Oleh: dr. Steven E. Liauw, M.p., DRE
Buku The Da Vinci’s Code karangan Dan Brown telah menjadi best-seller di Amerika, dan bahkan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. Apa yang membuat buku ini unik dibandingkan buku-buku best-seller lainnya adalah klaim-klaim yang terkandung di dalamnya, klaim-klaim bahwa ia menemukan fakta Yesus, gereja, dan Alkitab yang sesungguhnya. Dan Brown, walaupun mengaku sebagai orang percaya, justru dalam bukunya ini mengajarkan segala sesuatu yang bertentangan dengan sejarah dan kebenaran.
Pada sampul depan edisi terjemahan Indonesia, tercantum kata-kata “memukau nalar, mengguncang iman!” Penulis dan penerjemah buku ini justru merasa puas dan bangga bahwa karya mereka akan mengguncangkan iman banyak sekali orang Kristen awam yang mudah diombang-ambingkan oleh berbagai angin pengajaran. Oleh sebab itu, buku ini perlu untuk dicermati, bukan untuk dihayati, tetapi untuk dijawab dan dibuktikan kesalahannya. Review ini akan merangkum alur cerita dari buku The Da Vinci’s Code agar pembaca tidak perlu membaca buku ini bagi diri sendiri (dan memperkaya Dan Brown).
The Da Vinci’s Code adalah sebuah fiksi thriller dengan alur cerita yang memukau. Tetapi, walaupun menggunakan tokoh utama fiktif, tetapi Dan Brown mengklaim bahwa segala informasi sejarah yang terkandung dalam buku ini adalah akurat. Pada awal buku, pembaca langsung diperhadapkan dengan suatu adegan pembunuhan. Adalah Jacques Sauniere, seorang kurator terkenal yang dibunuh oleh seorang agen Opus Dei (salah satu organisasi Katolik) bernama Silas di dalam museum Louvre, Paris. Jacques Sauniere, walaupun terbunuh, adalah tokoh yang sentral dalam cerita ini, karena ia sebenarnya adalah mahaguru dari sebuah perkumpulan rahasia, yaitu Biarawan Sion.
Cerita berlanjut pada penyelidikan akan pembunuhan Sauniere. Adalah Kapten Fache, seorang kapten dari DCPJ (versi Perancis dari FBI) yang menangani kasus ini. Teka-teki dalam buku ini muncul karena Sauniere meninggalkan pesan berupa kode-kode yang mistik dan aneh sebelum dia meninggal, antara lain posisi tubuhnya yang telanjang bulat dan diatur serupa dengan gambar Virtruvian-man karya Da Vinci, gambar pentakel di pusarnya menggunakan darahnya sendiri, sebuah deret angka, dan dua kalimat anagram. Selain itu, Sauniere juga berpesan untuk mencari Robert Langdon, seorang ahli simbologi agama dari Harvard. Berdasarkan petunjuk tersebut, Fache langsung menetapkan Langdon sebagai tersangka utama dan mencoba untuk mengorek keterangan darinya dengan cara berpura-pura menanyakan pendapat Langdon tentang pesan-pesan yang ditinggalkan Sauniere. Tentu saja, Fache terlebih dahulu menghapus nama Langdon dari pesan tersebut.
Ketika Fache sedang sibuk memancing reaksi Langdon di area kejadian, tiba-tiba mereka diinterupsi oleh Sophie Neveu, wanita yang bekerja di bagian kriptologi dan yang juga adalah cucu dari Sauniere. Sophie yakin bahwa pesan-pesan yang ditinggalkan kakeknya adalah untuk dirinya, dan ia tahu bahwa Langdon sedang dijebak oleh Fache.
Oleh sebab itu, ia datang untuk menolong Langdon, sekaligus memecahkan pesan tersembunyi kakeknya dengan dibantu oleh Langdon. Setelah berhasil menipu Fache, ia dan Langdon melarikan diri sambil berusaha memecahkan rahasia tersebut.
Mereka berdua akhirnya mengetahui bahwa Sauniere adalah anggota dari kelompok rahasia Biarawan Sion. Biarawan Sion diklaim telah ada sejak satu milenium yang lalu dan bertugas menjaga rahasia yang sangat penting yang berkaitan dengan sejarah Yesus yang asli.
Menurut cerita, kelompok ini ditindas sepanjang zaman oleh gereja yang berkuasa karena mereka menjaga kebenaran yang amat ditakuti oleh gereja. Nah, kebenaran inilah yang ingin diteruskan oleh Sauniere kepada cucu perempuannya menjelang ajal hidupnya.
Bermodalkan kecepatan nalar Sophie yang sudah sering dilatih oleh kakeknya sewaktu kecil, dan juga pengetahuan Langdon akan simbol dan sejarah Biarawan Sion, keduanya memecahkan satu misteri demi misteri lainnya.
Sampai di sini, pembaca perlu mengetahui tentang Biarawan Sion yang sebenarnya. Sebenarnya, organisasi ini didirikan oleh Pierre Plantard dan tiga orang lain pada tahun 1954 dengan nama Priory of Sion. Klub ini bertujuan meningkatkan jumlah rumah berbiaya rendah di Perancis, dan bubar pada tahun 1957. Walau demikian, Plantard tetap mempertahankan nama klub tersebut. Ia lalu menciptakan serangkaian dokumen palsu yang membuktikan bahwa ada garis darah dari Maria Magdalena melalui raja-raja Perancis, sampai pada dirinya sendiri. Pada tahun 1993, Plantard diadili, dan dalam pengadilan Plantard mengakui bahwa seluruh ide Biarawan Sion adalah hasil ciptaannya sendiri.1
Mari kita kembali ke cerita fiksi. Sambil terus dikejar polisi, Sophie mendapatkan bahwa pesan-pesan kakeknya di museum membimbingnya kepada sebuah kunci. Kunci tersebut juga merujuk pada satu alamat yang ternyata adalah Bank Penyimpanan Zurich. Ternyata kunci itu adalah kunci salah satu rekening Bank. Kembali Sophie dan Langdon harus memutar otak dan mencari nomor rekeningnya. Tetapi ternyata nomor rekeningnya adalah deret angka Fibonacchi yang ditinggalkan Sauniere sebagai pesan di museum. Dan, setelah membuka kotak penyimpanan, Langdon dan Sophie menemukan sebuah cryptex (sebuah kotak penyimpan pesan rahasia dengan kode lima huruf). Rupanya rahasia yang disimpan oleh Sauniere ada di dalam cryptex tersebut.
Sambil semua ini terjadi, polisi berada tepat di belakang mereka, dan dengan giat berusaha menangkap keduanya. Sophie dan Langdon melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain, bagaikan lolos dari lubang jarum. Akhirnya mereka memutuskan untuk melarikan diri ke rumah Sir Leigh Teabing, seorang bangsawan Inggris teman Langdon, sekaligus juga seorang yang menghabiskan hidupnya menyelidiki tentang Biarawan Sion.
Setelah bertemu dengan Teabing, pembaca mendapat penjelasan lebih lanjut tentang misteri yang sedang dikejar oleh Sophie dan Langdon. Rahasia yang dijaga oleh Biarawan Sion, ternyata adalah tentang Cawan Suci (Holy Grail), yaitu cawan yang dipakai oleh Yesus pada perjamuan terakhir. (Orang fundamental tidak peduli dengan hal-hal aneh seperti “Cawan Suci” yang sama sekali tidak memiliki nilai di mata orang lahir baru). Hanya saja, ternyata Cawan Suci bukanlah cawan sama sekali. Cawan itu hanyalah simbol.
Teabing lalu menjelaskan kepada Sophie, dengan didukung berbagai buku dan pesan-pesan tersembunyi dalam karya-karya Da Vinci, bahwa Cawan Suci sebenarnya adalah seorang perempuan, yaitu Maria Magdalena.
Teabing melanjutkan penjelasan bahwa Yesus yang asli tidaklah seperti yang diketahui luas saat ini. Yesus yang dikenal sekarang adalah hasil rekayasa gereja, dipimpin oleh Konstantine dalam konsili Nicea. Teabing bahkan menegaskan bahwa keilahian Yesus pun adalah doktrin baru yang disepakati berdasarkan voting pada konsili Nicea. Demikian pula pemilihan atas kitab-kitab yang dimasukkan dalam kanon Alkitab, semata-mata adalah pilihan gereja berdasarkan kesesuaian dengan doktrin yang dikembangkan gereja. Gereja digambarkan oleh Teabing sebagai organisasi patriarkis yang menindas kaum perempuan, menganggap seks kotor,dan membelenggu kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, gereja berusaha untuk memendam kebenaran bahwa Yesus sebenarnya menikah dengan Maria Magdalena, dan memiliki seorang putri bernama Sarah. Sarah juga memiliki keturunan yang bahkan berlanjut hingga hari ini.
Gereja dikatakan memerangi konsep ini dan berusaha menghancurkannya. Oleh sebab itulah dibentuk Biarawan Sion, yaitu organisasi persaudaraan yang bersumpah untuk melindungi rahasia dan kebenaran tentang Cawan Suci beserta keturunan dari Maria Magdalena. Cawan Suci yang banyak dicari orang hari ini, diyakini akan memimpin kepada sisa-sisa tulang/jasad dari Maria Magdalena. Biarawan Sion berfokus pada penyembahan akan dewi suci yang dilambangkan oleh Maria Magdalena dan berada dalam diri tiap perempuan.
Penulis merasa perlu untuk menyela cerita pada saat ini dan memberikan fakta yang sebenarnya. Dan Brown sungguh tidak dapat membedakan khayalan dari kebenaran. Ia menegaskan bahwa sebelum konsili Nicea, orang Kristen sejati tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa keilahian Yesus ditetapkan melalui voting (yang cukup ketat menurut Teabing). Jebakan seperti ini hanyalah untuk orang-orang yang sama sekali tidak tahu sejarah dan yang memang sudah anti-kristen. Perpustakaan umum terbuka lebar bagi siapa saja untuk memeriksa ratusan karya tulis bapa-bapa gereja sebelum Nicea yang menegaskan bahwa mereka percaya akan keilahian Yesus (antara lain Clement, Justin Martyr, Eusebius, dll).
Tudingan Teabing (Dan Brown maksudnya) bahwa Alkitab ditentukan saat Nicea juga konyol. Dalam setiap konsili, keputusan yang diambil hanyalah mencerminkan apa yang telah dipercaya oleh khalayak ramai saat itu,bukan suatu keputusan arbiter. Jauh sebelum Nicea, jemaat mula-mula telah menerima 27 kitab PB sebagai firman Tuhan dan menolak yang lainnya atas bimbingan Roh Kudus. Bahwa Yesus mengawini Maria Magdalena adalah fantasi yang tak dapat dibuktikan sama sekali. “Kode-kode” Da Vinci adalah hasil imajinasi yang hebat, dan tidak ada bukti bahwa Da Vinci bermaksud menaruh kode-kode pada karyanya.
Fiksi tetaplah fiksi, dan mari kita lanjutkan pembahasan tentang fiksinya Dan Brown.
Setelah Teabing menyelesaikan penjelasan yang panjang lebar, tiba-tiba Silas (pembunuh Sauniere) muncul untuk merebut cryptex. Walaupun Silas akhirnya berhasil dilumpuhkan,datang pula polisi Perancis yang telah berhasil melacak Langdon ke rumah Teabing. Mereka pun terpaksa lari. Beruntung, Teabing adalah seorang yang berkuasa dan kaya, sehingga mereka lari ke Inggris menggunakan jet pribadi Teabing. Di dalam perjalanan, ketiganya berhasil memecahkan sandi cryptex yang ternyata adalah SOFIA, atau bentuk lain dari nama Sophie. Tetapi, mereka sungguh terkejut, karena ternyata cyptex itu berisi cryptex yang kedua, juga dengan kode lima huruf.
Petunjuk berikutnya membawa mereka ke sebuah gereja di London, di mana mereka mencari sebuah makam yang akan memberikan kata kunci untuk cryptex yang kedua ini. Pada saat ini, Silas yang telah mereka ikat dan bawa, ternyata dibebaskan oleh pembantu Teabing yang ternyata berkomplot. Di bawah todongan pistol, cryptex direbut oleh Silas, dan Teabing di bawa sebagai sandera.
Sophie dan Langdon merasa sangat putus asa, tetapi mereka mencari cara untuk menolong Teabing. Mereka meneliti di perpustakaan dan mendapatkan petunjuk lokasi makam yang mereka cari tersebut.
Ketika sampai di makam tersebut, mereka akhirnya sangat terkejut ketika mendapatkan bahwa Teabing menodongkan senjata pada mereka. Ternyata Teabing adalah otak dibalik semua pembunuhan yang terjadi. Teabing kesal dengan para Biarawan, karena menganggap mereka telah dibeli oleh Gereja dan tidak berani mengungkapkan kebenaran Cawan Suci. Itulah sebabnya ia mempergunakan Silas untuk membunuh Sauniere, yaitu untuk mencari sendiri Cawan Suci dan membeberkannya pada dunia.
Teabing berusaha untuk membujuk Langdon agar mau bekerja sama dengannya. Ia menyerahkan cryptex pada Langdon dengan harapan Langdon dapat menemukan sandi yang tepat. Namun, karena Sophie dan Langdon enggan bekerja sama, Teabing memutuskan untuk menembak mereka. Pada saat itulah Langdon melempar cryptex ke udara. Teabing, yang telah mengabdikan hidup mencari Cawan Suci tidak dapat membiarkan cryptex hancur, sehingga ia membuang pistolnya untuk menyelamatkan cryptex.
Namun, tanpa dapat dicegah, cryptex toh hancur juga. Teabing merasa putus asa, tetapi ternyata Langdon telah berhasil membuka sandi, dan dengan diam-diam telah mengeluarkan isi cryptex. Rahasia kuno itu masih ada! Setelah Teabing akhirnya ditangkap, Langdon dan Sophie yang kini tidak lagi dikejar polisi meneruskan pencarian mereka dengan damai.
Mereka pergi ke sebuah gereja Roslin. Ternyata di sana mereka bertemu dengan nenek Sophie yang dikira sudah meninggal, dan juga adik laki-laki Sophie. Setelah menggabungkan cerita, ternyata Sophie sendiri adalah keturunan langsung dari Yesus dan Maria Magdalena, sehingga ia dilindungi.
Ketika orang tuanya meninggal dalam kecelakaan yang mencurigakan, kakek dan nenek Sophie berpencar dan masing-masing membesarkan satu orang cucu. Hal ini dilakukan demi keamanan. Pada akhir cerita, Langdon kembali ke Paris karena tidak menemukan Cawan Suci di Roslin. Namun, ia tiba-tiba ingat kembali akan salah satu petunjuk Sauniere, dan akhirnya meyakini bahwa tulang-tulang Maria Magdalena disembunyikan di Paris, dekat museum Louvre itu sendiri.***
1 James L. Garlow dan Peter Jones, Cracking Da Vinci’s Code (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2005), hal. 114-117.
Sumber: PEDANG ROH Edisi 44 Tahun XI Juli-Agustus-September 2005