Anti Stigma dan Diskriminasi

Anti
Stigma dan Diskriminasi

Berdasarkan
jumlah penderita HIV/AIDS, Papua menduduki urutan kedua terbanyak setelah DKI
Jakarta. Namun, berdasarkan prevalensi mereka yang mengidap HIV/AIDS, Papua
menduduki urutan pertama di Indonesia. Itulah sebabnya pemerintah daerah Papua
berusaha dengan segenap tenaga untuk menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS yang
mematikan itu.

Gubernur
Papua, Barnabas Suebu telah mencanangkan tanggal 1 Desember 2009 sebagai hari
gerakan seluruh masyarakat Papua dalam menanggulangi HIV/AIDS. Keputusan ini
tentu saja harus mendapat dukungan seluruh masyarakat Papua, karena semua orang di Papua tentunya memiliki
kepentingan yang sama, yakni menekan laju pertumbuhan HIV yang mengancam setiap
orang di Papua.

Kita
semua paham, HIV /AIDS bukan hanya mengancam mereka yang terlibat seks bebas,
atau kelompok berisiko tinggi, tetapi juga para istri dalam keluarga baik-baik,
dan anak-anak yang merupakan gelombang keempat dan kelima penularan
HIV/AIDS. HIV/AIDS pertama kali
berjangkit dikalangan pria homoseksual dan para pengguna narkoba. Gelombang
kedua pada para pekerja seksual. Gelombang ketiga pada para laki-laki
pelanggan, kemudian menulari istri dan pacar mereka, dan selanjutnya pada
anak-anak mereka.

Salah
satu persoalan klasik yang bisa menjegal perjuangan seluruh masyarakat Papua
dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah pemberian stigma dan diskriminasi terhadap
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Apabila kejadian itu terus berlanjut, bukan
mustahil, tekad mulia Gubernur Suebu tidak akan populer dalam masyarakat Papua.
Karena itu, pemerintah daerah Papua harus mendampingi gerakan tersebut dengan
gerakan anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Stigma dan Diskriminasi

Stigmatisasi
(sangka buruk) dan diskriminasi terhadap mereka yang menderita HIV/AIDS telah menjadi
fenomena biasa di Indonesia, juga di Papua. Penderita HIV/AIDS dituding sebagai
orang yang tidak bermoral dan pendosa. Apalagi, dalam masyarakat Papua sampai
saat ini masih ada pandangan yang menyatakan bahwa HIV/AIDS adalah akibat dari
sebuah kutukan.

Stigmatisasi
dan diskriminasi itu mengakibatkan orang dengan HIV bukan saja sulit untuk mencari
pekerjaan, tetapi juga telah membuat banyak penderita HIV kehilangan pekerjaan,
perumahan bahkan menghadapi berbagai hinaan, serta perlakuan yang tidak
manusiawi. Media sudah banyak melaporkan penderitaan mereka yang disingkirkan
oleh masyarakat. Tindakan itu umumnya lahir akibat kepanikan anggota masyarakat
yang sangat takut terjangkit HIV/AIDS,
karena tidak memahami syndrome itu, dan bagaimana menghindarinya. Ketakutan
yang berlebihan itu kemudian mengikis perasaan belas kasihan pada penderita
HIV/AIDS.

Stigmatisasi
dan diskriminasi terhadap ODHA di Papua terbaca jelas pada usulan pemaksaan penggunaan chips atau pemberian tato
sebagai tanda pada penderita HIV yang berbahaya, yang dikuatirkan akan dengan
sengaja menyebarkan virus itu kepada orang lain.

Tujuannya adalah, dengan adanya chips itu orang yang
belum terinfeksi bisa waspada ketika berdekatan dengan mereka yang menderita
HIV, dan orang yang terinfeksi tidak akan berani secara sengaja menyebarkan
virus tersebut kepada orang lain. Jika penderita HIV nekat menyebarkan virus
itu pada orang lain, mereka akan terkena sanksi hukuman.

Semangat dikriminasi beberapa anggota DPRD Papua itu
bermuara pada usaha melegalkan tindakan diskriminasi itu dalam bentuk peraturan
daerah provinsi (raperdasi), yang kemudian melahirkan kontroversi yang
berakibat dihentikannya pembahasan raperdasi tersebut. Semangat pendukung
aturan yang diskriminatif terhadap ODHA itu tentu tidak dengan sendirinya padam
setelah pembekuan raperdasi yang kontroversial itu. Kepanikan karena takut
terjangkit HIV/AIDS akan membuat mereka nekat, dan dengan sengaja melakukan
diskriminasi terhadap ODHA. Ini adalah persoalan yang harus dihadapi oleh
pemerintah Papua.

Di Jakarta, pada tanggal 29 November 2006, empat puluh
orang penderita HIV/AIDS yang frustasi karena mengalami stigma dan diskriminasi
berdemo di bundaran Hotel Indonesia (HI) menolak perlakuan tidak adil yang mereka
terima. Demonstrasi itu merupakan cetusan betapa pahitnya hidup penderita
HIV/AIDS, disamping harus berjuang melawan penyakit karena menurunnya kekebalan
tubuh akibat terinfeksi HIV, mereka juga harus mengalami penderitaan karena
ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh anggota keluarga mereka.

Suara frustasi penderita HIV pada demonstrasi itu tercetus
saat mereka melontarkan ancaman akan menularkan virus yang ada dalam tubuh
mereka kepada masyarakat umum, termasuk dokter dan aparat kepolisian jika
diskriminasi terhadap mereka tidak dihentikan. Rumor tentang pelaksanaan
ancaman itu kemudian juga terdengar di berbagai tempat, juga di Papua.

Ancaman itu tentu saja amat menakutkan, tapi secara
bersamaan mestinya mengingatkan masyarakat bahwa itu adalah luapan rasa
frustasi ODHA yang tak lagi mampu menanggung penderitaan, dan membutuhkan
pertolongan semua pihak. Ancaman penderita HIV/AIDS yang sedang frustasi itu tidak
boleh dijadikan "kambing hitam" atas tingginya pertambahan orang yang
terjangkit penyakit itu, apalagi jika kemudian dijadikan dasar untuk melegalkan
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Kepanikan dalam menangangani bencana
HIV/AIDS akan melahirkan kebijakan prematur yang bersifat diskriminati. Kebijakan prematur
tersebut tentu saja tidak produktif dalam mengatasi bencana HIV/AIDS yang
sesungguhnya membutuhkan kerja sama semua fihak, baik penderita maupun mereka
yang belum terjangkit.

Tantangan Bersama

Tepatlah
apa yang dikatakan Prof Jonathan Mann (almarhum),
perintis paduan ilmu kesehatan dan HAM Universitas Harvard dan mantan Direktur
Program Global WHO, ketika menjelaskan bahwa program penanggulangan AIDS di suatu
negara bisa berhasil dengan cara merangkul, "memanusiakan" orang-orang dengan
HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS yang diterima dengan baik tentu saja akan bersedia
ikut dalam usaaha penaggulangan wabah itu. Hanya dengan cara itulah
keterlibatan seluruh masyarakat Papua dimungkinkan.

Penderita HIV/AIDS memiliki martabat yang sama dengan manusia
lainnya, kemanusiaan mereka tidak pernah terhapus karena penyakit yang mereka
derita, apalagi penyakit itu juga bukan pilihan mereka. Dan mereka tentu saja
tidak akan rela saudara-saudara mereka di Papua menderita penyakit yang sama
dengan apa yang mereka sedang derita.

Secara internasional, pengakuan pentingnya menghargai ODHA sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia yang mulia juga tertuang dalam deklarasi
UNGASS (United
Nations General Assembly Special Session) pada tahun 2001. Indonesia merupakan
salah satu dari 189 negara yang menandatangani deklarasi tersebut. Karena itu
sudah seharusnya penggulangan HIV/AIDS di Papua, dan seantero Indonesia
memerhatikan deklarasi itu. Penderita HIV/AIDS sudah semestinya mendapatkan
perlakuan yang manusiawi, dan hanya dengan bekerjasama dengan merekalah kita
bisa memutus rantai penyebaran penyakit itu.

Anti Stigma dan Diskriminasi

Sesungguhnya
tak ada alasan sahih untuk mendiskriminasikan mereka yang terinfeksi
HIV/AIDS, apalagi saat ini banyak
diantara mereka yang terinfeksi HIV/AIDS adalah anggota dari keluarga baik-
baik. Melalui berbagai cara, HIV/AIDS
menjangkiti banyak anggota keluarga baik-baik itu, bahkan diantara mereka yang
menderita HIV/AIDS ada juga anak-anak,
karena terlahir dalam kandungan ibu penderita HIV.

Mengacu
pada Deklarasi Universal HAM, siapapun tak boleh mencabut hak asasi seseorang,
demikian juga sebuah virus HIV tidak memiliki kuasa untuk mencabutnya.
Sikap-sikap yang diskriminatif dan mendeskreditkan kedudukan ODHA dalam
masyarakat merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia.

Penanggulangan
HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua, hanya mungkin terjadi jika
promosi anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dilaksanakan dengan
konsisten dan konsekwen seiring dengan gerakan penanggulangan HIV/AIDS. Hanya dengan
itulah program penaggulangan HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua
dapat terwujud.

Disamping
itu, kampanye anti stigma dan diskriminasi yang menjadi bagian dalam program
penanggulangan HIV/AIDS ini juga akan menolong pemerintah dalam menekan angka
kemiskinan di Papua. Karena HIV/AIDS bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi
juga memiskinkan keluarga yang terjangkit HIV/AIDS.

Binsar
Antoni Hutabarat

Keywords Artikel: aids, artikel

Topic Artikel: Renungan dan Artikel

Comments

MoZee_Rui's picture

Level Edukasi Rendah dan Budaya Mistis

Di Negri Kaya Takhyul ini, mungkin HIV dianggap sebagai kutukan;D

Qoheleth~MoZee~^_^