak lembaga misi yang masih terus mengirimkan misionaris-misionaris ke banyak kelompok etnis. Untuk itu kita kembali melihat apa yang Tuhan kerjakan dan menanggapinya dengan baik. Memasuki pintu-pintu terbuka dengan penuh ucapan syukur serta permohonan doa, mengingat sekalipun terbuka, tetapi kesulitan penjangkauan masih ada; sedangkan untuk pintu-pintu tertutup perlu terus diketuk dengan doa.
Sebelum Tuhan Yesus Kristus datang kembali ke dalam dunia ini, pelayanan misi belum selesai. Masih terdapat sekitar 2000 suku yang mewakili sekitar 200 juta jiwa belum memiliki bagian-bagian Alkitab. Ini merupakan tugas kita semua tanpa kecuali. Tak ada satupun yang berpangku tangan bagi misi, seluruh jemaat harus melibatkan diri.
Diambil dari:
Judul buletin: Optasia No. 06/ Maret 1997
Penulis: PF
Halaman: 1 -- 2