Menurut catatan Lukas 9:20-21, Yesus bertanya kepada Petrus,
“Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Jawab Petrus: “Mesias dari Allah.” Lalu Yesus
melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu
kepada siapa pun.
Proklamasi yang menegaskan tentang keilahian Kristus memang
mencul dari berbagai pihak, tetapi itu semua menurut masing-masing orang dan
tergantung dari persepsi pribadi seseorang mengenai siapakah Yesus itu.
Walaupun Yesus melarang para murid-Nya untuk memproklamasikan rahasia keilahian-Nya
kepada semua orang, tetapi pada saat-saat tertentu justru Ia menyibak rahasia
keilahian-Nya kepada orang banyak. Alkitab mencatat beberapa pengakuan diri
Yesus atas keilahian-Nya. Yesus mengklaim diri-Nya Ilahi. Mengenai perkataan
Yesus yang mengklaim diri-Nya adalah Allah, ada beberapa teks yang dengan tegas
menyebutkannya.
Bagian utama yang terpenting mengenai pengklaiman Yesus yang
sangat tegas mengenai keilahian-Nya terdapat dalam pernyataan-Nya, “sebelum
Abraham dilahirkan, ‘genesthai’, “Aku telah ada”, ‘ego eimi’.”
(Yoh. 8:58). Orang Yahudi memahami Abraham secara fisik dan sebagai nenek
moyang rohani mereka dalam percakapan itu (52-53). Yesus menggunakan kesempatan
ini untuk membimbing mereka kepada maksud akhir untuk menyatakan keilahian-Nya,
dengan mengatakan: “Abraham, bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku
dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita.” (ay. 56). Tetapi orang-orang
Yahudi itu meresponi perkataan Yesus dengan sebuah pertanyaan, “Umur-Mu belum
puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?” (ay. 57).
Yesus tidak hanya mengklaim pra-eksistensi-Nya terhadap
Abraham, yang diekspresikan melalui pernyataan dalam bentuk kata kerja
imperfek, tetapi keberadaan dalam kekekalan, keberadaan yang dimiliki oleh
Allah saja. ‘YHWH’ dalam Perjanjian Lama teraplikasi di dalam Lukas
19:20-21 ini, yang mana, Yesus menujuk diri-Nya sendiri seperti dalam catatan
Musa tentang Allah yang beribicara “Aku adalah Aku” di dalam semak yang
terbakar (Kel. 3:14).
Bagian kedua mengenai pengklaiman Yesus akan keilahian-Nya
adalah dalam perkataan-Nya sesudah berdiskusi dengan orang Yahudi, “Aku dan
Bapa Adalah Satu.” (Yoh. 10:30). Kata ‘satu’ adalah bengender netral, bukan
maskulin. Di sini dengan jelas bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kesatuan, ‘singleness’
pribadi antara Yesus dan Bapa, tetapi suatu kesatuan secara ‘esensial’. Dalam
situasi serupa juga ketika Yesus menegaskan kepada orang Yahudi, “BapaKu
bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” (Yoh. 5:17). Sebelum pernyataan
ini muncul, orang Yahudi memarahi Yesus karena Ia menyembuhkan orang pada hari
Sabbath (Yoh. 5:1-16). Tetapi sekarang, Yohanes menjelaskan, “Sebab itu
orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh Dia” karena Ia
“mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan
diri-Nya dengan Allah.” (ayat 18). Bagian ini menunjukkan keunikan hubungan
antara Bapa dan Kristus yang dimanifestasikan dalam misi-Nya.
Situasi ketiga di mana Yesus mengetahui posisi-Nya sebagai
Anak Allah yang sejajar dengan penyataan keilahian-Nya. Yaitu pada saat Ia
diperhadapkan pada penghakiman dari pihak-pihak orang Yahudi sendiri. Yesus
dibawa dihadapan Sanhedrin dan dengan bersumpah Imam Besar menanyakan Dia,
apakah Engkau Mesias, Anak Allah atau tidak? Yesus menjawab: “Engkau sendiri
yang mengatakannya.” (Mat. 26:63).
Matius 26:63, menyebutkan “Mesias, Anak Allah.” Markus
14:61, menuliskan “Mesias, Anak dari yang Terpuji” dan Lukas 22:67, 70,
menyediakan dua jawaban untuk pertanyaan itu, yaitu: “Mesias” dan “Anak Allah.”
Matius dan Markus menambahkan pernyataan mereka, dengan berkata: “… mulai
sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa
dan akan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat. 26:64, Mar. 14:62). Malahan
sebaliknya, pernyataan Yesus di bawah sumpah sebagai kebenaran dan pengakuan
bahwa Ia adalah Anak Allah, bagi Imam Besar dan pihak yang menghukum Yesus,
mereka anggap kebohongan. Padahal mereka sendiri yang mengucapkannya secara
bersumpah.
Dari peristiwa dan beberapa pesan yang terkandung di dalam
teks-teks itu, Yesus secara sadar dan mengklaim identitasnya sebagai yang
Ilahi. Fakta bahwa kemarahan, penolakkan, dan penghakiman orang Yahudi terhadap
Yesus adalah karena Ia mengklaim diri-Nya adalah Allah.
Kesadaran Yesus akan keilahian-Nya dinyatakan juga dalam
bentuk-bentuk ungkapan “Aku adalah.” Ungkapan “Aku adalah” ini tampak dalam dua
bentuk, yaitu bentuk predikat dan dalam bentuk absolut. Dalam Injil Yohanes
terdapat tujuh kali penggunaan bentuk ‘Aku’ untuk mengungkapkan diri-Nya.
Ucapan-ucapan itu meliputi pemakaian kata-kata kiasan yang luas. “Aku adalah”
menjelaskan peran-peran tertentu dari Yesus, yaitu untuk menguatkan, menyinari,
mengakui, memelihara, memberi hidup, membimbing, dan membuat produktif.
Ungkapan ini juga merupakan keterangan-keterangan tentang Yesus sebagai yang
menyatakan Allah dan yang memberi karunia-karunia Allah. Stauffer menegaskan,
ungkapan ini adalah penegasan mendasar paling autentik, paling berani, dan
paling mendasar dari Yesus tentang siapakah Dia. Dalam penggunaan ‘Ego eimi’
yang absolut, Yesus dalam beberapa pengertian memang menyamakan diri-Nya dengan
Allah. Pengklaiman keilahian diri Kristus memiliki bukti-bukti yang jelas dalam
Alkitab. Ia sendiri yang menyatakan diri-Nya adalah Allah.
Demikian,
Sola Gratia,
Riwon Alfrey