Kekristenan di Bali

Dari In-Christ Wiki, Wiki Kristen Indonesia
Revisi per 07:11, 30 April 2010; Bennylin (Bicara | kontrib)
(beda) ←Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Langsung ke: navigasi, cari

KONON di perpustakaan Vatikan, Roma, tersimpan sepucuk surat dari Raja Klungkung, penguasa Bali pada awal abad ke-17. Surat yang ditulis di daun lontar itu merupakan undangan dari Raja Klungkung kepada para pastor Portugis di Pusat Katolik Malaka agar datang ke Bali. Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat .... Saya pun akan senang bila imam-imam (pastor) datang ke sini, agar siapa saja yang menghendaki, boleh masuk Kristen, kata Raja Klungkung. Surat itu persisnya bertahun 1635. Undangan raja Bali itu sudah tentu mendapat sambutan baik dari pemuka-pemuka agama Katolik di Malaka, yang ketika itu dikuasai Portugis. Buktinya, tak lama setelah itu, persisnya 11 Maret 1635, datanglah dua pastor dari Malaka. Mereka itu adalah Pastor Manuel Carualho S.J. dan Azeuado S.J. Inilah awal persentuhan masyarakat Bali dengan misionaris Katolik. Setidaknya undangan Raja Klungkung itu merupakan peristiwa pertama yang terekam oleh sejarah. Sayangnya, tidak ada catatan tentang hasil kunjungan kedua misionaris Katolik itu selama berada di Bali. Atau, tentang bisa diterima atau tidaknya agama Katolik oleh masyarakat Bali ketika itu. Sejarah persentuhan antara misionaris Katolik dan masyarakat Bali yang beragama Hindu itu terputus hingga di sini. Tak ada penjelasan untuk itu, selain dugaan-dugaan. Misalnya, terputusnya sejarah itu karena pemerintah Hindia Belanda pernah menjadikan Pulau Bali tertutup bagi agama Kristen. Itu berawal dari peristiwa terbunuhnya seorang pendeta Kristen (bukan Katolik) pada tahun 1881 di Bali. Larangan ini diulang pada tahun 1930-an. Berapa lama larangan ini berlaku, memang tidak jelas. Pada tahun 1890, yakni sekitar sepuluh tahun sejak larangan itu diberlakukan, sudah ada seorang pastor Katolik yang datang di Bali. Siapa dan apa kegiatannya, tidak diketahui. Dengan kata lain, sejarah perkembangan Katolik di Pulau Dewata Bali masih gelap sampai tahun 1890-an itu. Cerita mulai terang ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pijnacher Hordijk memberi izin pada umat Katolik untuk menempatkan dua imamnya di Buleleng. Ini terjadi pada tanggal 25 Mei 1891. Agaknya, sejak itu Bali mulai terbuka bagi kedatangan pastor Katolik. Yang datang di antaranya Fr. Simon Buis, pengurus sekolah Sunda Kecil di Ende, yang mendapat izin mendirikan sekolah di Bali pada tahun 1920. Lalu, pada tahun 1932-1935, Pastor Yan van der Heyden S.V.D., berkunjung ke Bali. Tapi dua pastor itu belum tercatat, apakah mereka berhasil mendapatkan umat atau tidak. Adalah Pastor Yan Kersten S.V.D., seorang misionaris asal Belanda, yang dianggap pertama kali berhasil menyebarkan agama Katolik di Bali. Pastor Kersten masuk Bali tahun 1935, dan dalam melakukan misinya ia berpegang pada nasihat Mgr. Petrus Noyen S.V.D., seorang pastor di Timor yang pernah berkunjung ke Bali pada 1915. Kata Petrus Noyen, Hanya imam yang sungguh- sungguh rendah hati, sabar, kudus, dan terpelajar yang akan berhasil di tengah-tengah umat Bali. Benar atau tidak nasihat itu dilaksanakan, yang pasti ada catatan bahwa pada tahun itu juga, 1935, Kersten berhasil membaptis dua orang Bali di Desa Tuka, sekitar 30 kilometer dari Denpasar. Mereka itu adalah I Made Bronong Barnabas dan I Wayan Diblug Timotius. Perpindahan agama itu, seperti diakui I Wayan Diblug, kini 90 tahun, karena agama Katolik menawarkan kesimpelan, hingga ia merasa tak terbebani. Tak lama kemudian, langkah I Made dan I Wayan itu diikuti oleh 16 orang Bali lainnya. Tak jelas benar keterangan I Wayan Diblug, yang nama baptisnya Timotius itu, mengapa ia masuk Katolik. Kata kesimpelan dan tak terbebani tak bisa ia terangkan maksudnya. Sejauh yang bisa ditafsirkan, mungkin I Wayan Diblug -- ketika itu berusia sekitar 30 tahun -- bersahabat dengan Pastor Kersten, dan karena persahabatan ini ia mau masuk Katolik, sebab ia menarik kesimpulan antara Katolik dan bukan Katolik itu sama saja. Yang pasti, masuk Katoliknya sejumlah orang Bali menarik perhatian raja Badung. Soalnya, kata Diblug, pembaptisan itu dianggap sebagai pelanggaran besar. Itu sebabnya, ketika itu, muncul reaksi keras dari masyarakat Hindu di Bali, yang menyebabkan raja Badung memanggil para pemeluk baru Katolik itu. Tapi, apa tindakan raja terhadap mereka, tidak jelas. Dan sebenarnya, masuknya orang Bali ke agama Katolik tidaklah se-simpel dugaan I Wayan Diblug. Pada tahun 1937, pernah terjadi persengketaan soal kuburan. Ketika itu, cerita Diblug, dua orang umat Kristen meninggal. Umat Hindu keberatan jika Men Sampreg, salah seorang yang meninggal itu, dimakamkan di kuburan milik umat Hindu. Untunglah ketika itu pemerintah kolonial Belanda segera turun tangan, menguburkan dua Katolik dari Tuka itu di Denpasar. Bagaimana Belanda bisa menyuruh orang Bali menguburkan orang Katolik? Mudah saja, yang diperintahkan melakukan penguburan itu orang-orang tahanan. Anehnya, meski ada hambatan seperti itu, jumlah pengikut Pastor Kersten terus bertambah. Bersamaan dengan peresmian gereja pertama di Bali, di Desa Tuka, tahun 1937, Kersten mempermandikan 51 orang Bali. Gereja pertama itu diberi nama Satu Allah Tri Murti (kini bernama Gereja Tri Tunggal Maha Kudus), dan segera menjadi titik sentral penyebaran agama Katolik di Bali. Sejak gereja itu berdiri, jumlah umat Katolik di Desa Tuka terus berkembang. Tercatat pada tahun 1938, umat Katolik di desa itu sudah lebih dari 250 orang. Sedangkan di desa Gumbrih, sekitar 60 kilometer dari Denpasar, 30 orang disebutkan sebagai katekumen, orang-orang yang dicalonkan akan dibaptis. Pastor Kersten tampaknya memang menghayati hidup di Bali. Ia sempat menyusun kamus bahasa dan tata bahasa Bali. Tapi mungkin misionaris satu ini belum siap benar-benar bersatu dengan Bali. Maka, ketika ia mulai capek karena usia, ia mengajukan permohonan pulang ke Belanda. Itu dikabulkan. Sebagai penggantinya ditunjuklah Pastor Simon Buis, juga seorang misionaris dari Belanda. Pastor Simon Buis inilah yang mengawali memadukan budaya Bali dalam tata cara agama Katolik. Ini tercermin pada keinginan Pastor Simon Buis untuk membangun sebuah perkampungan yang bersuana tradisional Bali. Untuk itu, Pastor Simon Buis mengajukan permohonan pada Residen Bali di Singaraja agar diberi tanah hutan di bagian barat Bali. Permintaan itu tak dikabulkan, meskipun Pastor Simon Buis telah berkali-kali mengajukannya. Bisa dimaklumi, sebab mayoritas warga Belanda adalah pemeluk Protestan. Maka, tanah seluas sekitar 200 hektar itu akhirnya diberikan kepada umat Protestan. Kawasan ini ini bernama Desa Blimbingsari, yang mayoritas warganya memang Protestan. Tentu saja, tutur Romo Shadeg, seorang pastor di Paroki Tuka, Pastor Simon Buis kecewa. Tapi Pastor Simon Buis tak putus asa, dengan nekat ia menghadap lagi ke dewan raja-raja Bali meminta sebidang tanah. Akhirnya, permintaan Pastor Simon itu dikabulkan juga. Ia memperoleh tanah sekitar 200 hektar di kawasan hutan Pangkung Sente, yang disebut Desa Palasari Lama. Syahdan, suatu hari, bulan September tahun 1940, berangkatlah Pastor Simon Buis bersama 18 kepala keluarga dari Dusun Tuka dan enam kepala keluarga dari Dusun Gumbrih menuju hutan Pangkung Sente. Menurut I Wayan Diblug, orang Bali dari Tuka yang pertama dibaptis, di antara 18 kepala keluarga itu delapan kepala keluarga orang Katolik dan 10 kepala keluarga orang Hindu. Dua bulan kemudian, tepat pada ulang tahun ke-48 Pastor Simon Buis, berangkat pula 22 kepala keluarga ke Palasari. Mereka dari Desa Tuka, Desa Beringkit, dan Desa Gumbrih. Maka, mulailah mereka bersama-sama merambah hutan. Pastor Simon sempat jatuh sakit, tapi ia tetap memimpin umat merambah hutan, mengajar bercocok tanam, dan memberi bimbingan agama. Untuk menghindari serangan binatang buas yang masih banyak berkeliaran di hutan Pangkung Sente itu, mereka membangun pondok kecil di pohon besar. Itu berjalan kurang lebih selama satu tahun, yakni setelah perambahan hutan selesai. Namun, setelah didiami beberapa tahun, terasalah bahwa daerah seluas 200 hektar itu tidak cocok untuk tempat tinggal. Daerahnya bergunung-gunung dan tidak begitu subur. Pastor Simon Buis lalu mengajukan permintaan lagi ke dewan raja-raja. Permintaan itu dikabulkan. Dewan raja-raja memberikan tanah untuk warga Palasari Lama sebuah lokasi seluas 200 ha juga, yang tak jauh dari hutan Pangkung Sente. Lokasi baru inilah yang sampai sekarang disebut Desa Palasari. Kebetulan, Palasari (baru) subur. Ini menarik orang pindah ke tanah baru ini. Maka, cita-cita Pastor Simon Buis membangun sebuah perkampungan umat Katolik yang bersuasana tradisional Bali pun mendapatkan jalan. Di desa ini, meskipun mereka beragama Katolik Roma, orang-orang Bali itu tetap memakai adat dan tradisi Bali, baik dalam berpakaian, berbahasa, maupun dalam mendirikan bangunan. Satu hal saja yang sulit di-Bali-kan. Yakni pakaian imam yang mempimpin liturgi (ibadah). Menurut Paskalis Edwin, pastor dari paroki Palasari, pernah ada percobaan, imam pemimpin liturgi memakai pakaian Bali. Tapi rupanya jemaat, juga imamnya sendiri, merasa tidak srek. Maka, kembalilah digunakan jubah seperti imam Katolik di Eropa. Pun, konon, Vatikan pernah menegur soal adat Bali di kalangan umat Katolik Bali itu. Tapi pertanggungjawaban para pastor di Bali bisa diterima, hingga gagasan Pastor Simon Buis itu malah didukung oleh Vatikan. Orang Bali mungkin memang sangat khas. Menurut Profesor Doktor I Gusti Ngurah Bagus, seorang antropolog, orang Bali punya daya tahan terhadap gempuran berbagai macam budaya dan agama untuk tak kehilangan kebaliannya. Soalnya, keterikatan mereka terhadap adat-istiadat Bali sangat membumi. Mereka merasa aman dan nyaman hidup dalam adat Bali, dalam keluarga Bali, dalam kampung Bali, dalam kesenian Bali. Jika soal-soal ini tak diusik, apakah mereka diminta masuk Hindu atau Islam atau Kristen, itu, meminjam kata-kata I Wayan Diblug, warga Tuka yang pertama kali masuk Katolik, itu simpel saja. Julizar Kasiri (Jakarta), Putu Fajar dan Putu Wirata (Denpasar)

Sumber: Majalah Tempo 22 Mei 1993 Judul asli: Menjadi katolik itu simpel saja Sius: Majalah Tempo Online

Baca versi Inggrisnya / Read the English translation

Peralatan pribadi