Mungkin Anda telah mendengar orang-orang yang membahas cara membaptis yang tepat.“Jika seseorang dibaptis sampai ke lehernya, apakah ia telah benar-benar dibaptis?” tanya salah seorang yang sedang berbincang-bincang itu.
“Tidak, tentu saja tidak,“ jawab yang lain.”Jika ia dibaptis sampai ke dahinya, apakah itu baptisan?”
“Tidak,“ kata orang itu lagi dengan tegas.
“Nah,“ kata orang tersebut, “itu membuktikan bahwa air yang di atas kepala itulah yang betul-betul penting!“
Baptisan air telah menjadi sumber kontroversi di kalangan Kristen sejak gereja mulai berdiri. Dalam Kisah Para Rasul baptisan air dikaitkan secara erat dengan PENGALAMAN PERTOBATAN. "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.“ (Kisah 2:38). Ayat-ayat seperti ini telah menimbulkan berbagai perbedaan pendapat yang masih terus diperdebatkan sekarang ini.
Tiga pertanyaan kerap kali diajukan:
(1) Haruskah baptisan air dibatasi untuk orang-orang dewasa yang secara pribadi telah percaya kepada Kristus?
(2) Apakah baptisan itu suatu sarana kasih karunia yang membuat seseorang dilahirkan kembali?
(3) Apakah yang menjadi pola baptisan-yaitu, haruskah kita diselamkan?
Munculnya Pembaptisan Anak Kecil
Dalam beberapa kasus teks Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa baptisan diberikan kepada mereka yang menanggapi berita Injil. Misalnya, dalam kasus kepala penjara di Filipi, kita membaca, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua orang yang ada di rumahnya.“ (Kisah Para Rasul 16:32). Ini menjelaskan mengapa seisi rumahnya dapat/boleh dibaptis—mereka semua telah cukup usia untuk mendengarkan Firman. Pembaptisan yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak dikategorikan seperti ini, bertumpu pada alasan-alasan teologi yang lain.
Dalam PB, Baptisan segera menyusul setelah IMAN PRIBADI kepada Kristus digunakan. Setahu kami, dalam gereja mula-mula, TAK SATUPUN orang percaya yang tidak dibaptis. Semua orang Percaya DIBAPTIS sebagai suatu kesaksian terhadap iman mereka.
Jika demikian, darimanakah munculnya pembaptisan yang bukan seperti hal yang disebutkan ini? Kita mungkin berharap akan menemukan berbagai rujukan yang berkenaan dengannya dalam tulisan-tulisan para bapak gereja, yakni, mereka yang mengenal para rasul. Tidak demikian. Misalnya, Ireneus, yang mengenal Polikarpus, seorang murid rasul Yohanes, menuliskan suatu risalah teologi yang terdiri atas 5 Jilid termasuk tentang baptisan.
Dalam Surat Barnabas (sekitar tahun 120-130), suatu pasal yang singkat disediakan untuk membicarakan Baptisan Air, tetapi Hanya Baptisan Orang-orang Percaya. ”Kami turun ke dalam air penuh dengan dosa dan kecemaran, dan kami keluar dengan membawa buah dalam hati kami, ketakutan dan pengharapan dalam Yesus di dalam Roh.”1
Yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa dalam Didache, sebuah buku pedoman awal tentang pelayanan Kristen (sekitar tahun 100-110), terdapat ajaran yang terinci tentang perilaku moral orang yang dibaptis. Ajaran itu menjelaskan bahwa air yang mengalir harus dipakai; jikalau tidak ada, maka pakailah air yang tergenang. Jika tidak ada cukup air untuk membenamkan calon yang akan dibaptis, maka air dituangkan ke atas kepalanya tiga kali dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi pembaptisan yang lain daripada itu tidak disebutkan.
Dengan munculnya SAKRAMENTALISME, baik Baptisan maupun Perjamuan kudus dinggap sebagai sarana kasih karunia yang diberikan kepada Gereja. Kalau begitu, tampaknya logis untuk melaksanakannya. Petunjuk pertama yang tegas tentang pembaptisan dating dari Tertullianus, pemimpin gereja Afrika Utara (sekitar tahun 200), yang menandaskan bahwa anak-anak harus datang untuk dibaptis ketika mereka sudah DEWASA supaya mereka mengerti apa yang sedang mereka lakukan.” Oleh karena itu, sesuai dengan keadaan dari watak seseorang, dan juga usianya, maka PENUNDAAN baptisan adalah LEBIH MENGUNTUNGKAN, khususnya dalam hal anak-anak kecil.”2 Keberatannya menunjukkan bahwa pada tahun 200 pembaptisan anak kecil telah dipraktekkan dalam beberapa gereja.
Petunjuk kedua tentang baptisan anak kecil dating dari tulisan-tulisan Origenes, yang dilahirkan dalam suatu keluarga Kristen di Alexandria, Mesir. Ia menjadi tenar sebagai guru, kendati pada akhirnya ia terpaksa pindah ke Palestina oleh karena perlawanan dari uskup Alexandria. Dalam sebuah tafsiran Injil Lukas, ia menulis bahwa anak-anak kecil dibaptis ”supaya pencemaran dari kelahiran kita dihapuskan.” Pada hakekatnya ia mengulang pernyataan yang sama dalam sebuah tafsiran tentang Surat Roma.
Para sarjana berbeda pendapat mengenai pentingnya bagian-bagian ini. Meskipun Origenes menulis dalam bahasa Yunani, bagian-bagian ini hanya terdapat dalam sebuah terjemahan Latin yang dibuat oleh seorang bernama Rufinus, yang hidup pada periode yang kemudian dan yang terkenal suka menambah-nambahkan pendapatnya sendiri ke dalam terjemahannya. Ada yang menduga bahwa ia menambahkan rujukan-rujukan tentang pembaptisan anak kecil untuk menyelaraskan ajaran Origenes dengan kepercayaan gereja Latin pada zamannya. Akan tetapi, jika pernyataan-pernyataan Origenes itu asli, maka itu memberikan kesaksian yang penting tentang fakta pembaptisan anak kecil dan alasannya dalam gereja pada tahun 240.
Rujukan ketiga terdapat dalam tulisan-tulisan Cyprianus, juga dari Afrika Utara. Kira-kira pada tahun 251, ia bertanya kepada para utusan di suatu konsili gereja apakah pada hemat mereka baptisan harus ditunda sampai pada hari ke-8. ia mencatat bahwa Konsili itu, yang terdiri dari 66 uskup, mengatakan bahwa baptisan tidak boleh ditunda ”jangan sampai oleh perbuatan itu kita membuka jiwa si anak terhadap risiko kebinasaan kekal.” Di sini kita memperoleh petunjuk jelas yang menghubungkan baptisan bahkan terhadap bayi dengan kelahiran baru secara rohani. Dalam sebuah dokumen yang belakangan, Cyprianus juga menyebutkan bahwa anak-anak kecil sekalipun harus diberikan Perjamuan kudus juga. Jika, memang benar, bahwa kasih karunia disalurkan melalui sakramen, maka anak-anak juga harus menerima berkat ini.
Agustinus adalah saksi kita yang keempat dari Afrika Utara yang mendukung pembaptisan anak kecil. Seperti telah kita pelajari, ia mempunyai dampak yang kuat atas pemikiran gereja Kristen. Ia mengajar bahwa pembaptisan anak kecil berasal dari zaman para rasul, meskipun ia tidak menyebutkan nama orang yang mengajarkannya lebih awal dari Cyprianus. Sejalan dengan teologi wilayah itu, ia juga mengatakan bahwa kebiasaan memberi perjamuan kudus kepada anak-anak pun dilakukan dengan otoritas para rasul. Kedua sakramen ini diperlukan bagi keselamatan; oleh karena itu, kedua-duanya harus diberikan juga termasuk kepada anak-anak. “Apabila sebagaimana disetujui oleh banyak kesaksian ilahi, keselamatan dan hidup kekal tak dapat diharapkan oleh siapapun, tanpa baptisan serta tubuh dan darah Tuhan kita, maka sia-sialah untuk menjanjikannya kepada siapa pun bahkan kepada anak-anak tanpa kedua sakramen tersebut.“3
Jadi gereja-gereja yang percaya SAKRAMENTALISME, melaksanakan kedua upacara ini untuk anak-anak. Jewett mengomentari, “Tak pernah terpikirkan oleh seorang pun dalam gereja zaman dahulu untuk mempertanyakan hak anak-anak menerima Ekaristi setelah hak untuk mengikutsertakan mereka di dalam gereja telah ditetapkan.“ Jewett mengatakan, teori bahwa anak kecil harus dibaptis tapi tidak diberikan komuni,“bertumpu pada perkembangan dogmatik abad pertengahan dalam gereja Barat yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan pandangan Injili mengenai sakramen-sakreman itu.“4
Dengan berkembangnya pembaptisan anak kecil, timbullah gagasan untuk meminta para orang tua untuk bertindak sebagai orang tua baptis bagi anak yang dibaptis. Tertullianus, yang berbicara menentang pembaptisan anak kecil, mengacu kepada orang tua baptis atau orang tua dari si Anak yang dibaptis sebagai MUDAH SEKALI membuat Janji-Janji yang GEGABAH ketika mereka mengatakan bahwa anak itu akan menjadi orang Kristen dalam kehidupannya kelak. ”Siapakah yang mengetahui apakah hal ini akan terjadi?” ia bertanya.
Jadi, praktek pembaptisan anak kecil muncul di Afrika Utara kira-kira pada paruhan akhir dari abad kedua, sebagian besar disebabkan oleh kepercayaan bahwa pengampunan dosa datang melalui sakramen-sakramen. Sejalan dengan Sakramentalisme, maka perjamuan kudus juga diberikan kepada anak-anak.
Arti Pembaptisan Anak Kecil Dalam Abad Pertengahan
Setiap orang yang mengenal sejarah kekristenan mengetahui bahwa gereja mula-mula mengalami perlawanan yang sengit dari Kerajaan Romawi. Gelombang demi gelombang penganiayaan menimpa orang percaya. Bukan karena orang-orang Romawi tidka bertoleransi terhadap agama lain—orang dapat menyembah dewa mana saja yang ia sukai. Ekslusivisme (paham yang cenderung memisahkan diri dari masyarakat) kekristenan itulah yang menjengkelkan kaisar-kaisar Romawi. Orang Kristen dianggap begitu picik pikirannya sehingga mereka tidak mau berkata, ”Kaisar adalah Tuhan!”
Kaisar Diokletianus memerintah selama 20 tahun. Sebelum ia wafat, ia melawan orang-orang Kristen, mengusir mereka dari kerajaan Romawi. Pada tahun 305, ia turun takhta dan mewariskannya kepada Galerius, yang bahkan lebih bernafsu melawan orang Kristen. Menjelang kematiannya pada tahun 311, Galerius menyadari bahwa orang-orang kafir pun merasa muak dengan penganiayaan yang berdarah itu. Karena mengetahui bahwa masyarakat pada umumnya memusuhinya, ia mengeluarkan dekrit toleransi, yang sebagian besar memberikan kelegaan kepada orang-orang Kristen. Setelah ia wafat, pecahlah perebutan kekuasaan dan Konstantinus maju melintasi pegunungan Alpen untuk menggulingkan penguasa Romawi Maxentius (yang berharap untuk menggantikan Galerius) dan merebut kota Roma. Ketika Konstantinus berhadapan dengan lawannya di jembatan Mivian sedikit di luar kota Roma, ia meminta pertolongan kepada Allah orang Kristen. Dalam suatu mimpi ia melihat sebuah salib di langit dengan perkataan, ”Dalam tanda ini taklukkanlah.” Ketika ia meraih keberhasilan militer pada 28 Oktober 312, ia menganggap kemenangannya sebagai bukti dari kebenaran agama Kristen. Apakah pertobatannya sungguh-sungguh atau tidak, ia memberikan kemerdekaan kepada orang-orang Kristen dan akhirnya Kekristenan menjadi agama resmi kerajaan itu.
Apakah hubungan semua ini dengan baptisan? Dengan berkuasanya Konstantinus, Kekristenan tidak lagi merupakan suatu sekte di dalam kerajaan itu, tetapi menjadi searti dengan kerajaan itu. Sekarang orang akan menjadi Kristen hanya karena ia lahir dalam kerajaan itu, tidak perlu memiliki iman pribadi pada Kristus. Pembaptisan anak kecil menjadi mata rantai yang mempersatukan gereja dan negara.
Meskipun pembaptisan anak kecil dimulai dengan alasan-alasan teologis, yakni, kepercayaan bahwa upacara itu menghapus pencemaran dosa, sekarang pembaptisan menjadi suatu aset politik. Setiap anak yang dibaptis menjadi orang Kristen dan anggota kerajaan Romawi sekaligus. Karena anak-anak kecil dapat menjadi warga negara kerajaan tanpa keputusan apapun pada pihak mereka, demikian pulalah mereka dapat menjadi orang Kristen. Pembaptisan anak kecil menjadi praktik yang hampir universal dalam beberapa dekade.
Agustinus menerima keyakinan bahwa gereja dan negara harus bersatu, dengan menandaskan (1) hak gereja untuk menggunakan negara dalam pelaksanaan Kekristenan. Jadi, “penganut ajaran sesat“ dapat dibunuh dan para pengingkar dibantai; dan (2) pembaptisan anak kecil diharuskan.
Pembaptisan anak kecil memainkan peranan penting dalam penggabungan gereja dan negara. Itulah sebabnya golongan Anabaptis (mereka yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi dibaptis ulang sebagai orang dewasa, ketika mereka pribadi menjadi percaya kepada Kristus) dianiaya dengan begitu kejam. Perselisihannya bukan sekedar teologis, tetapi politis. Pada masanya Raja Karel Agung (dinobatkan pada tahun 800), orang-orang yang dibaptis setelah secara pribadi percaya kepada Kristus dibunuh. Yang dikhawatirkan adalah jika gereja hanya dianggap sebagai suatu kelompok dalam masyarakat dan bukan sejajar dengan masyarakat, maka seluruh kesatuan gereja dan negara akan terpecah-pecah. Pembaptisan anak kecil adalah ”perekat” yang menyatukan gereja dan negara.
Karl Barth, teolog terkenal dari Swiss, mengakui bahwa motivasi sesungguhnya dibalik Baptisan Anak adalah KONSTANTIN-isme, yakni kesatuan gereja dan Negara. Ketika berbicara mengenai para Reformator yang berpegang pada Baptisan Anak Kecil, ia mengatakan, “Orang-orang pada waktu itu tidak mau melepaskan, karena cinta atau uang, keberadaan gereja Injili dalam bentuk Corpus Christianum Konstantinian. Ketika gereja menghentikan pembaptisan anak kecil, gereja Rakyat dalam arti gereja Negara atau gereja Massa berakhir.“ Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa bahkan Luther mengakui tak akan banyak orang yang dibaptis jika seseorang, bukannya dibawa kepada baptisan, tetapi harus datang kepadanya. Barth menjelaskan bahwa Alkitab mengajarkan gereja Kristen merupakan suatu minoritas; bila semua orang diikutsertakan didalamnya, maka akibatnya adalah kesakitan bukan kesehatan. Ia mengakhiri dengan berkata bahwa, ”sudah saatnya untuk mengumumkan bahwa suatu pencarian yang urgen untuk bentuk yang lebih baik dari praktik baptisan kita sudah lama dinanti-nantikan.”5
Para Reformator: Zwingli
Pada mulanya Ulrich Zwingli, pengkhotbah dan reformator dari Zurich, mempunyai KERAGUAN YANG SERIUS tentang Pembaptisan Anak Kecil. Ia Mengaku, ”Tak ada yang lebih menyedihkan saya daripada bahwa saat ini saya harus membaptiskan anak-anak kecil karena SAYA TAHU HAL ITU SEHARUSNYA TIDAK DILAKUKAN.”6 Ia menyadari bahwa pembaharuan yang menyeluruh dalam gereja akan berarti menghentikan kebiasaan itu. Ia mengatakan lagi, ”Saya tidak menyinggung hal baptisan, saya tidak menyebutnya benar atau salah; jika kita harus membaptis seperti YANG TELAH DITETAPKAN oleh KRISTUS, maka kita TIDAK AKAN MEMBAPTIS seorang pun sebelum Ia MENCAPAI USIA yang memperlihatkan kebijaksanaan; karena DIMANAPUN TIDAK TERTULIS bahwa Pembaptisan Anak Kecil harus dilakukan.”7
Akan tetapi, Zwingli mengubah pikirannya. Untuk mengerti penyebabnya, kita harus menyegarkan ingatan kita tentang gerakan Anabaptis yang menyebar k eseluruh Eropa selama masa Reformasi
Kata Anabaptis dipakai untuk orang-orang yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi dibaptis ulang ketika mereka pribadi menjadi percaya kepada Kristus. Para Anabaptis yang pertama adalah kaum Donatis dari abad ke-4 yang menolak untuk percaya bahwa baptisan yang mencakup setiap orang karena alasan kelahiran adalah sah. Mereka percaya bahwa gereja harus berbeda dari masyarakat dan tidak sejajar dengannya. Akan tetapi, seperti yang telah kita pelajari, ketika negara menjadi satu dengan gereja, maka gereja menggunakan kekuasaan negara untuk melaksanakan agama. Banyak orang Donatis dibunuh karena mereka berpegang pada pembaptisan orang percaya.
Kendati Donatisme (dinamakan menurut nama pemimpin mereka Donatus), ditindas, visinya tentang gereja yang terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis tak pernah padam. Ketika kepercayaan itu muncul beberapa abad kemudian, tindakan diambil terhadap ”para penganut bidat” yang hendak menggulingkan kebiasaan pembaptisan anak kecil. Ada banyak catatan tentang orang-orang yang memprotes gereja resmi yang menyambut semua orang. Para penentang ini ingin kembali kepada Pola Perjanjian Baru dimana gereja terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis. Mereka percaya bahwa gereja harus menjaga kekudusannya dengan pengabdian penuh kepada Kristus dan melalui pelaksanaan disiplin gereja. Perilaku mereka begitu baik sehingga Zwingli berkata tentang mereka, ”Pada hubungan pertama, kelakuan mereka kelihatan tak ada celanya, saleh, sederhana, menarik. Bahkan orang-orang yang cenderung mengkritik akan mengatakan bahwa kehidupan mereka baik sekali.”8
Orang-orang Kristen ini tidak dapat menerima gagasan bahwa seorang anak kecil dapat ”dibaptis,” yaitu, dijadikan Kristen dengan cara mengambil bagian dalam suatu upacara agama. Mereka menyebut pembaptisan anak kecil tidak lebih daripada hanya ”dicelupkan ke dalam pemandian Romawi.” Bagi mereka kehidupan yang kudus adalah bukti kelahiran baru. Seorang dari aliran yang lain mengatakan bahwa di dalam mereka ”tak ada dusta, tipu muslihat, sumpah serapah, pertikaian, bahasa yang kasar, tak ada makan dan minum yang melewati batas, tak ada sikap menonjolkan diri, tetapi sebaliknya yang ada ialah kerendahan hati, kesabaran, ketulusan, kelemahlembutan, kejujuran, kesederhanaan, keterusterangan dalam kadar yang sedemikian rupa sehingga orang akan mengira bahwa mereka memiliki Roh Kudus Allah.”9
Jadi, ia berbalik menentang mereka dengan mengatakan bahwa, kendati pada mulanya perlu untuk menyalahkan pembaptisan anak kecil, waktu sekarang telah berubah; ia mengaku bahwa ia telah tersesat. Ia juga mempelajari kembali Alkitab dan menyimpulkan bahwa pembaptisan anak kecil dapat dibenarkan atas dasar-dasar teologis (nanti kita akan mempertimbangkan sangahan-sanggahan ini dalam pasal ini).
Dewan kota Zurich mengatakan padanya bahwa dengan berkhotbah menentang Pembaptisan Anak Kecil, ”gereja yang kudus, para leluhur, Konsili-konsili, paus, para kardinal, dan para uskup, dan lain sebagainya, akan menjadi cemoohan orang, mereka akan diremehkan dan ditiadakan.”11 Apa lagi, konsili selanjutnya mengatakan apabila pembaptisan dibatasi kepada orang-orang percaya, akan terjadi ”ketidaktaatan terhadap dewan hakim, perpecahan, ajaran sesat, dan iman Kristen menjadi lebih lemah dan kecil.”
Jadi, pada tanggal 17 Januari 1525, dewan kota Zurich memberi tahu rakyat bahwa semua orang-tua harus menyerahkan anaknya untuk dibaptis atau mereka akan dibuang. 4 tahun kemudian, dekrit Speier memutuskan, ”Setiap Anabaptis atau orang yang dibaptis ulang, pria maupun wanita, harus dibunuh dengan api atau dengan pedang, atau dengan cara lainnya.”12 Anak-anak dibaptis bertentangan dengan kehendak orang-tuanya. Mereka yang tetap berpegang pada keyakinannya dan menolak untuk tunduk kepada dewan, ditenggelamkan atau dihukum mati. Zwingli secara sarkastis membuat pernyataan tentang Felix Manz penganut Anabaptis, ”Jika ia ingin diselamkan dalam air, biarlah ia diselamkan.” Demikianlah, Manz dengan paksa ditenggelamkan dalam air yang dalam dan dingin di Sungai Limmat hanya beberapa ratus meter dari gereja Zwingli. Banyak yang mati dengan mengatakan bahwa Zwingli telah mengkhianati mereka. Ia telah menjual jiwanya kepada kekristenan yang palsu yang menolak untuk membedakan antara gereja yang benar dan masyarakat.
Memang mudah mengkritik Zwingli karena bagi kita perpisahan antara gereja dan negara dianggap sudah semesetinya. Tetapi Zwingli hidup pada suatu masa di mana negara bertujuan untuk memastikan bahwa kehendak Allah dilaksanakan dalam kehidupan orang-orang yang tinggal dalam perbatasannya. Patut disayangkan bahwa penganiayaan menyebabkan beberapa orang Anabaptis menjadi fanatik. Orang-orang radikal seperti itu memberikan nama yang buruk kepada gerakan Anabaptis, yang hanya menyebabkan lebih banyak penganiayaan. Namun pembunuhan massal para Anabaptis benar-benar adalah salah satu halaman yang TERGELAP dalam sejarah gereja.
Comments
@dede baptisan adalah hambar
Sun, 02/11/2008 - 15:43 — barudak (not verified)Pembahasan baptisan adalah hambar karena bagi saya baptisan tidaklah mungkin mengalahkan esensi pertobatan.
seorang pemuda bernama mark templer di amerika mendengar injil dan bertobat ia sungguh terpanggil dan mulai melayani, ketika pemimpin nya menantang ia untuk menjadi penginjil ia pun meresponi dan membakar 3 ijazah pendidikan tinggi sekulernya, ketika pendeta itu bertanya sudahkah engkau dibaptis? sudah pada waktu kecil! pendeta itu mendesak ia dibaptis ulang. tetapi mark menolak dan menjawab: mengapa kah engkau tak percaya pendeta? bahwa aku telah sungguh2 bertobat dan menerima kristus sehingga aku harus dibaptis ulang seolah2 aku belum bertobat. bagiku itu melecehkan upacara itu pada pertama kalinya walau saat itu aku masih kecil! pendeta itu pun tak berani mendesak mark lagi.
baptisan bisa anda lakukan kapanpun dimanapun di hadapan pendeta tetapi pertobatan siapakah yg memilikinya? inilah mengapa pembahasan baptisan dikatakan hambar.
@Pembantaian terhadap Anabaptis...
Mon, 03/11/2008 - 19:10 — VantillianDengan mengemukakan secara berapi-api tentang pembantaian Kaum Anabaptis, Sdr Dede ingin menunjukkan bahwa baptisan anak sesat. Hubungannya dimana?
Sola Christos...
to vantilian tt Baptis Bayi
Mon, 03/11/2008 - 21:31 — dedewijayaMenanggapi tuduhanmu tt Anabaptis, perlu diketahui 4 artikel "Bagaimana
Tentang Baptisan" ini adalah satu bab dari buku TEOLOGI KONTEMPORER
karya Erwin W. Lutzer, Gandum Mas, yg aku ketik di komputerku. Jadi itu
semua pendapat dan karya Erwin W. Lutzer yg bercerita apa adanya saja.
Aku memberi tanggapan dan menarik kesimpulan pada artikel ke-4 di blog ini "Bagaimana Tentang Baptisan".
Jadi tuduhan anda harusnya diarahkan ke Erwin W. Lutzer yg disebut
pembela tradisi Reformasi,namun beliau sendiri setelah menganalisis
baik eksegesis, sejarah/historis, dan mempelajari argumen Bromiley
dalam buku Children of Promise (buku yg
paling baik argumennya dalam mendukung Baptisan Bayi/anak kecil),
menemukan KETIDAKKONSISTENAN pada karya Bromiley yg mengacu pada
argumen2 Calvin. ada Lubang/celah LEMAH dalam argumen2 di buku ini, yg
dilihat dan dipelajari oleh Erwin W. Lutzer dan Paul K Jewett (Infant Baptism dan Covenant) yg juga Teolog Covenant.
argumen2 yg anda ajukan di artikel blogmu di atas, tidak lebih baik dari Argumen2 Calvin yg dikutip dan dipelajari oleh BROMILEY dalam buku Children of Promise. jadi hendaklah ajukan argumen2 yg lebih baik dari calvin dan Bromiley. mohon dipelajari baik2 tulisan Erwin W. Lutzer yg sudah membahas dan menyerang argumen2 ternaik dari Bromiley tt Baptisan Bayi/anak kecil.
www.dedewijaya.co.cc
@dede....Saya menuduh apa?
Mon, 03/11/2008 - 23:53 — VantillianSdr Dede...Nampaknya setelah kita diskusi di SS anda sampai sekarang tidak mengerti pertanyaan singkat saya di atas.
Apa hubungan penjelasan anda yang pjg lebar yang anda kutip dgn luar biasa ttg pembantaian anabaptis dengan baptisan anak yang anda anggap menyesatkan?
Bisakah kita diskusi? Daripada anda sekedar menuduh saya?
Sola Christos..
to vantilian
Wed, 05/11/2008 - 22:00 — dedewijayakalo dari artikel2 di Blog SS maupun Blog INC, saya tidak membahas panjang lebar tt Anabaptis, itu semua saya kutip dari buku Erwin W. Lutzer. Jadi apanya yg mau anda tanyakan?
Anabaptis memang TIDAK SETUJU BAPTISAN ANAK/BAYI. itu Fakta Sejarah.
@Dede....Memang anda cuma tukang kutip....
Thu, 06/11/2008 - 01:40 — Vantillian@dede....
Saya tidak tahu apakah anda benar-benar tahu atau benar-benar tidak tahu atau sok tahu karena baru membaca beberapa buku tentang baptisan anak?
Saya ulangi pertanyaan saya :
Apa hubungan pembantaian Anabaptis yang anda jelaskan dnegan berapi-api DENGAN kebenaran baptisan anak menyesatkan?
Tolonglah, jangan hanya cuma tukang kutip sana kutip sini...Silakan dipikir pertanyaan saya.
Sola Christos...
to Vantilian
Thu, 06/11/2008 - 17:35 — dedewijaya"Apa hubungan pembantaian Anabaptis yang anda jelaskan dengan berapi-api DENGAN kebenaran baptisan anak menyesatkan?"
ini jawabannya: Dewan kota Zurich mengatakan pada Zwingli bahwa dengan berkhotbah menentang Pembaptisan Anak Kecil, ”gereja yang kudus, para leluhur, Konsili-konsili, paus, para kardinal, dan para uskup, dan lain sebagainya, akan menjadi cemoohan orang, mereka akan diremehkan dan ditiadakan.”11 Apa lagi, konsili selanjutnya mengatakan apabila pembaptisan dibatasi kepada orang-orang percaya, akan terjadi ”ketidaktaatan terhadap dewan hakim, perpecahan, ajaran sesat, dan iman Kristen menjadi lebih lemah dan kecil.”
Jadi, pada tanggal 17 Januari 1525, dewan kota Zurich memberi tahu rakyat bahwa semua orang-tua harus menyerahkan anaknya untuk dibaptis atau mereka akan dibuang. 4 tahun kemudian, dekrit Speier memutuskan, ”Setiap Anabaptis atau orang yang dibaptis ulang, pria maupun wanita, harus dibunuh dengan api atau dengan pedang, atau dengan cara lainnya.”12 Anak-anak dibaptis bertentangan dengan kehendak orang-tuanya. Mereka yang tetap berpegang pada keyakinannya dan menolak untuk tunduk kepada dewan, ditenggelamkan atau dihukum mati. Zwingli secara sarkastis membuat pernyataan tentang Felix Manz penganut Anabaptis, ”Jika ia ingin diselamkan dalam air, biarlah ia diselamkan.” Demikianlah, Manz dengan paksa ditenggelamkan dalam air yang dalam dan dingin di Sungai Limmat hanya beberapa ratus meter dari gereja Zwingli. Banyak yang mati dengan mengatakan bahwa Zwingli telah mengkhianati mereka. Ia telah menjual jiwanya kepada kekristenan yang palsu yang menolak untuk membedakan antara gereja yang benar dan masyarakat.
Memang mudah mengkritik Zwingli karena bagi kita perpisahan antara gereja dan negara dianggap sudah semesetinya. Tetapi Zwingli hidup pada suatu masa di mana negara bertujuan untuk memastikan bahwa kehendak Allah dilaksanakan dalam kehidupan orang-orang yang tinggal dalam perbatasannya. Patut disayangkan bahwa penganiayaan menyebabkan beberapa orang Anabaptis menjadi fanatik. Orang-orang radikal seperti itu memberikan nama yang buruk kepada gerakan Anabaptis, yang hanya menyebabkan lebih banyak penganiayaan. Namun pembunuhan massal para Anabaptis benar-benar adalah salah satu halaman yang TERGELAP dalam sejarah gereja.