Apologetika




BAB III

Relasi Aplogetika dan Penginjilan

 

Relasi
antara apologetika dan penginjilan merupakan sesuatu yang perlu kita pahami
dengan baik, karena kedua hal tersebut sering kali disamakan (tanpa perbedaan)
atau dibedakan tanpa ada hubungannya. Pada hakekatnya Apologetika dan penginjilan
memiliki kesamaan dalam beberapa hal, namun secara bersamaan keduanya memiliki
perbedaan. Pemahaman relasi apologetika dan penginjilan penting untuk dapat
memahami apologetika yang Alkitabiah, karena itu pada bagian ini akan dibahas
mengenai persamaan dan perbedaan antara apologetika dan periginjilan.

 

A.   

Kesamaan Antara Apologetika dan
Penginjilan.

Apologetika dan penginjilan memiliki hubungan yang
sangat erat. Keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu membawa orang kepada Kristus.
Apologetika bukanlah usaha untuk memojokkan orang sehingga tidak mampu memberi
jawab, apalagi menciptakan perdebatan yang menimbulkan sakit hati karena ada
yang telah dikalahkan dalam perdebatan, tetapi Apologetika memiliki hati Kristus
yaitu belas kasihan. Karena itu sebagaimana pada waktu kita menginjil harus memperhatikan
kesiapan hati orang yang diinjil, demikian juga dalam apologetika harus ada
kesiapan hati dari orang yang akan mendengarkannya. Mengenai hal ini Richard
Pratt menjelaskan sebagai berikut

“Penginjilan
dan apologetika keduanya berasumsi bahwa ada kerelaan dari orang tidak percaya
untuk mendengar dan mendiskusikan otoritas Kristus akan kehidupanNya. Baik penginjil
maupun pembela iman jangan melemparkan mutiara yang berharga (kebenaran) kehadapan
mereka yang tidak lain hanya ingin menghina atau mengejek Kristus, namun perlu
diingat bahawa baik dalam penginjilan maupun apologetika, orang Kristen
berhubungan dengan mati dan hidupnya seseorang”.

 

Apologetika harus bermuara pada tantangan terhadap
orang tidak percaya untuk menerima injil, karena itulah hati Allah, agara manusia
berdosa mendapat kelepasan dan belenggu dosa yang mematikan Sebagaimana
penginjilan adalah usaha untuk mengundang orang untuk percaya untuk menerima Kristus,
demikian juga Apologetika harus membawa orang kepada Kristus.

Hubungan yang erat antara Apologetika dan penginjilan
yang adalah sama-sama bertujuan membawa orang
kepada Kristus sangat jelas digambarkan dalam Kisah Rasul 26:12-23, secara
khusus dalam ayat 23 Paulus memproklamasikan injil setelah dia menyatakan
pertanggungawaban Imannya kepada raja Agripa, Paulus berkata” Bahwa Mesias harus
menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang akan bangkit dari
antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan tentang bangsa ini kepada
bangsa-bangsa lain.”

Apologetika yang Alkitabiah tidak hanya
mengkonfrontasikan pikiran orang tidak percaya dengan kebenaran Alkitab, tetapi
juga terutama harus merupakan deklarasi injil
Kristus.

 

B.    

Perbedaan Apologetika dengan penginjilan.

Disamping memiliki persamaan dalam hal usaha untuk
membawa orang kepada Kristus, Apologetika dan penginjilan mempunyai perbedaan
yang sangat penting. Apologetika tidak dapat mutlak sama dengan penginjilan.
Apabila keduanya disamakan dengan mengabaikan perbedaannya, maka akibatnya kita
tidak akan berusaha memberi jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan orang tidak
percaya. Pada umumnya ketika orang mendengar proklamasi Injil, mereka akan
bertanya mengapa harus mempercayai berita yang dia dengar. Di sini kita perlu
menyatakan kepada mereka mengapa kita percaya akan apa yang kita beritakan, inilah
apologetika.

Sebaiknya jika kita membedakan sama sekali Apologetika
dengan penginjilan, maka orang percaya akan berpikir bahwa sebelum dia membawa
orang percaya kepada Kristus, kita harus menjelaskan secara panjang lebar
sebelum meyakinkan orang tidak percaya untuk menerima Kristus. Seakan-akan
Allah tidak akan mampu membawa orang kepada diriNya tanpa penjelasan panjang
lebar yang diberikan manusia tentang dirinya kepada orang yang menjadi obyek
pekabaran injil. Pembinaan yang intensif memang diperlukan untuk membawa orang
kepada Kristus, disini apologetika mempunyai peranan penting dalam
mengkonfrontasikan pikiran orang percaya dengan Firman Allah, namun tidak berarti
bahwa respons manusia kepada injil hanya terjadi setelah kita melakukan
apologetika kepadanya. Allah yang maha kuasa mampu membawa orang percaya untuk
memberikan respon terhadap berita injil, namun tidak berarti mengabaikan
apologetika.

Apologetika pada dasarnya memiliki perbedaan dengan
penginjilan. Pada waktu kita memberitakan injil, yang terjadi adalah suatu proklamasi
kepada orang tidak percaya tentang penghakiman yang akan datang dan secara
bersamaan menjelaskan tentang kabar baru dan keselamatan melalui karya Tuhan
Yesus di Golgota, sedangkan apologetika lebih mengarah pada membenarkan klaim dan
deklarasi iman yang disampaikan. Jika penginjilan lebih berhubungan dengan apa yang
harus kita percaya, maka apologetika menjelaskan mengapa kita percaya. Apologetika
berusaha untuk mempertahankan dan menyakinkan orang tidak percaya akan deklarasi
injil yang disampaikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

Hubungan Apologetika dengan Disiplin Ilmu
Teologi yang Lain

 

1.

 

Theologi                                                         Filsafat

 

Apologetika                                                    Penginjilan

 

Dalam
teologi kita belajar dari Allah tentang kehendakNya melalui Alkitab dan karya
Allah dalam ciptaan (Theosentris), sedang dalam filsafat dipelajari mengenai
pikiran manusia yang langsung menolong kita untuk mengetahui masalah manusia,
secara khusus dalam otonomi manusia (Antroposentris). Setelah itu maka usaha
untuk membawa orang tidak percaya untuk terbuka bagi pemberitaan injil menjadi
tugas apologetika. Setelah itu maka proklamasi injil dapat dilakukan.

2.

 

Biblical
Theology ------------------------- Systematic Theology

 

 

Apologetika

 

 

 

Prac
Theology

 

 

 

 

 

3.

 

Biblical
Theology ------------------------------- Systematic Theology

 

 

 

Prac
Theology --------------------- Apologetic

 

 

 

 

 

BAB V

DASAR-DASAR APOLOGETIKA ALKITABIAH

 

I.            

Allah
pencipta dan manusia sebagai ciptaan

Pemahaman yang benar tentang Allah pencipta dan manusia
sebagai ciptaan yang bergantung kepada Allah, merupakan prinsip penting yang
harus dipegang oleh apologetika Kristen. Dalam Allah sebagai pencipta dengan
manusia ciptaan terdapat garis pemisah antara Allah pencipta dan ciptaan.

 

  1. Allah Pencipta

Menyadari
bahwa Allah adalah pencipta berarti mengakui Allah adalah pribadi yang berkuasa
dan telah menciptakan dunia dan permulaan. Dia juga adalah Kuasa yang
memungkinkan atau mendukung ciptaan itu terus menerus sampai saaat ini. Jadi
Allah tidak diciptakan oleh ciptaan, maka Dia juga tidak didukung oleh ciptaan
dalam hal apapun juga. Allah ada tanpa diadakan karena itu Dia adalah sumber dari
segala yang ada.

 

  1. Ciptaan
    bergantung Kepada Allah

Setelah
kita memahami bahwa Allah adalah pencipta dan tidak diadakan oleh ciptaan, maka
dapat dipahami bahwa Allah yang memungkinkan/mendukung ciptaan terus menerus
tidak pemah didukung oleh ciptaan. Ciptaan dan pencipta sebaliknya  ciptaan hanya dapat eksis ketika bergantung
dengan pencipta.

 

  1. Allah menyatakan
    diri kepada Manusia.

1)     

(Wahyu Umum) Melalui Ciptaan

Allah menyatakan diriNya kepada manusia melalui ciptaan. Setiap elemen dari
ciptaan tanpa pengecualian menyatakan Allah dan kepada manusia ( Maz 19:1-2 Roma
1:20,32; Maz 97:6).

 

 

2)     

Melalui Wahyu Khusus

Wahyu Allah diberikan kepada manusia untuk memimpin manusia berdosa pada
pengetahuan yang benar. Tanpa wahyu khusus manusia berdosa tidak akan
mengetahui rencana Allah yang sesungguhnya karena manusia dengan kaca matanya
sendiri tidak lagi mampu mengenal Allah secara benar melalui wahyu umum.

 

  1. Kebergantungan
    Manusia Kepada Allah.

Kebergantungan
manusia kepada Allah adalah tidak berbeda dengan ciptaan lain. Apabila manusia
terpisah dari Allah maka dia bukanlah apa-apa. Segala sesuatu yang dimiliki
manusia adalah pemberian Allah, jika kita lepas dari Allah maka kita akan
berhenti dari keberdaan kita. Dua aspek kebengatungan manusia dengan Allah yang
sangat penting bagi dasar apologetika Alkitabiah adalah kebergatungan
pengetahuan manusia dan moralitas manusia:

 

1)     

Pengetahuan Manusia

Sebagaimana seluruh kehidupan manusia bergatung pada Allah, demikian juga
pengetahuan manusia bergantung pada Allah. “ Allah mengetahui segala sesuatu
oleh karena itu kita harus bergantung pada Allah untuk mengerti sesuatu. Pada
dasarnya kita harus menyadari setiap pengetahuan yang benar yang kita ketahui
baik secara sadar maupun tidak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VI

Empat Fase Kehidupan Manusia

 

Apologetika
yang Alkitabiah dapat diterapkan apabila kita memiliki pandangan yang tepat
tentang manusia, karena itu sebelum kita mempelajari mengenai struktur
Apologetika yang Alkitabiah, dalam bagian ini akan diuraikan mengenai karakter
manusia dalam 4 fase kehidupan manusia.

Pada
hakekatnya manusia yang diciptakan oleh Allah mengalami beberapa fase. Pertama,
fase penciptaan yaitu fase dimana manusia belum jatuh kedalam dosa, kedua, fase
kejatuhan, keberadaan manusia oleh karena pilihan yang salah membawa manusia
berada dalam ikatan dosa. Ketiga, fase penebusan, keberadaan manusia yang telah
menerima Kristus/ditebus, namun masih hidup dalam peperangan/perjuangan untuk
senatiasa hidup kudus. Keempat, fase dimana manusia telah mengalami penyempurnaan
didalam hidup kekal.

 

A.   

Manusia Sebelum Jatuh Dalam Dosa

Pada waktu manusia diciptakan, manusia berada dalam keadaan
merdeka (manusia memiliki Free Will dan
Freedom
. Manusia memiliki kebebasan sebagairnana Allah memiliki kebebasan,
karena kebebasan merupakan salah satu dari keberadaan Allah, maka manusia yang
diciptakan segambar dengan Allah juga memiliki kebebasan sebagaimana Allah memiliki
kebebasan.

Manusia yang berada dalam kebebasan tersebut
menggunakan kebebasannya dengan bergantung pada Allah sehingga manusia memiliki
sifat moral Allah. Manusia hidup dalam hubungan yang harmonis dengan Allah,
sehingga manusia memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah (Kolose 3:10).
Adam dan Hawa menyadari dirinya sebagai ciptaan dan harus bergantung kepada penciptanya.

Pada Fase ini manusia dapat tidak berdosa jika manusia
bergantung pada Allah, namun manusia dapat berdosa kalau dia melakukan
kebebasannya dalam otoritasnya. Karena itu apabila manusia berdosa karena melakukan
kebebasannya tanpa kebergantungan dengan Allah, maka manusia harus bertanggung
jawab atas pilihannya yang salah, karena Allah memberikan manusia kebebasan
sebagaimana Allah memiliki kebebasan.

 

B.    

Manusia Setelah Jatuh Dalam Dosa

Pada waktu manusia melakukan kebebasannya tanpa
bergantung pada Allah (manusia melakukan kebebasannya dalam otonominya, maka
manusia jatuh didalam dosa). Manusia yang berpikir bahwa dia berada dalam
posisi netral (tidak memihak Allah dan tidak memiham iblis) pada hakekatnya
tetap melawan Allah. Pada waku manusia tidak bergantung pada Allah, manusia
berada sebagai pihak yang melawan Allah. Akibatnya manusia berada dalam
belenggu dosa.

Manusia yang berada dalam belenggu dosa semata-mata
hanya mengarahkan dirinya pada kejahatan, karena ia berada dalam penjajahan
dosa/kejahatan Hukum yang diberikan pada manusia berdosa selain berguna untuk
menunjukan kepada manusia tentang keberdosaanya. Hukum tersebut berguna juga untuk
mengurangi kejahatan, walaupun hokum itu tidak akan meniadakan kejahatan.

Pada fase ini manusia semata-mata hanya berbuat
kejahatan, walaupun pada fase tersebut manusia dapat berbuat kebaikan/kebenaran,
kebenaran tersebut tidak berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan
berasal dari Allah yang memberikan kebaikan/kebenarannya dalam pemeliharaan
Allah atas dunia. Manusia berdosa tidak dapat bergantung pada Allah karena
berada dalam belenggu dosa, tetapi manusia berdosa tidak total lepas dari Allah
karena semua ciptaan bergantung pada Allah.

 

C.   

Manusia Setelah di tebus oleh Allah

Karena anugerah Allah manusia berdosa yang semata-mata
hatinya melawan Allah telah berbalik dalam persekutuan dengan Allah. Penebusan
Kristus terhadap manusia berdosa membuat manusia yang diperbaharui berbeda dengan
manusia yang lama (II Kor. 5:17). Orang percaya berpegang pada Firman Allah dan
selalu dapat dipercaya, karena sesungguhnya Allah tidak pernah berdusta.
Manusia yang ditebus percaya total kepada Allah, tidak lagi menuruti keinginan iblis.
Orang percaya menerima firman tanpa berprasangka. Kejadian tersebut berlangsung
pada saat manusia dilahirkan kembali (Yoh. 3:7). Kelahiran kembali itulah yang
memungkinkan manusia ditebus berada dalam hidup baru. Total bergantung pada
Allah, kebalikan dari kejatuhan.

Manusia baru yang telah dilahirkan kembali tetap hidup
dalam peperangan. Orang percaya tidak terus menerus bergantung pada Allah,
walaupun ia berusaha untuk bergantung pada Allah. Orang percaya belum dapat hidup
lepas dari dosa secara total. (Dia tidak terus menerus bergantung pada Allah)
Oleh karena itu ia tetap masih melakukan kesalahan. Kebergantungannya kepada
Allah untuk pengetahuan dan moralitas harus disertai usaha serius. Kita berusaha
untuk mendapatkan penyucian (Ibrani 12:14) itu adalah tugas yang terus menerus
yang harus dilakukan orang percaya bila ingin mengenal kehendakNya.

 

D.   

Manusia Setelah disempurnakan

Pada waktu Allah menyempurnakan manusia maka barulah
manusia dapat hidup suci tanpa berbuat dosa. Allah yang menghentikan sama sekali
perlawanan manusia kepada Allah dan manusia hidup dalam ketaatan yang mutlak
kepada Allah, sehingga manusia mendapat berkat surgawi selama-lamanya. Kejadian
bahwa manusia dapat hidup tanpa dosa hanya akan mungkin terjadi di surga pada
waktu Allah menyempurnakan manusia.

 

BAB VII

MASALAH ORANG TIDAK PERCAYA

 

Setelah
pada bagian sebelumnya dijelaskan mengenai hakekat manusia, baik sebelum
kejatuhan, sesudah kejatuhan dan setelah mengalami penebusan, maka dalam bagian
ini akan lebih dititik beratkan pada penguraian masalah yang dihadapi orang
tidak percaya. Pemahaman ini sangat penting untuk dapat melakukan apologetika
yang Alkitabiah dan secara bersamaan akan menimbulkan rasa keprihatinan yang
mendalam terhadap orang tidak percaya yang pada hakektnya berada dalam dilema.

Pada
saat manusia meninggalkan Allah manusia hidup dalam otonominya sendiri, tidak
lagi tunduk pada Allah. Kemungkinan manusia untuk mengetahui kebenaran hilang
sejalan dengan pemberontakannya kepada Allah yang adalah sumber kebenaran itu
sendiri. Pada saat manusia berpaling dari Allah maka dia berada dalam dilema.
Mengenai hal ini, Richard Pratt menjelaskan sebagai berikut:

Orang tidak percaya
mengatakan keyakinan yang mutlak bahwa fakta perbedaan pencipta dengan
ciptaanya menurut Alkitab adalah tidak benar. Oleh karena itu ia memakai topeng
“Keyakinan yang mutlak” namun pada saat berpaling daripada Allah orang tidak
percaya berada pada posisi dimana ia tidak mempunyai dasar yang kuat/kokoh
untuk pengetahuan dan oleh karena itu harus menggunakan topeng “ketidakyakinan
mutlak” pada suatu saat orang tidak percaya memakai topeng yang satu (keyakinan
mutlak) dan saat lain memakai yang lain (ketidakyakinan mutlak).

 

Dari
penjelsan Pratt di atas, nampak bahwa ada dilema besar dalam kehidupan orang
tidak percaya. Mereka menyatakan sesuatu sebagai mutlak benar tanpa memiliki
dasar yang kuat, karena memang dibangun di atas dasar otonomi manusia (memutlakkan
yang relatif) pada saat lain orang tidak percaya.

Apabila
Yesus bukan Tuhan, itu berarti keselamatan dikerjakan oleh ciptaan bukan oleh
Allah. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, karena manusia berdosa tidak dapat
menyelamatkan sesamanya yang berdosa, itu adalah hal yang mustahil.

Ke-Tuhanan
Kristus sebenarnya sangat nyata dari pengaruhnya terhadap sejarah yang telah
diakui oleh seluruh dunia. Perhitungan tahun masehi sebagaimana dijelaskan di
atas merupakan fakta pengaruh Yesus dalam sejarah karena Yesus yang berada
dalam kekekalan telah masuk dalam sejarah,bekerja dalam sejarah dan
mempengaruhi sejarah karena Yesuslah yang menopang dunia. Terlebih lagi jika
kita mendengarkan kesaksian banyak orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, mereka tidak mengenal Yesus sama seperti mengenal manusia
biasa, tetapi menerimanya sebagai Tuhan dan Allah mereka.

Penjelasan
yang gamblang tentang keyakinan Iman orang percaya akan ke-Tuhanan Kristus
memang tidak otomatis menghapuskan semua penolakan terhadap klaim ke-Tuhanan
Kristus, tetapi jika kita selidiki penolakan orang tidak percaya kepada
Kristus, sebenarnya mereka tidak mempunyai pijakan yang kuat.

Penolakan
manusia terhadap ke-Tuhanan Kristus umumnya terbagi dalam dua bagian besar.
Pertama, sanggahan terhadap penolakan yang mutlak bahwa Yesus bukanlah Tuhan.
Argumen pemahaman terhadap penolakan terhadap ke-Tuhanan Kristus. Sebenarnya
tidak memiliki dasar yang kuat, karena penolakan mutlak terhadap ke-Tuhanan
Kritus di dasarkan pada pemahaman manusia yang relatif. Banyak manusia yang
membuat pernyataan penolakan Ktistus sebagai Tuhan belum pernah bertemu dengan
Yesus, apalagi mereka semua sebenarnya juga tidak tahu akan segala sesuatu.
Bagaimanakah manusia yang tidak mengetahui segala sesuatu dapat menghasilkan
pernyataan kebenaran yang mutlak bagi dirinya sendiri. Sama sekali tidak
mungkin. Jadi jelaslah, pernyataan keyakinan mutlak terhadap penolakan
ke-Tuhanan Kristus sebenarnya dibangun di atas kerelatifan, manusia
merelatifkan yang mutlak. Apa sulitnya untuk manusia mengakui Allah yang adalah
pencipta dapat menjadi memakal topeng “ketidak yakinan yang mutlak” mereka
berkata mutlak benar tidak ada keyakinan-keyakinan yang mutlak. Karena manusia
terbatas, maka manusia tidak memiliki pengetahuan yang mutlak benar. Pemahaman
ini kemudian menjadi dasar bahwa sesunggunya tidak ada pengetahuan yang mutlak
benar. Keyakinan mutlak akan tidak adanya keyakinan-keyakinan yang mutlak
justru menunjukan bahwa mereka meyakini adanya keyakinan yang mutlak. Jadi
jelas sekali bahwa pengetahuan orang percaya saling berkontradiksi dalam
dirinya sendiri, ini adalah dilema alami.

Pada
waktu berhadapan dengan orang  tidak
percaya kita akan menghadapi dua kemungkinan. Pertama, kita menghadapi
memutlakkan yang relatif. Pada perjumpaan dengan jenis ini orang tidak percaya
akan secara radikal menganggap bahwa orang percaya adalah musuh. Karena orang
percaya memutlakan pandangannya yang relatif, maka dia akan menganggap semua
yang berbeda adalah musuhnya, tidaklah mengherankan jika kita menyaksikan
kebenaran, mereka akan menganggap sebagai lawan. Untuk dapat menjelaskan bahwa
mereka adalah korban dari usaha untuk memutlakkan pengetahuan yang relatif
dibutuhkan kebijaksanaan yang dari Tuhan.

Pada
sisi lain orang tidak percaya menggunakan topeng keyakinan mutlak. Menurut
mereka tidak ada sesuatu keyakinan yang layak dianggap mutlak. Pada waktu kita
menyaksikan kebenaran yang mutlak inipun akan menimbulkan ancaman bagi mereka.
Karena sebenarnya perjumpaan orang percaya dan orang tidak percaya merupakan
sesuatu peperangan. Tetapi orang percaya harus menyadari bahwa hal tersebut
terjadi karena orang percya tidak bergantung pada Allah. Dan pertentangan itu
di karenakan dilema yang terjadi dalam orang tidak percaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords Artikel: Apologetika, penginjilan