k (1 versi terdahulu) |
(→Pranala luar) |
||
Baris 59: | Baris 59: | ||
== Pranala luar == | == Pranala luar == | ||
- | * [http:// | + | * {{id}} [http://id.wikipedia.org/wiki/Andreas_Anangguru_Yewangoe Andreas Anangguru Yewangoe di Wikipedia Indonesia] |
- | + | [[Kategori:Biografi]] | |
- | + | [[Kategori:Tokoh dari Indonesia]] | |
- | [[Kategori: | + | |
- | + | ||
- | [[Kategori:Tokoh | + | |
- | + | ||
- | + | ||
- | + |
Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe, lahir pada 31 Maret 1945 di Mamboru, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, adalah seorang pendeta, dosen dan teolog Kristen Protestan yang merupakan salah satu tokoh pemimpin dan pemikir Kristen Indonesia saat ini.
Daftar isi |
Yewangoe dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi, namun sejak usia 7 bulan, menurut kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh orangtua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang melayani sebagai seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka.
Kehidupan Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat kecil. Karna itu, ayah angkatnya juga harus mencari nafkahnya sebagai seorang petani. Sebagai seorang anak tani, Yewangoe terbiasa hidup menggembalakan kerbau bersama teman-temannya. Hidup di tengah keluarga pendeta ternyata meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya muncul keinginan untuk juga menjadi seorang pendeta. Harapannya ini ternyata cocok dengan harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun didorong untuk mengembangkan karier itu. Karenanya Yewangoe pun tertarik untul belajar teologi, meskipun saat itu ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang studi teologi.
Demikianlah Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat Masehi di Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah sekolah Kristen di Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Setelah tamat dari SMA pada 1963, ia pun meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta).
Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Setibanya di ibukota, ia sangat terkejut menyaksikan perbedaan yang sangat besar dengan kampung halamannya.
Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani, dan bahasa Inggris. Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar. Meskipun dari sekitar 40 orang mahasiswa yang masuk bersamanya ke sekolah itu hanya 8 orang saja yang lulus, Yewangoe bersyukur karena ia banyak tertolong karena ia sering belajar bersama dengan teman-temannya di GMKI.
Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta, lalu kembali ke Waingapu, Sumba dan melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS). Pada 1971, ia dipanggil untuk menjadi dosen untuk mata kuliah Teologi Sistematika di Akademi Theologia Kupang (kini telah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana karena pendeta yang seharusnya mengajar di akademi itu mengundurkan diri.
Setahun kemudian, pada 1972, ia mendapat kepercayaan untuk menjadi rektor di sekolah itu untuk masa jabatan empat tahun, meskipun saat itu usianya baru 27 tahun.
Setelah menyelesaikan satu periode masa jabatannya sebagai rektor, Yewangoe dikirim ke Belanda untuk memperdalam studi teologinya di Universitas Vrije. Pada 1979 ia berhasil meraih gelar doktorandus teologi dan kembali lagi Kupang. Sementara itu, Akademi Theologia Kupang telah dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Teologi, dan Yewangoe pun kembali memperoleh kepercayaan untuk menjabat sebagai rektornya untuk periode 1980-1984.
Setelah periode jabatannya sebagai rektor selesai, ia kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya di universitas yang sama. Pada 1987 ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh penerbit BPK Gunung Mulia dalam bahasa Indonesia.
Sekembalinya dari Belanda, Sekolah Tinggi Teologi (STT) Kupang sudah berubah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana. Yewangoe kembali mendapatkan kepercayaan sebagai rektor untuk dua periode (1990-1998). Setelah masa jabatannya habis, ia tetap mengajar sebagai salah seorang dosen di Fakultas Teologi.
Pada 2001, Yewangoe pindah ke Jakarta dan menjadi dosen Teologi Sistematika di STT Jakarta, sambil menjalankan tugasnya sebagai salah seorang ketua PGI untuk periode 2000-2004. Pada Sidang Raya XIV PGI pada 2004 di Caringin, Bogor, Yewangoe terpilih sebagai Ketua Umum organisasi gereja-gereja Protestan Indonesia itu untuk periode 2004-2009.
Sebelumnya, ia sudah dipilih sebagai Ketua PGI untuk periode 1994-1999, dan menjadi anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) pada periode 1989-1994.
Yewangoe juga dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif. Tulisan-tulisannya banyak muncul di suratkabar Suara Pembaruan.
Andreas Anangguru Yewangoe menikah dengan Petronella Lejloh, dan mempunyai dua orang anak yang sudah dewasa: Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru (lahir 1972) dan Anna Theodore Yewangoe (lahir 1980).
Berikut ini adalah daftar dari sebagian karya tulis Yewangoe:
Jabatan-jabatan lain yang pernah dipegang oleh Yewangoe antara lain adalah: