(→Sumber) |
k (memindahkan Armenia, Moldova ke Orang Armenia, Moldova) |
Daftar isi |
Sepanjang sejarah, Armenia menjadi medan perang bagi banyak penjajah dalam melawan kerajaan-kerajaan lain dan jembatan bagi banyak budaya dan peradaban. Selama 2.700 tahun terakhir, Armenia dikuasai oleh Kerajaan Persia, Alexander Agung, Kekaisaran Roma, orang-orang Romawi Timur, Arab, Mongolia, Tatar, Jerman, Persia, dan Rusia. Kerajaan-kerajaan di Armenia, para pangeran, dan bahkan suatu kekaisaran yang berumur pendek (95-55 SM) berusaha bertahan dan berkembang selama sekitar 1.700 tahun. Di bawah pemerintahan berbagai raja dan pangeran, orang Armenia mengembangkan kebudayaan yang canggih -- arsitektur dan abjad yang mereka ciptakan sendiri.
Revolusi Rusia tahun 1905 dan Revolusi Kaum Muda Turki (Young Turk) tahun 1908 memberi harapan bagi bangsa Armenia untuk melakukan reformasi yang sekaligus menjadi sebuah kesempatan untuk mendirikan negara di tanah bersejarah, Armenia. Namun, harapan itu musnah saat Turki (the Ottoman) dan Kerajaan Rusia berperang selama Perang Dunia I. Masa kelam sejarah Armenia terjadi ketika pembersihan bangsa Armenia dimulai pada tanggal 24 April 1915. Sekitar 1.750.000 orang Armenia dipindahkan ke Siria dan Mesopotamia oleh pemerintah Jerman. Karena mengalami kemiskinan, penyakit, dan pembantaian yang sistematis, sebagian besar dari mereka tewas. "Pembersihan etnis" Armenia dari tanah air mereka itu menggugah Raphael Lemkin untuk menciptakan istilah baru, "genocide" (genosida) pada tahun 1930-an untuk menggambarkan sejarah yang menyedihkan dari orang Asiria dan Armenia yang menjadi korban pertama pembersihan etnis di abad ke-20. Rahael Lemkin sendiri kemudian dikenal sebagai Bapak Perjanjian Genosida (Genocide Treaty). Negara ini baru merdeka pada tanggal 23 September 1991.
Sekarang terdapat hampir tujuh juta orang Armenia di seluruh dunia. Sebagian besar dari mereka berada di Armenia dan Amerika Serikat. Sementara lainnya tinggal di negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Syria, dan Libanon.
Sebagian besar komunitas orang Armenia di Arab merupakan pengungsi dan orang-orang yang selamat dari pembantaian dan pembersihan etnis. Mereka menambah jumlah orang Armenia di Mesir, Siria, Irak, Sudan dan Etiopia. Undang-undang Eropa pada awal abad ke-20 memungkinkan orang Armenia bekerja dalam bidang ekonomi dan administrasi, termasuk mendirikan organisasi budaya dan politik. Mesir, dengan komunitas orang Armenia yang kuat, menjadi panutan bagi orang-orang Armenia di daerah Arab hingga pertengahan abad ke-20. Namun, jumlah mereka menurun karena emigrasi besar-besaran sejak tahun 1952. Pada tahun 1989, diperkirakan terdapat 12.000 orang Armenia di Mesir. Pusat kebudayaan orang Armenia yang tinggal di Mesir berada di kota Kairo. Tapi banyak juga orang Armenia yang tinggal di Alexandria.
Komunitas orang Armenia yang berada di Palestina dan Yordania, yang tidak pernah berkembang besar, juga menarik para pengungsi dari Turki yang mencoba bermukim di Yerusalem, Haifa, dan Amman. Kehidupan rakyat Armenia yang relatif aman selama masa pemerintahan Inggris segera memicu perselisihan di antara orang Arab dan orang Yahudi. Menyusul pembentukan negara Israel pada tahun 1948 dan Perang Arab-Israel, banyak orang Armenia yang beremigrasi ke Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara yang lebih damai di Timur Tengah. Sebagian besar orang Armenia yang ada terlibat dalam kegiatan keagamaan dan ilmiah di organisasi keagamaan Armenia di Yerusalem.
Kebanyakan orang Armenia yang selamat dari pembantaian dan pembersihan etnis tinggal di Siria, terutama di Aleppo. Siria adalah negara di daerah Arab yang mempunyai komunitas orang Armenia terbesar dengan jumlah mencapai lebih dari seratus ribu orang. Para pendatang baru dibantu oleh misionaris dan organisasi-organisasi kemanusiaan Armenia dan Amerika. Upaya itu berhasil memberi suasana baru di daerah itu dan membuat komunitas itu menjadi salah satu komunitas paling aktif di dunia pada abad ke-20. Dalam banyak hal -- sekolah, gereja, organisasi, dan rumah sakit -- Armenia di Siria menjadi inspirasi dan contoh bagi komunitas Armenia di Beirut, Baghdad, Yerusalem, dan Amman selama lima puluh tahun menjelang abad ke-21. Orang Armenia, Asiria, Arab Kristen, dan sejumlah sekte non-Islam Sunni seperti Druze, `Alawis, dan Isma`ilis mau bekerja sama dengan kekuatan Eropa yang ada di daerah itu selama dan setelah Perang Dunia II.
Selama beberapa waktu, orang Armenia di Libanon merupakan komunitas Armenia paling penting di luar Uni Soviet dan Amerika Serikat. Inti komunitas modern juga muncul sebagai akibat dari pembantaian dan pembersihan etnis di Turki. Pada tahun 1926, terdapat sekitar 75.000 orang Armenia di Libanon dan Undang-Undang Libanon mengakui mereka dan juga hak-hak warga negara minoritas mereka yang pada waktu itu memperbolehkan orang Armenia memilih anggota parlemen pilihan mereka.
Pada tahun 301 M, selama pemerintahan Raja Dirtad III, Armenia menjadi negara Kristen pertama di dunia. Seorang pendeta Kristen yang biasanya dikenal sebagai Krikor Lusavorich atau St. Gregory the Illuminator, berhasil menyembuhkan sang raja. Setelah peristiwa itu, Raja Dirtad III dibaptis dan menerima kekristenan sebagai agama resmi Armenia. Sebelumnya, dua penginjil sudah membawa agama Kristen ke Armenia, mereka adalah St. Thaddeus dan St. Bartholemew. Sekarang Armenia masih merupakan negara Kristen yang populasinya terdiri dari: Armenian Apostolic Orthodox (94%), Kristen lain (4%), dan Yezidi (Zoroastrian/animist, 2%).
Pengalaman traumatis diusir dari tanah air mereka dan pembersihan etnis sangat membekas di hati orang Armenia.
Diterjemahkan dari:
Diambil dari: