Kanon Alkitab

Dari In-Christ Wiki, Wiki Kristen Indonesia
Langsung ke: navigasi, cari

Istilah "Kanon" berasal dari bahasa Ibrani qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa Yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti "ukuran" bagi iman Kristen.

Dalam kaitan dengan Alkitab, kata ini dipakai pertama kali dipakai oleh Athanasius yang mengartikan dari dua sudut, yaitu aktif yang berarti standar; dan pasif yang berarti kanonisasi, pengenalan dan penerimaan gereja terhadap sebuah kitab sebagai Firman Allah. Maka kanon Alkitab berarti kitab-kitab yang diterima, yang mencapai standar yang seharusnya sebagaimana Alkitab dan yang sebenarnya adalah Firman Allah.

Daftar isi

Kanonisasi Perjanjian Lama

Kanonisasi Perjanjian Baru

Prinsip Kanonisasi

Ada lima prinsip utama yang dipakai dalam kanonisasi untuk menemukan apakah sebuah kitab merupakan wahyu Allah.

  1. Dari segi isinya: Apakah dia berotoritas, apakah dia ditulis dengan otoritas Allah? Inilah cara kitab para nabi diakui. Kalimat-kalimat seperti "Kemudian Tuhan berfirman kepada nabi," atau "Tuhan berbicara kepada ….." atau "Tuhan berbicara" memenuhi halaman-halaman dalam kitab nabi-nabi di Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Baru, karena Yesus sendiri tidak meninggalkan tulisan, maka tulisan-tulisan yang paling berotoritas adalah yang berasal dari para rasul yang hidup sejaman dengan-Nya. Kitab yang tidak memiliki otoritas dari Allah ditolak.
  2. Dari segi penulisnya: Apakah dia bersifat kenabian (prophetic), apakah dia ditulis oleh manusia yang dipilih Allah (man of God)? Adalah wajar untuk percaya bahwa firman Allah yang diilhamkan Roh Kudus bagi umat Allah tidak diberikan melalui orang lain selain dari manusia yang dipilih Allah (2 Pet.1:20; Ibr.1:1). Inilah yang dipakai Paulus dalam membela suratnya kepada orang-orang di Galatia (Gal.1:1-24). Paulus juga memakai alasan yang sama untuk menolak surat yang dipaksakan atau ditulis dengan nama palsu (2 Tes.2:2).
  3. Dari segi sifatnya: Apakah dia otentik, apakah dia menceritakan kebenaran tentang Allah, manusia, dan sebagainya? Kitab-kitab yang kanonikal harus mencatat kenyataan yang benar-benar terjadi. Sebuah kitab yang bertolak belakang dengan kebenaran tidak berasal dari Allah. Selain itu, isi dan ajarannya juga harus sesuai dengan isi dan ajaran dari kitab-kitab kanon lainnya. Rasul Yohanes dengan tegas mengatakan bahwa “kebenaran” harus diuji dengan standar yang sudah diketahui sebelum diterima. (1 Yoh. 4:1-6).
  4. Dari segi manfaatnya: Apakah dia dinamis, apakah dia mengandung kuasa dari Allah yang dapat mengubah hidup manusia? Firman Allah adalah “hidup dan aktif” (Ibr. 4:12), sehingga dia memiliki kuasa perubahan untuk membangun (2 Tim. 3:16) dan memberitakan Injil (1 Pet. 1:23). Apabila ketaatan pada apa yang dikatakan dalam isi kitab tersebut tidak mendatangkan apa yang dijanjikan, atau apabila dia tidak memiliki kuasa untuk mengubah hidup manusia, maka Allah tidak berada di belakang kitab itu. Apa yang di sampaikan Allah pasti didukung oleh kuasa Allah yang besar.
  5. Dari segi fungsinya: Apakah dia diterima, dikumpulkan, dibaca dan dipakai, apakah dia diterima oleh umat Allah? Kitab-kitab kanonikal adalah kitab-kitab yang diterima sebagai firman Allah yang menjadi sumber pengajaran, sebagai standar iman dan kehidupan oleh orang-orang yang pertama-tama membacanya maupun generasi berikutnya, dan yang terpenting adalah oleh gereja secara universal (bd. 1 Tes. 2:13). Gereja yang di maksud adalah Gereja yang benar. Penerimaan oleh orang percaya dan gereja memberi konfirmasi bahwa kitab-kitab itu merupakan wahyu Allah. Di luar kitab-kitab kanon, pada abad pertama juga banyak beredar surat-aurat. Surat-surat tersebut ditujukan kepada gereja dan orang percaya, seperti surat Clement ke orang Kristen di Roma, surat Ignatius kepada orang percaya di Efesus, Roma, Smirna, surat Polikarpus kepada orang percaya di Filipi, dan sebagainya. Seperti surat-surat yang terdapat dalam kanon Perjanjian Baru, surat-surat non-kanonikal tersebut berasl dari orang-orang yang memiliki kualifikasi tinggi dan terhormat, berisi pengajaran tentang berbagai kehidupan orang percaya. Walaupun surat-surat tersebut dihargai sebagai kitab yang berotoritas, bahkan ada yang mensejajarkan dengan kitab suci, tetapi mereka tidak mendapatkan penerimaan yang luas, dan akhirnya menghilang dari peredaran di gereja.

Proses yang dipakai dalam kanonisasi

  • Ada yang terbukti secara implisit. Kelima karakteristik di atas harus terbukti setidaknya secara implisit, dalam sebuah kitab untuk menjadi kanonikal. Ini berarti para bapa Gereja tidak selalu secara eksplisit atau gamblang menemukan kelima karakteristik tersebut di dalam setiap kitab yang diakui sebagai kanon.
  • Ada yang lebih penting dari yang lain. Jika otoritasnya jelas terdapat dalam sebuah kitab, maka karakteristik yang lainnya di yakini juga terdapat di dalamnya.
  • Kesaksian dari Roh Kudus. Kanonisasi di lakukan dengan dua cara, iman dan ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip yang obyektif dipakai, tetapi kesaksian yang subyektif dari Roh Kudus juga turut bekerja untuk meyakinkan kenyataan akan firman Allah kepada umat-Nya.


Lihat Pula

Pranala Luar

Peralatan pribadi