Bagian I
Kembali ke Jakarta
Melayani, adalah tujuan hidup seorang hamba Tuhan. Di mana pun hamba Tuhan ditempatkan, dia tentu akan mendedikasikan hidupnya bagi DIA yang telah mencurahkan kasih-Nya. Karena itu meninggalkan suatu tempat pelayanan merupakan sesuatu hal yang tidak mudah, terlebih lagi jika ada rencana atau keinginan yang belum berhasil diwujudkan di tempat pelayanan tersebut.
Kondisi seperti itulah yang saya alami ketika harus meninggalkan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Bojonegoro, Jawa Timur, di mana saya melayani sebagai gembala sidang selama tiga tahun, tepatnya Januari 1995 s/d Maret 1997.
GPPS adalah gereja yang sudah cukup “mapan” dalam arti memiliki gedung permanen yang dapat menampung sekitar tiga ratus lebih jemaat. Kiprah pelayanan gereja ini pun cukup baik, bahkan telah mempunyai pos pelayanan injil (PI) di desa. PI adalah cikal bakal gereja mandiri.
Selain sebagai gembala sidang, saya juga salah seorang pendiri Yayasan Pendidikan Kristen Petra Bojonegoro, penyelenggara pendidikan Sekolah Dasar (SD) Kristen Mardisiswo. Di yayasan ini saya menjadi sekretaris.
Dengan kondisi pelayanan yang tergolong kondusif ini, rasanya tidak berlebihan jika saya bercita-cita membina anak-anak muda yang percaya kepada Kristus untuk menjadi kader-kader yang memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap bangsa dan negara, terlebih karena masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Saya selalu punya keyakinan, apabila pemuda Kristen diperlengkapi dengan ketrampilan serta pengetahuan akan Alkitab yang baik dan termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari, maka kehadiran Kristen akan lebih berperan di tengah-tengah bangsa yang menderita ini. Cita-cita itu juga merupakan manifestasi dari penunaian mandat budaya, suatu perintah yang harus dikerjakan orang percaya. Dan itu adalah mandat Allah, walaupun sering dilupakan oleh gereja.
Tidak mudah menyeimbangkan penunaian tugas gereja dalam bersaksi, memelihara persekutuan yang indah dan juga diakonia yang dapat dimasukkan dalam mandat budaya yaitu membawa kesejahteraan bangsa. Tidak mengherankan jika seringkali kita menjumpai pelayanan yang tidak seimbang dalam gereja. Maksudnya, seringkali kita menjumpai penekanan pada bagian tertentu, kemudian melemahkan bagian yang lainnya. Tetapi itulah perjuangan gereja untuk melayani dengan seimbang, antara bersaksi, memelihara persekutuan yang baik, dan juga menjalankan mandat budaya dalam pelayanan diakonia.
Dengan demikian, niat saya membangun tempat pelatihan dan pembinaan bagi pemuda Kristen sebagai kader-kader yang handal, memiliki peluang besar untuk terealisasi. Logikanya, ada banyak hal yang mendukung untuk membuat impian tersebut menjadi kenyataan. Salah satu lagi faktor pendukung adalah bahwa nama saya cukup dikenal di sana . Buktinya, pasca-peristiwa Situbondo November 1996, pemerintah berusaha menenangkan situasi yang sangat tegang. Salah satu upaya pemerintah adalah mempertemukan tokoh-tokoh agama se-Jawa Timur. Saya sendiri, bersama Pdt Daniel dari Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI) diutus mewakili Bojonegoro untuk menghadiri pertemuan itu. Demikian juga ketika di Kabupaten Bojonegoro dibentuk tim perumus dialog antar umat beragama, nama saya lagi-lagi masuk dalam tim perumus. Di organisasi kekristenan setempat, Badan Kerja Sama Antargereja (BAMAG), saya menjabat sebagai ketua III. Saya juga menjabat sebagai ketua panitia Natal se-Kabupaten Bojonegoro tahun 1996.
Dengan faktor-faktor tersebut di atas, tidak salah jika saya yakin bahwa pada dasarnya keinginan saya tersebut dapat direalisasikan. Namun sifat saya yang tidak suka memaksakan keinginan—walaupun mungkin itu benar—membuat saya cenderung lebih suka mengalah. Tapi mengalah dalam hal ini bukan berarti kompromi. Sifat seperti ini bisa jadi dikarenakan darah Jawa yang masih mengalir dalam diriku, karena ibu kandung saya adalah orang Solo. Mungkin darah Jawa ini mempunyai pengaruh kuat dalam jiwa saya, sehingga sifat suka mengalah menjadi kebiasaan. Dan sikap suka mengalah inilah yang membuat saya merasa lebih baik meninggalkan GPPS Bojonegoro.
Waktu itu di gereja tempat saya melayani tersebut memang ada konflik internal yang sudah berlangsung selama kurang lebih lima belas tahun. . Dan saya memang dipanggil utnuk mengatasi konflik tersebut. Seriusnya permasalahan dalam gereja tersebut bisa terlihat dari fakta bahwa selama lima belas tahun berdiri, gereja tersebut tidak pernah memiliki gembala tetap. Bahwa selama lima belas tahun di gereja itu tidak ada seorang pun pendeta yang pernah bertahan lebih dari satu tahun, bagi saya hal ini sesuatu yang aneh. Dan jika pada akhirnya saya mampu bertahan di tempat itu selama tiga tahun, bagi saya ini merupakan suatu “prestasi” yang membanggakan karena saya adalah orang pertama yang mampu melewati masa pelayanan satu tahun lebih di situ.
Orang lain yang sudah mengetahui tentang konflik di GPPS itu secara terus terang menyatakan kekagumannya. Pada waktu ada pertemuan para hamba Tuhan se Jawa-Bali dan Lombok di Malang, Jawa Timur 1996, salah seorang peserta secara spontan berkata kepada saya, “Ajaib… Bapak mampu bertahan di sana . Kalau boleh tahu, apa sih resepnya?”
Tentu sulit juga bagi saya menjawab pertanyaan tersebut. Saya tahu, dia tidak bermaksud guyon. Sebab bukan rahasia jika setiap mahasiswa dari sekolah teologi dari mana dia menuntut ilmu, selalu merasa gentar dan enggan bila ditempatkan di Bojonegoro sebagai tenaga praktek.
Saya hanya tersenyum sebab tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Dan memang adalah sesuatu hal yang tidak mudah bagi seorang hamba Tuhan untuk melayani di suatu tempat (baca: gereja) yang sedang dilanda konflik—terlebih jika konflik itu sudah berlangsung selama belasan tahun seperti terjadi di GPPS Bojonegoro. Sebab sebagai orang yang diundang, kita harus bersifat netral. Berlaku netral merupakan hal yang tidak mudah, apalagi tidak ada manusia yang absolut obyektif.
Selama hampir tiga tahun saya di situ, memang konflik internal itu tidak kunjung terselesaikan, meski saya sudah berupaya optimal. Memang ada perubahan yang lumayan berarti, tetapi belum sesuai dengan apa yang saya harapkan. Ketidakmampuan saya menolong mereka untuk menyelesaikan konflik internal itulah yang membawa saya pada keputusan untuk mengundurkan diri. Saya sendiri merasa bahwa gereja itu sudah mengalami kemandegan, dan saya merasa sudah tidak mampu lagi menolong supaya kondisi mereka lebih baik. Dengan keputusan itu saya mengharap ada orang baru, tenaga baru, yang mungkin akan memberi warna baru dalam rangka penyelesaian konflik tersebut. Keputusan saya membuat banyak orang terkejut. Tidak ada yang menginginkan saya mengundurkan diri. Tapi saya berpikir bahwa tindakan saya itu benar. Istri saya juga mendukung, dan merasa yakin bahwa kami memang harus pindah. Apalagi memang Istri saya yang adalah mantan teman kuliah di STT I-3 selalu merasa yakin bahwa Tuhan akan membawa kami ke Jakarta , tempat yang saya tidak sukai. Akhirnya saya meninggalkan Bojonegoro pada bulan Maret 1997 dengan setumpuk cita-cita yang belum tergapai.
Pertengahan Juni 1997 Masuk Doulos Jakarta
Ada agenda lain yang saya usung saat keluar dari Bojonegoro, yakni ingin melanjutkan kuliah program S-2 di Jakarta. Apalagi, sejak tahun 1996 saya telah mengikuti program M.Div. di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta . Saya ingin menyelesaikannya sambil tetap melayani meskipun tidak secara penuh, karena saya harus lebih berkonsentrasi pada perkuliahan.
Saya memang tidak ada niat untuk melayani secara penuh di Jakarta , sebab saya tidak ingin menetap atau berdomisili di kota kelahiran saya ini. Hasrat untuk tidak menjadi warga Ibu Kota lagi sudah saya teguhkan dalam hati sejak saya memutuskan untuk kuliah di Sekolah Alkitab Batu, Malang , Jawa Timur (STT I-3). Setelah menamatkan pendidikan teologi, saya ingin mengabdikan diri, melayani di daerah terpencil yang jauh dari keramaian. Tekad ini tidak main-main, sebab kartu tanda penduduk (KTP) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta tidak pernah saya perpanjang sejak tinggal di Malang, sebagai mahasiswa STT I-3. Tentang hal ini ada teman yang mengatakan bahwa saya “rugi”. Alasannya, sangat susah untuk memiliki KTP Jakarta. Namun saya tidak perduli, sebab tekad saya sudah bulat: tidak ingin kembali dan melayani di Jakarta . Saya ingin melayani di daerah yang jauh dari keramaian.
Sejak mengalami pertobatan maret 1986, pada waktu itu masih teringat jelas dalam ingatan, saya berdoa memohon Tuhan membebaskan saya dari ikatan minuman keras dan rokok yang mengikat cukup lama, tepatnya sejak tahun 1982. Pada waktu itu saya merasa lebih baik tidak makan, dibanding harus berhenti merokok, dan dalam hal minuman keras saya telah bertekad berulang kali untuk melepaskannya, namun tidak pernah bisa.
Keinginan berhenti minum-minuman keras dan rokok juga didorong oleh mantan teman-teman SMA yang beragama Kristen serta sering datang menginjili saya, mereka sering menceritakan keajaiban Tuhan yang mengubah hidup mereka. Kesaksian teman-teman SMA tersebut membuat saya berusaha membaca Alkitab secara pribadi dan kemudian muncul keinginan untuk hidup lebih baik. Berlian dan Meinar Situmeang yang adalah teman sekolah di SMA 23 Tomang, Jakarta Barat, memang tekun sekali untuk dapat membawa saya menjadi orang yang melayani Tuhan. Kesaksian yang mereka utarakan tentang kebaikan Tuhan menyadarkan saya bahwa sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan, seharusnya saya mendedikasikan hidup kepada Tuhan.
Ketika kerinduan itu semakin kuat saya memohon agar Tuhan membebaskan saya dari kebiasaan merokok dan minuman keras. Ajaib, sejak waktu itu saya terbebas dari ikatan minuman keras dan rokok. Untuk menguji bahwa saya memang telah terbebas dari kebiasaan buruk tersebut, saya menyimpan rokok yang masih tersisa di dalam lemari selama hampir 3 bulan, namun selama 3 bulan itu tidak ada lagi keinginan untuk merokok, seperti kebiasaan saya sebelumnya. Akhirnya saya membuang rokok yang tersimpan dalam lemari. Saya yakin Tuhan telah membebaskanku dengan cara-Nya yang ajaib.
Umumnya seorang perokok dan peminum tidak mudah melepaskan kebiasaan buruk tersebut secara cepat, tapi itulah keajaiban Tuhan. Sejak saat itu (9 Maret 1986), tidak pernah satu batang rokok pun yang menyentuh mulut saya, demikian juga menuman keras. Mustahil rasanya. Tapi itulah keajaiban yang tidak mungkin saya lupakan.
Saya sempat melayani selama 3 tahun di Jakarta . Sebagai bekal untuk melayani itu, saya mengambil program ekstension di Sekolah Alkitab Bethel Petamburan, Jakarta Barat. Namun karena ada keinginan yang sangat besar untuk lebih mengerti tentang Alkitab, saya memutuskan kuliah di sekolah tinggi teologi (STT) yang memungkinkan saya dapat belajar intensif. Kota Malang, Jawa Timur menjadi pilihan karena jauh dari Jakarta dan kondisi udara di sana relatif masih segar. Di samping itu STT di sini dilengkapi sarana yang mendukung seperti asrama, penerapan disiplin yang ketat. Disiplin ketat sangat cocok untuk orang yang sudah terbiasa bebas, seperti saya.
Keputusan itu juga didorong karena gereja tempat saya melayani beberapa kali mengalami perpecahan. Pertama, pendeta mengajak saya dan jemaat keluar dari Gereja Penyebaran Injil di Majelengka untuk bergabung dengan Gereja Kristen Nafiri Sion yang berpusat di Bandung . Kami hanya bertahan satu tahun. Kami keluar dari gereja tersebut dan membangun gereja otonom. Waktu itu saya tidak dapat mengerti karena memang pengetahuan Alkitab saya terbatas. Oleh karena itulah saya memutuskan untuk semakin memperdalam Alkitab.
Hal lain yang mendorong saya masuk sekolah Alkitab, karena masih dalam masa kecintaan awal melayani ( biasa disebut cinta mula-mula), di mana kasih Kristus yang dinyatakan melalui pengorbanannya menyadarkan betapa berartinya hidup saya. Saya berarti bukan karena saya, tapi karena Kristus menjadikannya berarti. Pengalaman dari seorang yang tidak pernah mengerti apa artinya hidup bagi Tuhan, berbalik menjadi orang yang ingin hidup bagi Tuhan, semuanya adalah anugerah Tuhan. Saat itu saya pernah bertekad untuk menjadi hamba Tuhan dan melayani full time, sebagai dedikasi kepada Allah yang terlalu baik pada saya.
Kerinduan tersebut sempat goyah, bahkan terancam hilang karena ketiadaan biaya. Namun adanya pengalaman yang menggetarkan, membuat rasa rindu itu kembali menggema dengan kuat.
Pengalaman yang menggoncangkan itu terjadi waktu saya berjalan-jalan ke Baturaden, Jawa Tengah untuk menemani keluarga dari Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada saat liburan Desember 1988. Suatu ketika di Baturaden, saya merasa kaget luar biasa karena melangkahi seekor ular berkepala merah, yang menurut keterangan orang setempat amat berbisa. Jika ada orang melangkahinya, pasti dipatuk dan kemungkinan besar akan tewas.
Tetapi aneh, saya tidak mengalami kejadian seperti yang diceritakan oleh mereka. Saya sendiri kurang begitu antusias untuk menyelidiki kebenaran cerita mereka itu, apalagi saya ke sana hanya dalam rangka menemani keluarga yang sedang pesiar. Tetapi pengalaman itu setidaknya membuat kerinduan saya untuk masuk sekolah Alkitab bergema lebih keras. Saya merasa diingatkan Tuhan tentang janji untuk melayani-Nya secara penuh.
Ketika saya mengikuti ibadah di suatu tempat Juni 1988, hamba Tuhan yang menyampaikan firman sangat menarik perhatian saya. Selain isi khotbahnya yang memang menarik, saya juga terkesan dengan cara atau gayanya dalam menyampaikan khotbah. Ketika kemudian saya tahu dia itu lulusan STT I-3 Malang, saat itu juga saya memutuskan untuk masuk ke STT I-3. Meski pada awalnya terbentur biaya, akhirnya dengan pergumulan, masalah itu akhirnya dapat diatasi meski tidak mudah. Akhirnya saya kuliah di STT I-3 Agustus 1989 dan lulus tahun 1995, kemudian saya masuk ke dalam pelayanan di daerah, sesuai dengan harapan saya.
Tetapi, sekarang saya harus meninggalkan tempat pelayanan di daerah yang menjadi kerinduan sejak lama, dan kembali ke Jakarta , di mana saya dilahirkan namun tidak ingin melayani di sana .
Di Jakarta saya melayani secara lepas, tidak terikat dalam satu lembaga, sambil menunggu mendapatkan biaya kuliah, karena tujuan ke Jakarta untuk menyelesaikan program M.Div.
Suatu ketika, istri mendapat tawaran untuk menjadi kepala asrama di STT Doulos, yang berlokasi di Jalan Tugu, Cipayung, Jakarta Timur. Sejatinya, pekerjaan ini kurang menarik bagi istri karena yang diinginkan adalah pelayanan konseling di Panti Rahabilitasi Doulos, tempat ia melamar. Terlebih lagi ada syarat bahwa calon kepala asrama harus suami-istri (karena akan menjadi bapak/ibu asrama). Namun karena istri sulit mendapat tempat pelayanan, akhirnya dengan berat hati saya mendampinginya untuk melamar dan kemudian mengikuti wawancara.
Berhubung lembaga itu memang sedang membutuhkan bapak/ibu asrama, kami langsung diterima dan diminta segera masuk asrama. Perintah untuk segera masuk asrama ini sebenarnya juga mengagetkan, karena sebenarnya saya tidak siap melayani penuh waktu, karena seperti telah saya kemukakan di depan, tujuan saya ke Jakarta adalah untuk kuliah.
Memang, waktu itu saya belum mulai kuliah, lantaran belum ada biaya. Sebenarnya saya pernah mengajukan bea siswa ke STTRII dan telah mendapat jawaban positif. Namun karena saya punya sifat pemalu, saya tidak punya keberanian untuk menindaklanjutinya. Akhirnya bea siswa itu tak kunjung saya dapatkan. Jika terjadi hal-hal yang membuat kecewa seperti ini, saya biasanya “menghibur diri” dengan berkata dalam hati, “Jika Tuhan menghendaki aku kuliah, Ia akan memberikan dananya.” Karena dana tidak ada, maka saya tidak dapat kuliah penuh waktu. Dengan kondisi seperti ini juga tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menerima tawaran Doulos itu.
Istri saya mengerti bahwa menjadi bapak asrama adalah sesuatu pilihan yang “berat” bagi saya, karena memang jauh dari rencana dan keinginan saya. Namun dia berusaha menghibur. Akhirnya pada pertengahan bulan Juni 1997 kami resmi masuk STT Doulos, melayani sebagai kepala asrama mahasiswa yang satu lokasi dengan kampus STT di Jalan Tugu, Cipayung, Jakarta Timur.
Sistem yang diberlakukan di tempat itu sempat memembuat saya goncang dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah ini merupakan tempat pelayanan yang tepat bagi saya?” Masalahnya, tidak ada surat pengangkatan sebagai staf yang kami dapat sebagaimana layaknya seorang yang sudah diterima bekerja sebagai staf. Yang terjadi di sini, kami sudah diperintahkan langsung untuk masuk ke dalam asrama, dengan alasan rumah satu-satunya yang diperuntukkan bagi bapak asrama sudah kosong, karena penghuni sebelumnya telah pindah.
Keberadaan seorang bapak asrama saat itu dinilai sangat penting mengingat banyaknya mahasiswa di asrama, dan perlu diasuh/diawasi oleh kepala asrama. Alasan yang mereka kemukakan ini memang cukup kuat juga. Saya berpikir positif saja bahwa itu semuanya karena kepercayaan mereka kepada kami, secara khusus STT I-3 tempat kami menyelesaikan pendidikan teologi. Sebagai lembaga pendidikan teologi, STT I-3 memang cukup dikenal luas khususnya di Tanah Air. Lulusannya pun diakui memiliki dedikasi yang tinggi dalam pelayanan.
Waktu wawancara, mereka secara terus terang mengatakan rasa senangnya pada almamater kami. Maka tidak heran jika mereka menerima kami sebagai staf tanpa melewati proses panjang. Semua ini tidak terlepas dari sistem kehidupan asrama di STTI-3 yang dinilai mampu membentuk karakter/jiwa yang baik. Bagi penghuni asrama, hidup dalam tekanan, karena tuntutan yang berat adalah hal yang biasa. Di lain pihak, upaya pembentukan jiwa yang cukup berat ini mengakibatkan tidak sedikit mahasiwa yang tidak tahan dan kemudian berhenti kuliah atau pindah. Jika ada mahasiswa yang sanggup menyelesaikannya dengan baik, apalagi dengan prestasi baik, hal tersebut merupakan suatu nilai lebih. Di asrama itulah, selama empat setengah tahun saya dan istri “ditempa”, ditambah satu tahun di tempat praktek.
Di dalam kompleks asrama STT Cipayung, tempat di mana saya akan menjadi kepala asrama, hanya ada satu rumah untuk staf dengan kondisi yang tergolong sangat sederhana. Rumah itu cukup besar namun karena bangunannya sudah tergolong tua, cat temboknya sudah banyak terkelupas. Sebagai bangunan lama yang biasanya dicat dengan kapur, debunya yang beterbangan pun kerap mengganggu. Untuk mengecat rumah agar tampak lebih cerah, saya merogoh kantong sendiri untuk membeli cat.
Sebenarnya ada beberapa mahasiwa yang suka menonton TV di rumah kami itu, tetapi saya merasa sungkan untuk meminta bantuan mereka, apalagi saya masih baru dan belum diperkenalkan secara resmi sebagai kepala asrama. Akhirnya saya kerjakan sendiri. Ada memang yang membantu sekadar basa basi, namun bagi saya itu tidak penting. Saya mengerjakan pengecatan itu sendiri sampai cat yang saya beli itu habis seluruhnya, namun belum seluruh bagian rumah dapat dicat .
Pada waktu saya masuk asrama, mahasiswa baru untuk tahun ajaran 1997-1998 sudah ada di asrama . STTD program S1 di mana saya menjadi pimpinan asrama, dimulai sejak tahun 1995. Mahasiswa paling senior yang berada di asrama adalah mahasiwa tingkat III. Ada memang beberapa yang sudah duduk di tingkat akhir, karena melanjutkan dari program D-III ke S1, tetapi mereka sedang praktek, dan setelah itu tinggal di luar asrama.
Di dalam kompleks tidak ada bangunan permanen, kecuali rumah tempat kami tinggal, meski berupa bangunan tua. Ruang asrama bersifat semipermanen, demikian juga kantor-kantor dan ruang kuliah. Singkatnya, kampus tempat saya melayani kali ini tegolong sederhana. Namun itu tidak penting bagi saya dan istri, karena selama saya melayani saya memang senang untuk membangun dari yang sederhana.
Banyak mahasiswa yang berasal dari desa tertinggal, dan tidak sedikit dari mereka memiliki semangat untuk maju. Bagi saya, hal ini justru semakin menumbuhkan semangat untuk melayani lebih baik. Kerinduan mempersiapkan kader-kader muda di Bojonegoro yang telah sirna, tiba-tiba bangkit kembali.
Saya kemudian berpendapat bahwa inilah tempat yang tepat untuk merealisasikan cita-cita yang nyaris terpendam itu. Sebab, bukankah yang hadir di sini adalah orang-orang muda yang juga kebetulan berasal dari daerah? Bagi saya, mereka adalah kader-kader yang perlu dibentuk dan diperlengkapi dengan pengetahuan yang baik untuk dapat menjadi pelayan-pelayan yang bukan hanya memiliki karakter mulia, pengetahuan yang dalam, tetapi juga wawasan yang luas. Di sini saya seolah menemukan kembali mimpiku yang sempat hilang. Sungguh tak disangka, Jakarta yang tadinya ingin saya jauhi, ternyata menjadi tempat di mana saya bertemu dengan cita-cita yang sempat hilang.
Ketika saya mengawali kiprah sebagai kepala asrama, jumlah mahasiswa hanya sekitar lima puluhan. Tapi mendekati tibanya masa perkuliahan (1997/1998), ada rombongan mahasiswa baru sehingga jumlahnya sembilan puluhan orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari Kupang (Nusa Tenggara Timur), Poso (Sulawesi Tengah) dan Nias (Sumatera Utara). Ada juga yang berasal dari Tapanuli (Sumatera Utara), Ambon (Maluku) Irian, dan Jawa.
Bagian II
Menemukan Karunia Mengajar
Selain sebagai kepala asrama, saya juga diminta mengajar mata kuliah teologi Perjanjian Lama. Awalnya saya menolak, sebab bidang saya adalah sistematika. Jikapun saya harus mengajar mata kuliah biblika, saya lebih memilih Perjanjian Baru, karena lebih saya kuasai. Berhubung tidak ada dosen teologi Perjanjian Lama, jadilah saya mengajar teologi Perjanjian Lama. Pada semester selanjutnya, saya juga mengajar Perjanjian Baru, dan juga sistematika.
Saya sangat menikmati saat-saat mengajar. Apalagi, setiap melihat mahasiswa-mahasiswa dari daerah tersebut, semangat saya seolah dilecut untuk terus berupaya membawa mereka untuk menjadi orang-orang yang mampu berkarya bagi nusa dan bangsa. Ada semangat yang besar untuk mendorong mereka supaya maju. Saya rindu memberikan apa yang saya miliki, bahkan kalau bisa mereka harus lebih baik lagi.
Dengan semangat yang menggelora itu, saat-saat mengajar menjadi waktu yang paling menyenangkan. Bahkan dalam kondisi badan kurang sehat pun, saya tetap berusaha tampil di kelas. Anehnya, seringkali rasa sakit itu seakan hilang begitu saya berada di dalam ruangan kuliah, namun muncul lagi setelah selesai mengajar.
Bukan hanya di dalam kelas saya bersemangat. Di luar jam kuliah pun, saya selalu bersedia menjawab pertanyaan mahasiswa yang sering tidak bisa terjawab tuntas di kelas disebabkan waktu yang memang terbatas. Pertanyaan mereka bukan hanya tentang pelajaran, tetapi juga bagaimana menjadi seorang pelayan yang baik. Saking pedulinya pada mereka, tidak heran jika saya mengenal gaya dari hampir semua mahasiswa putra, antara lain menyangkut kemalasan, kerajinan maupun keunikan-keunikan mereka.
Tidak mengherankan jika dalam waktu singkat saya menjadi dosen yang disukai bahkan dikagumi banyak mahasiswa. Dalam waktu bersamaan saya menemukan karunia mengajar yang diberi Tuhan, dan telah mendapat konfirmasi dari banyak orang, termasuk dalam hasil tes karunia pada waktu masih berada dalam pendidikan. Rasa sedih karena tidak dapat kuliah secara penuh, terobati.
Saya sering memotivasi mahasiswa agar tidak minder karena latar belakang mereka. Sebab sangat banyak orang yang membuat karya agung berasal dari daerah. Jangan juga merasa kecil hati dengan kondisi kampus yang sederhana, sebab jika kita sungguh-sungguh menuntut ilmu, tempat sederhana ini akan menghasilkan tenaga-tenaga yang handal, yang mampu membuat karya-karya agung bagi kemuliaan Allah.
Sebagai kepala asrama, pekerjaan saya cukup berat, terlebih dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit, serta areal kampus yang cukup luas dengan pengembangan yang tengah dilakukan. Saya bukan hanya menjadi bapak asrama merangkap dosen, tapi dalam waktu yang bersamaan juga menjadi pengawas pembangunan gedung. Semua itu tidak terasa berat karena saya memang merindukan lahirnya kader-kader muda yang potensial, yang bagi kebanyakan orang mungkin tidak akan terjadi.
Saya sadar, setiap orang punya talenta yang berbeda, tetapi mereka patut mendapat kesempatan yang sama untuk memaksimalkan talentanya. Sadar akan hal itulah maka waktu-waktu luang di luar jam kuliah saya manfaatkan untuk berdiskusi dan memperhatikan kehidupan mereka. Kebersamaan kami bukan hanya dalam bentuk kuliah dan diskusi, namun juga dalam aktivitas lain, seperti berolahraga. Seorang pengajar sebaiknya memang tidak hanya memberikan ilmunya, tetapi berani memberikan waktunya untuk menjadi teladan, serta berani berkorban demi melahirkan kader-kader yang baik.
Doa semalam suntuk yang menjadi acara rutin sebulan sekali di asrama, selalu saya ikuti sampai selesai. Saya bukan hanya ingin mengajar mereka, tetapi memberikan teladan dan juga memberi semangat ketika mereka sedang berada dalam keputusasaan. Pendeknya, semangat untuk menjadi seorang pendidik yang baik, terus mendorong saya untuk bekerja dengan giat serta lebih bergairah lagi menemukan karunia Tuhan bagi saya.
Seperti dijelaskan sebelumnya, mahasiswa STTD umumnya berasal dari desa. Mereka direkrut bukan melalui prosedur sebagaimana umumnya menerima mahasiwa. Mereka direkrut melalui dosen, mitra dari STT lain atau yayasan. Bukan sistem penerimaan yang baik memang, apalagi sebelumnya mereka “diiming-imingi” kuliah selama satu setengah tahun dan tinggal di asrama secara gratis.
Dengan sistem rekrutmen seperti ini, memang sulit bagi kita untuk mengetahui kualitas dan motivasi seorang mahasiswa sehingga mau kuliah di STTD. Sebab bisa saja dia itu hanya orang yang merasa tertarik untuk menjadi mahasiswa karena bisa ke Jakarta , kuliah dan tinggal di asrama secara gratis selama satu setengah tahun.
Setelah itu, mereka memang harus membayar atau dikeluarkan dari kampus jika memiliki nilai di bawah ketentuan. Untuk menghindari adanya mahasiswa yang motivasinya kurang bisa dipertanggungjawabkan ini, kami menerapkan peraturan yang cukup ketat dalam hal penilaian tentang layak-tidaknya seorang mahasiswa untuk naik tingkat. Setidaknya kami bertekad bahwa sekolah yang baik bukan semata bergantung dari calon mahasiswa, tetapi seberapa mampu sekolah itu membentuk mahasiswa-mahasiswa yang mungkin kurang baik itu untuk menjadi baik.
Namun bukan berarti tidak banyak dari mereka yang memang sungguh-sungguh datang untuk mempersiapkan diri sebagai pelayan-pelayan Tuhan. Mereka yang mempunyai kesungguhan kuat untuk belajar itu antara lain dapat dikenali dengan ketaatannya mengikuti peraturan dan disiplin yang diterapkan, misalnya selalu bangun pukul 5 pagi. Mereka juga selalu mengikuti waktu-waktu renungan bersama, termasuk mengikuti studi terpimpin (belajar bersama dalam suatu ruangan dengan pengawasan). Di samping itu mereka juga selalu rajin dan taat untuk turut kerja bakti membersihkan lingkungan kampus.
Khusus pada hari libur, wanita mendapat jadwal untuk memasak. Pada hari biasa memang ada ibu dapur yang tugasnya memasak, kaum wanita hanya membantu tukang masak itu supaya lebih cepat dalam mempersiapkan makanan bagi penghuni asrama. Kesimpulannya, mahasiswa yang punya motivasi kuat biasanya dapat dikenali jika selalu rajin dan sungguh-sungguh mengikuti seluruh aktivitas kampus dan asrama. Dan kesungguhan mereka belajar dan bekerja membuat saya semakin bersemangat pula, khususnya dalam mengajar. Dengan rekrutmen semacam itu, maka upaya pembimbingan tiap pribadi mahasiswa juga merupakan tugas yang amat berat, khususnya bagi saya yang merangkap sebagai pembantu ketua (puket) III bidang kemahasiswaan. Saya diangkat menjadi puket III setelah mengajar setengah tahun. Dengan jabatan ini, maka konseling pribadi setiap mahasiwa ada di pundak saya.
Bagian III
Melayani Orang yang Dirasuk Roh Jahat
Awal tahun 1998, pada waktu perkuliahan telah mulai, suatu pagi saya tiba-tiba dikejutkan oleh suara-suara mahasiswa yang melaporkan bahwa di asrama ada seorang mahasiswi yang dirasuk setan. Teman-teman sesama penghuni asrama sudah berusaha menolong mahasiswi baru itu, namun tidak bisa. Ketika saya mendatangi kamar orang yang kerasukan itu, dia mulai mengamuk, kakinya menendang-nendang tempat tidur bertingkat yang memang umum di asrama. Saya hampiri dia dan berkata, “Dalam nama Yesus, saya perintahkan engkau (setan) keluar dari tubuh wanita ini!” Ajaib. Setelah mendengar perintah itu dia sadar. Lalu saya membimbing anak itu untuk mengenal Injil dengan benar dan mengundang Yesus secara pribadi masuk dalam kehidupannya. Saya mengingatkan dan memintanya untuk membuang semua hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan, seperti jimat-jimat misalnya. Banyak mahasiwa yang tercengang melihat kejaiban itu.
Dan bukan hanya sekali orang itu mengalami kerasukan. Jika dia kembali kerasukan, lalu saya sembuhkan, saya membimbing dan meminta supaya dia membuka sesuatu hal yang mungkin dia sembunyikan. Akhirnya, suatu ketika dia mengaku menyimpan sesuatu dari mantan pacarnya. Benda itu, digunakan oleh sang mantan pacar untuk mengguna-gunainya. Tiap kali mahasiswi itu mengalami kerasukan, rekan-rekannya sesama penghuni memang selalu berusaha mengusir setan yang merasuknya itu, namun tidak bisa. Akhirnya mereka memanggil saya.
Pernah ada seorang mahasiswi lain yang mencoba mengusir roh jahat dengan meniru cara saya. Sewaktu temannya itu kembali kerasukan, dia menghardik dalam nama Yesus supaya roh jahat yang merasuk itu keluar, mencoba untuk melakukan hal yang sama. Tetapi tiap kali ia menyebut ”dalam nama Yesus, keluar!” roh jahat itu tidak keluar. Yang terjadi, orang yang dirasuk setan itu malah menghampiri dan mencekik si penghardik. Akibatnya teman-temannya lain menjadi ketakutan.
Pada kejadian lain, istri saya hendak memberi minum mahasiswi yang baru saja saya sembuhkan dari kerasukan, karena dia tampak sangat kelelahan setelah kerasukan. Ketika mulut orang itu dibuka oleh istri saya, mulutnya tidak bisa terbuka. Kemudian saya dengan cepat memerintahkan dengan tegas, “Dalam nama Yesus buka mulutmu!” Dengan cepat dia pun membuka mulutnya. Semua orang tercengang, terutama istri saya yang tadi tidak sanggup membukanya ketika hendak memberi minum. Karena tidak ada yang bisa menolong saat dia kerasukan, penghuni asrama menjadi sangat bergantung pada saya. Saya sebenarnya ingin agar semua orang percaya juga dapat dipakai oleh Tuhan untuk melakukan hal itu.
Suatu kali, mahasiswi itu kembali dirasuk roh jahat. Kali ini semua penghuni asrama lebih kaget lagi karena mahasiswi tersebut hendak lari, keluar dari asrama. Beberapa mahasiswa dan juga mahasiswi mengejar lalu menangkapnya. Meski jumlah orang yang berusaha menahannya cukup banyak, namun mahasiswi yang kerasukan itu bagai mempunyai tenaga yang amat kuat, sehingga tidak ada yang mampu menghalangi.
Beberapa mahasiswa berusaha melakukan hal yang sama seperti ketika melihat saya mengusir roh jahat, tetapi tidak ada yang bisa. Ada juga kejadian lucu, saat seorang mahasiswa mendekati dan mencoba mengusir roh jahat tersebut. Orang yang kerasukan itu justru menghampirinya layaknya seorang kawan yang telah mengenalnya dengan baik. Ketika didekati, mahasiswa yang hendak menolong itu justru lari ketakutan.
Kerasukan kali ini memang agak berbeda. Karena setiap kali saya mengusirnya, “dalam nama Yesus, tinggalkan tubuh orang ini”, ia akan tenang dan kemudian kembali meronta-ronta. Jika saya hardik, dia tenang, tapi kemudian meronta kembali. Dan kejadian ini berlangsung dari jam 9 malam sampai jam 6 pagi. Setiap orang yang dirasuk itu meronta dan mengamuk, saya menghardiknya “dalam nama Yesus!”. Saat dia kembali tenang, saya beristirahat karena tidak ingin kelelahan melayani orang itu Saya makan dan minum untuk tetap menjaga kondisi. Jika orang itu kembali mengamuk, saya memerintahkannya untuk diam.
Kadang saya juga membiarkan mahasiswa menanganinya sendiri. Sebab saya pikir ini suatu pelajaran yang bagus juga untuk mereka. Menjelang pagi, orang itu mulai sadarkan diri, dan kami membimbingnya. Mulai saat itu ia lebih terbuka, sehingga upaya pembimbingan berjalan dengan baik dan mulus. Hari demi hari kondisinya semakin membaik, dan dapat mengikuti perkuliahan.
Peristiwa ini di lain pihak juga membuat banyak mahasiswa menjadi lebih berani melayani orang yang kerasukan. Bahkan jika ada permintaan pelayanan dari luar untuk melayani orang yang kerasukan, saya mengirim mahasiswa-mahasiswa tingkat atas untuk melayaninya. Mereka senang karena bisa melayani orang yang dirasuk roh jahat. Hal-hal yang mereka alami itu membuat saya lebih mudah menjelaskan bahwa saat kita mengusir roh jahat, Kristus-lah yang sebenarnya berkarya dalam diri kita. Dan dengan demikian, Kristus-lah yang harus dimuliakan, bukan manusia.
Peristiwa kerasukan yang mendebarkan itu tampaknya menimbulkan kesan tersendiri bagi sejumlah mahasiswa. Beberapa orang dari mereka mengaku membawa jimat. Saya mengarahkan mereka untuk mendapatkan bimbingan dari staf yang lain juga. Suatu ketika, saat membimbing banyak mahasiswa di ruang depan rumah dinas saya secara bersama-sama, saya menjelaskan bahwa sebagai seorang Kristen kita tidak dapat berkompromi dengan dosa yakni mengikat diri dengan kekuatan-kekuatan lain di luar Yesus. Tiba-tiba salah seorang menjerit-jerit sambil berkata, “Saya tidak kuat…saya tidak kuat..!” Sambil menjerit-jerit dia berguling-guling di lantai.
Dengan cepat saya memerintahkan agar kuasa kegelapan yang mengganggu pemuda itu segera keluar dengan mengatakan, “Dalam nama Yesus, saya perintahkan segala kuasa roh jahat keluar dari tubuh anak ini!”. Setelah berkata demikian saya berdoa untuk menenangkan lalu menghiburnya.Mahasiswi tingkat awal ini tidak dapat menahan diri melihat teman seangkatannya sering mengalami kerasukan, apalagi ketika kuasa Allah membebaskannya, sehingga akhirnya ia memberikan diri untuk dilayani pribadi. Setelah tenang, dia mulai mengungkapkan, betapa dia sebagai seorang wanita sering merasa heran punya keberanian yang luar biasa masuk-keluar hutan seorang diri. Saya menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena ada kekuatan dari roh jahat yang ia percaya melindunginya. Kemudian saya membimbingnya mengakui dosa-dosanya dan memohon ampun pada Tuhan serta mau membuka hati untuk dikuasai oleh Allah. Semenjak itu, dia pun tenang, dan tidak pernah mengalami gangguan lagi.
Berkat kejadian-kejadian itu maka tugas saya bertambah pula, yakni memberikan konseling khusus pada mahasiswa-mahasiswa baru, terutama yang terikat dengan kuasa kegelapan. Tugas sebagai bapak asrama dan pembantu ketua bidang kemahasiswaan bukan hanya pada waktu-waktu kuliah, bahkan tengah malam pun mahasiswa akan membangunkan saya jika ada kasus-kasus yang tidak mudah ditangani. Namun semua itu tidak membuat saya kehilangan semangat untuk melayani.
Sebenarnya, melakukan pelayanan terhadap orang yang sedang dirasuk kuasa gelap bukan sesuatu hal yang baru bagi saya. Setidak-tidaknya hal itu sudah saya lakukan sejak pertama masuk dalam pelayanan tahun 1986. Pada waktu itu, sekitar pukul 11 malam ada orang datang ke rumah saya untuk meminta bantuan menolong salah seorang anggota keluarganya yang sedang kerasukan setan. Di tanjung gedong belakang Rumah sakit sumber waras, Jakarta Barat. Semula saya hendak mencari seseorang untuk menemani saya dalam membimbingnya.
Namun berhubung hari sudah tengah malam, tidak ada teman yang dapat saya ajak. Satu-satunya teman yang dekat dengan rumah dan biasa melayani, sudah tidur, dan keluarganya enggan membangunkannya. Maka pergilah saya ditemani adik dan kakak, karena yang kerasukan itu kebetulan adalah teman kakak saya itu. Sampai di rumah tujuan, orang yang katanya kerasukan itu sudah sadarkan diri. Dalam hati saya bersyukur, apalagi sebelumnya saya memang belum pernah melayani orang yang kerasukan. Namun saya percaya Allah itu mahakuasa.
Ketika saya menyalami orang yang sudah sadarkan diri dari kerasukan itu, dia menjerit-jerit seperti ketakutan, dan berusaha menjauh dari saya. Keluarganya menahan dia. Dengan cepat saya mengatakan, “Darah Yesus!” Dengan ucapan itu saya bermaksud memerintahkan roh jahat itu pergi. Alasannya, pendeta dan pembimbing saya dulu pernah menjelaskan, kalau bertemu dengan orang yang kerasukan setan, sebut saja, “darah Yesus!” dan roh jahat itu akan takut dan pergi.
Dan memang betul, roh jahat itu berteriak ketakutan, tetapi tidak pergi. Setiap kali saya menyebut, “Darah Yesus”, orang itu selalu berteriak ketakutan. Saya berpikir, jika hal seperti ini terus terjadi, bisa-bisa orang yang kerasukan itu mati kelelahan. Kemudian saya terdiam sejenak, berpikir bagaimana caranya membebaskan orang tersebut dari ikatan roh jahat. Tiba-tiba saya melihat orang yang kerasukan itu yang menatap saya dengan mata lebar bagai memendam rasa marah luar biasa. Mengerikan memang, tapi saya tahu bahwa ia takut pada saya. Buktinya, ia selalu berusaha menjauh dari saya.
Tanpa sengaja, saya membalas tatapan matanya. Dengan suara penuh wibawa saya berkata, “Kamu tahu siapa yang berada di hadapanmu? Dalam nama Yesus, saya perintahkan engkau pergi, engkau tidak berkuasa atas orang ini. Yesus sudah mati disalib baginya.” Orang itu terkulai lemas lalu secara perlahan sadarkan diri.
Peristiwa itu membuat semua yang hadir terheran-heran, termasuk sintua (majelis jemaat) dari Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Petojo, Jakarta Barat yang serta-merta meminta saya membuat acara kebaktian dan berkhotbah. Pengalaman itu membuat saya mengerti bagaimana menangani orang yang dirasuk roh jahat. Dan setelah peristiwa di Tanjung Gedong itu, saya telah berkali-kali menagani kasus kerasukan. Dengan berbekalkan ini semua, saya tidak bingung lagi ketika terjadi peristiwa kerasukan di kampus, apalagi setelah masuk STTI-3 ada pelajaran khusus mengenai cara menangani orang yang dirasuk roh jahat. Di lain pihak, peristiwa ini justru mempermudah saya mengajar mahasiswa dalam melayani orang-orang yang sedang ditimpa hal-hal yang bersifat gaib tersebut. Di Bojonegoro saya juga sempat dikenal dalam bidang pelayanan tersebut karena Tuhan beberapa kali memakai saya untuk menolong orang yang mengalami gangguan makhluk gaib.
Bagian IV
Tragedi Mei 1998
Terbunuhnya enam orang mahasiswa pada aksi demo menuntut mundurnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, disusul pecahnya kerusuhan massal (Mei 1998) yang juga berimbas pada perusakan beberapa gereja, sangat mengejutkan kami. Yayasan mengadakan rapat dengan melibatkan unsur pimpinan STT. Rapat memutuskan agar dibuka ruang informasi dalam usaha menolong banyak orang yang sedang kebingungan karena adanya kerusuhan di mana-mana. Sebagai lembaga berlabel Kristen, kami sadar bahwa kampus kami pun masuk dalam daftar “incaran”. Guna mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki itu, kami menetapkan kampus dalam kondisi “siaga satu”, artinya selalu ada orang yang berjaga-jaga.
Dan bukan kampus yang kami perhatikan. Lokasi-lokasi yang kami rasa memerlukan bantuan, kami datangi untuk memberikan perlindungan dari ancaman orang-orang yang mencari kesempatan di tengah kerusuhan. Sebagaimana diketahui, ketika itu memang terjadi aksi penjarahan di mana-mana, terutama tempat atau rumah yang tidak dijaga.
Ke tempat atau rumah yang dianggap rawan terkena aksi penjarahan, kami kirim beberapa mahasiswa untuk mengawalnya. Kami juga mengumpulkan lembaga-lembaga Kristen dan mengadakan pertemuan di Gereja Isa Alamasih (GIA) Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, untuk berembuk tentang langkah-langkah yang bisa kami tempuh dalam rangka menanggulangi keadaan tersebut. Tidak lupa, kami juga mengingatkan pemerintah atas perusakan terhadap rumah ibadah, khsusnya gereja, dalam aksi kerusuhan itu.
Pada waktu pertemuan di GIA itu saya juga membuat pernyataan sikap ke berbagai lembaga untuk bersama-sama menyikapi hal tersebut, agar korban jangan terus berjatuhan dan krisis tidak membuat bangsa ini mengalami disintegrasi yang akan menghancurkan bangsa. Sekolah kami memang mempunyai keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam peristiwa tersebut kami tidak hanya berdoa. Tetapi juga terus berupaya untuk memberikan kontribusi bagi bangsa ini.
Kami juga terlibat dalam aksi demonstrasi mahasiswa di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jakarta yang menuntut turunnya Presiden Soeharto. Dalam aksi itu kami bukan hanya sekadar demo, namun juga aktif memberikan bantuan konsumsi bagi peserta demo. Seandainya aksi demo itu masih berlanjut, kami dan segenap mahasiswa dari kampus STT lain yang juga ikut ambil bagian dalam aksi demo itu berencana mengadakan ibadah bersama di gedung MPR memohon pada Tuhan agar melimpahkan belas kasihannya bagi negeri ini. Kami juga ingin mendoakan para pemimpin bangsa supaya disadarkan atas kesalahan dan kekeliruan mereka. Secara bersamaan kami juga ingin mengingatkan bahwa umat Kristen adalah bagian dari bangsa ini, kesedihan orang Kristen seharusnya menjadi kesedihan bangsa, luka masyarakat Kristen mestinya menjadi luka bangsa. Demikian pula sebaliknya bagi kelompok-kelompok lain yang ada di Indonesia , karena walaupun kita berbeda tetap satu adanya.
Kerusuhan Mei 1998 merupakan tragedi yang amat memilukan, dan tidak akan pernah terlupakan terlebih oleh warga masyarakat yang menjadi korban langsung. Entah berapa ratus wanita menjadi korban pemerkosaan, entah berapa ribu manusia tewas, entah berapa banyak gedung, toko, atau tempat tinggal dirusak, dijarah massa lalu dibakar? Berapa banyak pula rumah ibadah yang dirusak? Korban perkosaan, mayat yang bergelimpangan, gedung-gedung yang rusak dan terbakar itu semua merupakan saksi dari kejahatan manusia, yang saat itu seakan berubah menjadi serigala atas sesamanya.
Memerkosa wanita yang tak berdaya, membakar gedung-gedung meski banyak orang di dalamnya, menjarah harta benda orang lain, merusak apa saja, tampaknya menjadi hal yang biasa ketika itu. Anarkis yang berlangsung di mana-mana memang sudah merupakan pemandangan biasa, saat itu. Mengapa bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah tamah, ternyata sangat kejam dan brutal? Saya tidak pernah bisa mengerti.
Kepada seluruh mahasiswa kami tanamkan kesadaran bahwa sebagai umat Kristen, kita harus juga mengawal kebijakan pemerintah yang berkeadilan untuk dapat diimplementasikan dengan baik, sehingga kesejahteraan masyarakat tercapai. Karena itu, dalam peristiwa tersebut, kami terus berusaha untuk memberikan apa yang kami bisa kerjakan dan memohon kekuatan Tuhan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, serta bahu-membahu, saling tolong sebagai sesama warga bangsa dan sesama ciptaan Tuhan.
Kami bertekad mewartakan Injil. Namun secara bersamaan kami juga menjalankan mandat Allah untuk penatalayanan dunia ini bagi kehidupan yang lebih sejahtera. Kehadiran Kristen harus dapat meredam pembusukan Yang dimaksud dengan pembusukan di sini adalah bertambahnya tindak ketidakadilan, perbuatan yang melawan Allah serta merendahkan sesama manusia. Sebagai “wakil” Allah dalam pengelolaan dunia ini, kami wajib terlibat dalam segala bentuk usaha untuk memajukan masyarakat, sehingga penderitaan sebagian warga bangsa merupakan penderitaan kami. Walau peran dan sumbangsih yang kami berikan tergolong kecil, tapi setidaknya dalam kondisi seperti itu kami telah berusaha untuk berbagi dengan sesama.
Bagian V
Menyiasati Krisis Moneter
Krisis moneter yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi di Indonesia membawa penderitaan bagi banyak orang. Pergantian presiden disusul lahirnya kabinet baru, tampaknya tidak menunjukkan perkembangan yang berarti bagi rakyat banyak. Tindakan anarkis menjadi sesuatu yang biasa sebagai akibat tuntutan dari “kampung tengah” (perut). Bukan hal yang luar biasa bila seorang tukang parkir liar tega membunuh karena tidak diberi uang oleh pemilik kendaraan yang parkir.
Kesulitan dalam mencari penghidupan membuat sesama warga bangsa saling menyakiti, apalagi di berbagai tempat terjadi pergolakan yang menuntut pemisahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam situasi seperti ini kami terpanggil untuk meringankan beban masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggelar pasar murah. Kami juga memberikan bantuan sembako kepada rakyat miskin tanpa memandang agama apa yang dianut.
Kami sadar, pekerjaan ini tidak mungkin dapat kami atasi sendiri. Untuk itu kami mengajak pihak lain bekerja sama, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili oleh Matori Abdul Djalil. Saya sendiri masuk dalam kepanitiaan sebagai pengendali dalam kerja sama tersebut. Berkat kerja sama dengan NU, penyaluran bantuan menjadi lebih efektif. Lembaga keagamaan Islam terbesar di Indonesia ini memang penting kami ikutsertakan demi menghilangkan timbulnya rasa curiga bahwa kami sedang melakukan kristenisasi.
Dan memang, pada hakekatnya tidak ada kristenisasi dalam kekristenan. Agama bukan merupakan sesuatu yang dipaksakan dan juga bukan sesuatu yang dapat disampaikan dengan iming-iming sesuatu, apalagi hanya sembako yang tidak seberapa nilainya. Tentang hal ini, Matori Abdul Djalil pernah berkata di hadapan saya dan teman-teman, “Saya percaya, seseorang itu menjadi Kristen karena pilihan Allah, bukan karena bujukan, apalagi paksaan.” Dengan demikian, ada titik temu dalam kerja sama tersebut, yaitu sama-sama memiliki rasa keprihatinan terhadap kesusahan sesama warga bangsa.
Kami mengadakan pasar murah bersama pada banyak tempat, salah satunya di Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur, dan mendapat sambutan yang sangat antusias dari warga setempat. Di Bekasi, dalam bakti sosial “Sigma Peduli” yang digelar warga Jalan Sigma, Jatimakmur, Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat, saya menjadi ketua panitia untuk menangani bantuan tersebut. Dalam bakti sosial itu, kami membagi sembako gratis kepada masyarakat.
Sebagai ketua panitia, saya benar-benar memantau pembagian sembako itu supaya benar-benar sampai pada warga yang benar-benar berhak menerimanya. Dan yang jelas, bantuan sembako itu bukan hanya diberikan kepada orang Kristen saja, tetapi juga kepada umat yang beragama lain. Kami yakin bahwa semua manusia sederajat, sama-sama mulia. Dan penciptaan terjadi sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, sehingga pada hakekatnya semua manusia sederajat, laki-laki dan perempuan, tidak memandang dari suku, agama atau bangsa mana pun. Dasar aksi sosial kami jelas, yaitu sebagai sesama warga bangsa, sudah sepatutnyalah kita mempunyai keprihatinan antar-sesama. Puji Tuhan, aksi-aksi sosial yang kami selenggarakan mendapat sambutan yang sangat baik, serta berdampak positif.
Bagian VI
Ada Apa dengan Jawa Barat
Tahun 1998, Jawa Barat ditetapkan sebagai pusat pelayanan yayasan, termasuk juga STT. Semua mahasiswa dikhususkan praktek di daerah Jawa Barat. Alasan dipilihnya Jawa Barat sebagai lokasi utama dalam pemberitaan Injil dapat diterima oleh semua staf yayasan, termasuk STT, apalagi data-data mengenai Jawa Barat dipaparkan dengan jelas oleh departemen misi yang bertugas melakukan pemetaan atas wilayah Jawa Barat.
Sebagai wilayah tempat berdomisili satu suku (etnis) yang jumlahnya sangat besar, namun sedikit pemeluk Kristen, wajar jika daerah ini membangkitkan semangat untuk membagi Injil. Di samping itu, sedikitnya jumlah tempat ibadah Kristen di daerah yang mengklaim sebagai daerah muslim ini, membuat umat lain seakan tidak punya tempat berpijak di sini. Sebenarnya tidak tepat jika provinsi itu diklaim sebagai wilayah milik warga masyarakat yang menganut suatu agama tertentu, sebab bukankah Provinsi Jawa Barat juga merupakan bagian dari wilayah negara dan bangsa Indonesia, di mana kami ada sebagai sesama warga bangsa. Sebagai wilayah dari NKRI, Jawa Barat tidak terpisah dari daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Jadi, memerhatikan Jawa Barat juga adalah memerhatikan keluarga sendiri, yaitu Indonesia .
Karena semua mahasiswa dikhususkan menjalankan tugas praktek lapangan di Jawa Barat, maka mereka diperlengkapi dengan penguasaan bahasa Sunda. Dengan demikian, maka pelajaran bahasa Sunda menjadi pelajaran wajib bagi semua mahasiswa. Yayasan membentuk wadah yang dinamakan “Yerikho 2000”, dan berada dalam departemen misi.
Meski berada dalam departemen misi, “Yerikho 2000” mempunyai kekhususan, yakni hanya melayani di daerah Jawa Barat. Misi yang melibatkan tenaga mahasiswa ini bukan cuma melayani dalam hal proklamasi Injil, namun juga lewat pertanian, perikanan dan pelayanan kesehatan gratis.
Misi yang dibebankan pada STTD ini memang tidak salah, karena mempersaksikan Injil ke daerah-daearah yang belum mendengar dan menerima Injil merupakan kewajiban orang-orang percaya. Di lain pihak, Jawa Barat sendiri sebenarnya tidak menderita kerugian dengan misi Yerikho 2000 ini, malah justru mendapat keuntungan dengan pembangunan usaha-usaha pertanian, perikanan, serta aksi-aksi sosial yang diadakan Yerikho 2000. Tambahan pula, secara bersamaan warga Jawa Barat juga mendengar kabar baik (Injil). Mendengar kabar baik tidak ada ruginya, dan tidak ada pemaksaan. Namun karena adanya kecurigaan yang berlebihan, sering pula timbul konflik dalam pelaksanaannya.
Bukan hanya mahasiswa yang dikirim ke Jawa Barat, tetapi juga tenaga-tenaga misi yang dilatih oleh yayasan. Karena itu, di samping mahasiswa yang ada di kompleks asrama ada juga calon-calon tenaga misi yang dipersiapkan untuk melayani di Jawa Barat. Kampus sekarang bukan hanya mengalami pertambahan mahasiswa tetapi juga tenaga-tenaga misi yang tidak sedikit jumlahnya. Gedung-gedung yang bagus mulai dibangun. Pada akhir tahun 1998 di kompleks asrama sudah mulai dibangun gedung-gedung permanen yang megah.
Puncaknya, dibangun pula tempat kuliah berlantai dua yang megah dilengkapi aula yang dapat menampung sekitar seribu orang. Jika di lantai dua itu ada aula dan tempat kuliah, maka lantai satu menjadi pusat perkantoran bagi seluruh departemen yang bernaung di bawah yayasan. Bangunan kampus yang megah itu berada di dalam kampung dikelilingi pagar tembok yang tinggi menggantikan pagar kawat yang menjadi batas areal kampus dengan wilayah pemukiman warga. Tidak semua ditutupi tembok dengan maksud supaya warga kampus tetap memiliki hubungan dekat dengan masyarakat. Penjagaan kampus kini jadi lebih ketat. Siang hari pun ada satpam yang menjaga di pintu gerbang.
Dalam rangka membantu masyarakat di bidang kesehatan, di dalam kompleks juga dibangun klinik yang fasilitasnya cukup baik, serta rumah-rumah staf yang cukup baik. Ada empat keluarga staf STT yang berdomisili di dalam kompleks kampus. Selain itu ada juga satu keluarga staf kesehatan, staf pengawas calon tenaga misi satu keluarga. Sedangkan satu rumah bertingkat khusus untuk calon tenaga misi wanita. Akhirnya ada juga gedung pusat latihan tenaga misi yang megah dekat gedung aula yang termegah di kampus.
Panti rehabilitasi yang berada satu kompleks dengan asrama juga mulai tertata dengan baik. Banyak ruang permanen dibangun. Singkatnya, kampus yang dulu hanya terdiri dari bangunan-bangunan sederhana dan semi permanen itu sekarang telah menjelma menjadi banyak gedung permanen yang cukup baik. Kemajuan dalam dua tahun terakhir sejak saya masuk itu memang luar biasa. Fasilitas yang semakin baik juga akan mendorong pelayanan yang lebih luas.
Bagian VII
Pelayanan Kontekstual Sarat Kontroversi
Untuk mencapai visi-misinya melayani Jawa Barat yang begitu luas, yayasan menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai yayasan. Langkah seperti ini biasa ditempuh oleh lembaga-lembaga yang sedang melebarkan sayapnya. Kerja sama yang lebih luas membuat yayasan dengan STT-nya mampu menghimpun orang dalam jumlah besar. Puncaknya, pada perayaan paskah 1999 di Istora Senayan, Jakarta yayasan menyelenggarakan perayaan paskah bersama Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB).
Saya tidak tahu banyak tentang hal tersebut. Namun yang jelas, bukan hanya dari kalangan STT dan yayasan yang turut ambil bagian, namun juga dari berbagi lembaga Kristen lainnya. Yayasan secara khusus dikoordinir oleh Yerikho 2000 yaitu proyek pelayanan yang mengkhususkan diri pada daerah Jawa Barat.
Lantaran kesibukan di STT, saya tidak banyak terlibat penuh dalam persiapan acara tersebut yang memang lumayan panjang. Acara tersebut wajar dipersiapkan secara matang dan akurat, karena merupakan acara utama yayasan. Terbukti, sebab perayaan itu diselenggarakan secara besar-besaran, dan acara semeriah itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam acara tersebut, visi dan misi yayasan dengan STT-nya untuk menjangkau Jawa Barat dikumandangkan dengan keras serta alasan-alasan yang sangat kuat. Namun dalam kesempatan ini pula terciptalah model penginjilan yang disebut oleh yayasan sebagai kontekstualisasi, di mana mulai saat itu mahasiswa maupun staf menggunakan pakaian nasional, namun belakangan diklaim oleh umat Islam sebagai pakaian khas mereka.
Pada waktu perayaan Paskah di Istora Senayan, di mana panitia juga menggelar pameran bersama lembaga-lembaga Kristen, semua staf laki-laki dan mahasiswa diwajibkan memakai pakaian “nasional” antara lain kopiah. Sementara mahasiswi dan staf wanita mengenakan tutup kepala (kerudung). Berhubung daerah yang akan dilayani adalah Jawa Barat, maka seluruh staf dan mahasiswa harus belajar menjadi “sama” dengan warga Jawa Barat umumnya, antara lain dalam cara berbusana.
Cara berbusana meniru-niru masyarakat Jawa Barat itu sama sekali bukan untuk mengadakan penginjilan terselubung, karena memang tidak ada yang namanya penginjilan terselubung. Lagi pula, pemanfaatan gaya berbusana masyarakat Jawa Barat yang kebetulan mayoritas muslim itu sebenarnya sah-sah saja, asal saja diusahakan untuk tidak sampai menimbulkan salah pengertian dari pihak lain.
Jadilah, panitia Paskah di Istora Senayan semuanya memakai pakaian khas masyarakat Jawa Barat atau pakaian “nasional”, namun diklaim sebagai busana muslim oleh kebanyakan orang Islam. Acara Paskah tersebut menjadi tonggak sejarah bagi yayasan dan STT sebab sejak saat itu ditetapkan bahwa semua mahasiswa dan staf memakai kopiah, sementara mahasiswi tetap berpakaian seperti biasa, karena kerudung bukan pakaian nasional, tetapi pakaian daerah.
Meski demikian, seruan untuk memakai kopiah ini menjadi polemik di lingkungan STT. Saya adalah satu-satunya staf yang tidak menggunakan kopiah karena memang seharusnya hal tersebut tidak perlu dipaksakan., mahasiswa pun banyak enggan menggunakan kopiah, namun terpaksa memakainya demi menghormati pimpinannya.
Bagian VIII
Kampus Terbuka
Kampus STT Doulos luasnya sekitar tiga hektare. Awalnya, hanya sebagian kecil lahan yang dipakai untuk mendirikan bangunan. Lahan selebihnya yang masih sangat luas itu digunakan sebagai kebun singkong, kebun jagung. Bahkan kami juga mempunyai peternakan ayam potong yang pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan daging di asrama. Sebagian tanah yang belum dipergunakan itu kami buat lapangan sepak bola yang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Ketua RT kami minta sebagai penanggung jawab jadwal penggunaan lapangan sepak bola tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa kampus kami bersifat terbuka. Awalnya, kami sengaja memasang pagar kawat di sekeliling—bukan tembok tertutup—dengan maksud agar setiap orang yang lalu-lalang, dapat melihat dengan bebas bagaimana keadaan kampus itu. Dan kondisi seperti ini kami buat dalam rangka memelihara kedekatan dengan masyarakat. Namun setelah banyak bangunan megah dibangun di areal kampus, pagar kawat diganti pagar tembok, namun bagian gerbang depan di mana satpam ada, kami tetap gunakan pagar kawat, artinya kampus kami tidak tertutup atau tidak eksklusif.
Kami senang dapat berinteraksi dengan penduduk. Tanah lapang yang kami gunakan untuk kegiatan sepak bola dan kegiatan olahraga lainnya seperti senam, juga dapat digunakan oleh masyarakat setempat. Lapangan itu bahkan juga pernah dimanfaatkan untuk keperluan di luar kegiatan olahraga. Dalam masa kampanye 1999 misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggunakan tempat itu untuk berkampanye. Waktu itu, Haryanto Taslam, salah seorang fungsionaris PDIP yang tampil berkampanye. Sekali lagi, kami mengijinkannya karena memang kampus kami adalah kampus terbuka, dalam arti tidak ingin menjadi eksklusif, karena kami adalah bagian dari masyarakat desa di mana kami berada.
Kampanye PDIP tersebut dimeriahkan oleh artis dan reog yang membuat massa memenuhi lapangan bola kami. Semua acara berlangsung meriah dan lancar, tanpa ada gangguan atau keributan sedikit pun. Tempat kami semakin dikenal orang secara luas, apalagi setiap tahun kami mengadakan pertandingan sepak bola antar-sekolah teologi, yang biasanya sangat ramai oleh penonton.
Singkat kata, kami tidak terasing. Kami terbuka untuk dapat bergaul dengan semua orang. Adalah kebahagiaan untuk tetap dapat menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia, sebagai sesama ciptaan Tuhan. Kondisi itu terus kami pupuk dari hari ke hari. Kami tidak pernah berpikir akan ada orang yang mengusik ketenangan kami, apalagi kami memang memiliki hubungan baik dengan masyarakat setempat.
Bagian IX
Demonstrasi yang Mengusik Ketenangan
Siang itu di bulan Agustus 1999 saya diminta untuk segera hadir di ruang rapat pimpinan STT. Pemberitahuan rapat yang serba mendadak ini membuat saya bertanya-tanya dalam hati ada apa gerangan yang terjadi. Semula saya menduga ada isu demo yang kemudian akan disusul aksi penyerangan dari sekelompok orang yang tidak senang dengan keberadaan kampus kami.
Bergegas saya menuju ruang rapat. Di sana telah hadir seluruh pimpinan STT. Dari raut wajah mereka saya memperkirakan kalau rapat yang sangat mendadak ini memang sangat serius. Ternyata dugaan saya benar. Kepada saya diberitahukan bahwa pada saat itu ada sekelompok orang yang mendatangi kantor kelurahan dengan maksud meminta agar kampus kami ditutup dengan alasan mengganggu lingkungan. Salah satu rumor yang beredar, kampus kami melakukan pemurtadan terhadap masyarakat sekitar. Dan isu ini, katanya, membuat warga setempat sakit hati.
Informasi tersebut tentu saja mengejutkan saya. Bagaimana tidak? Kami selalu aktif dalam kegiatan masyarakat. Setiap menjelang tanggal 17 Agustus misalnya, saya selalu berpartisipasi dalam kejuaraan catur antarwarga. Di samping itu kami turut aktif dalam siskamling menjaga keamanan lingkungan bersama masyarakat. Singkatnya, kami merasa dekat karena memang berbaur dengan warga dan berusaha menjalin komunikasi dengan warga.
Walaupun jumlah penghuni kompleks kami cukup banyak, karena ada mahasiswa di asrama dan rumah staf, kami tidak ingin membuat RT sendiri, dengan alasan supaya tetap dapat membaur dengan masyarakat. Sebagai pimpinan asrama merangkap dosen, sepanjang hari saya berada di dalam kompleks, dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Jadi, mustahil saya tidak mendengar keluhan masyarakat seperti yang dibeberkan dalam rapat ini.
Selama ini tidak ada kecurigaan apalagi tuduhan kalau kami melakukan pemurtadan atau kristenisasi. Sebagai seorang pengajar teologi, secara khusus bidang sistematik, dan juga merangkap komisi teologi, saya mengerti apa itu kristenisasi. Kristenisasi dalam pengertian membujuk-bujuk seseorang supaya menjadi Kristen adalah suatu tindakan yang sangat bertentangan dengan ajaran Kristen yang mengajarkan bahwa hanya karena anugerah Allah-lah manusia bisa datang pada Kristus.
Penginjilan yang kami lakukan tidak pernah menggunakan bujukan dengan iming-iming memberi sesuatu, apalagi dengan cara memaksa. Memang ada sebagian staf yang melakukan “pendekatan” yang bisa saja dianggap menyinggung perasaan umat penganut agama lain, yakni penggunaan busana—semacam kopiah dan kerudung—yang diklaim sebagai “milik” umat agama Islam. Tentang hal ini saya pernah “menegur” staf yang bersangkutan, namun dia menjelaskan bahwa kopiah adalah pakaian nasional.
Alasan kami memfokuskan pelayanan ke daerah Jawa Barat adalah dikarenakan belum begitu banyak masyarakat yang sudah mendengar Injil di sini. Dan saya rasa, program kami ini sah-sah saja. Bukankah kami hendak menyampaikan berita sukacita? Kenapa harus dicurigai atau ditakuti?
Yang namanya berita baik, tidak pernah membawa dampak sesuatu yang tidak baik, walaupun memang dapat saja ditafsirkan tidak baik. Meski ditafsirkan tidak baik, sejatinya ia tetap kebaikan yang akan selalu memberikan kebaikan. Dan jika kami mengenakan pakaian khas Jawa Barat yang kebetulan diklaim sebagai pakaian khas muslim, hal itu sama sekali bukan merupakan manipulasi. Apalagi busana seperti itu juga sudah merupakan identitas nasional.
Tentang hal ini, saya sebenarnya sudah pernah menyampaikan kepada pimpinan yayasan kalau masalah busana ini bisa saja menyinggung perasaan warga yang beragama Islam. Namun beliau menegaskan bahwa pakaian yang kami gunakan adalah pakaian nasional bukan pakaian lokal. Meski saya dapat menerima ide dan penjelasan ini, selama berada di kampus saya tidak pernah menggunakannya. Bukan karena tidak peduli dengan imbauan pengurus yayasan, tetapi karena secara teologis pendekatan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan.
Bisa saja perbedaan sudut pandang menimbulkan kecurigaan, tetapi bukankah itu dapat dirundingkan? Masyarakat negeri ini terkenal dengan musyawarah dan mufakatnya. Jadi, salah pengertian mestinya tidak boleh serta-merta dianggap dasar pembenaran konflik. Bukankah kesalahmengertian dapat dirundingkan demi terciptanya pengertian bersama? Tetapi anehnya, yang dituduhkan kepada kami adalah “kristenisasi berkedok Islam” atau “pemurtadan berkedok Islam”. Ini adalah tuduhan yang benar-benar tidak pernah ada dalam pemikiran kami. Sebab, bagaimana mungkin memberitakan Injil Allah, yang adalah kebenaran itu, dengan cara-cara yang tidak benar? Mustahil.
Hal lain yang cukup mengagetkan ialah adanya rumor bahwa panti rehabilitasi narkoba dan klinik kesehatan yang berada satu lokasi dengan asrama melakukan praktek kristenisasi dengan cara menawarkan obat-obat gratis, pelayanan kesehatan gratis, lalu membujuk orang yang menerimanya untuk menjadi Kristen. Yang lebih mengerikan adalah rumor bahwa staf yayasan memberikan narkoba kepada penduduk, kemudian merawat “korban” di dalam panti rehabilitasi dan selanjutnya “mengkristenkan” mereka. Saya tidak mengerti apa kepentingannya sehingga si pembuat isu begitu berani menciptakan isu yang begitu kejam seperti itu. Begitukah kehidupan orang yang beragama?
Apa boleh buat, di negeri ini memang sulit untuk membedakan orang beragama dengan tujuan menyembah Tuhan atau menganut agama untuk kepentingan tertentu. Apalagi setelah trauma peristiwa G30S/PKI yang meninggalkan luka yang mendalam, banyak orang mengaku beragama hanya karena takut disebut PKI. Sebab jika seseorang sudah dicap sebagai simpatisan atau pengikut PKI, dia akan diperlakukan secara diskriminatif. Atau mungkin juga seseorang itu mengaku beragama karena masalah ekonomi dan politik.
Pendeknya, rumor bahwa kami melakukan upaya kristenisasi memang sesuatu yang sangat menyakitkan hati. Lagi pula, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Pada masa krisis, saya masuk dalam tim kerjasama antara lembaga tempat saya melayani dengan organisasi masyarakat terbesar umat Islam Indonesia , Nahdlatul Ulama (NU), untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung dengan memberikan bantuan sembako. Waktu itu NU diwakili oleh Matori Abdul Djalil. Saya sendiri masuk kepanitiaan sebagai pengendali (steering comitee).
Selama beberapa kali melakukan kegiatan, aksi sosial ini selalu mendapatkan sambutan yang baik, tidak pernah terdengar hal-hal yang negatif atas aktivitas yang murni mengusung misi kemanusiaan ini. Di Bekasi, waktu kami membagikan sembako dalam aksi “Sigma Peduli”, ada sejumlah tokoh agama dari berbagai agama yang hadir. Ini semua bisa berjalan dengan baik terutama karena kami melakukannya bukan hanya untuk orang Kristen saja, tetapi juga umat beragama lain—apalagi kami melibatkan tokoh-tokoh agama. Hubungan baik kami dengan para tokoh agama tidak berhenti hanya pada aksi sosial. Sewaktu Natal tahun 1998, misalnya, Matori Abdul Djalil mengirim kartu ucapan selamat Natal pada saya. Pendek kata, hubungan kami dengan umat beragama lain tampak berjalan dengan baik. Jadi, sangat beralasan jika rumor yang saya dengar itu sangat menyakitkan hati.
Kemudian saya meminta supaya diijinkan pergi ke kantor kelurahan guna memantau sekaligus mencari tahu tentang orang-orang yang menuntut ditutupnya kampus kami itu. Saya mengajak Andreas, pembantu ketua (puket) IV bidang pelayanan, yang adalah juga ketua Yerikho 2000. Andreas berdomisili tidak jauh dari kantor kelurahan, jadi dia mengenal dan dikenal warga yang bertempat tinggal di sekitar kantor kelurahan. Kami ingin melihat atau membuktikan apakah orang-orang yang berdemo itu memang masyarakat sekitar kelurahan atau bukan.
Seperti layaknya warga yang punya urusan ke kelurahan, kami memasuki halaman kantor kelurahan. Benar, di sana banyak orang berkerumun, kira-kira seratus orang. Setelah melewati kerumunan, kami masuk ke dalam kantor. Masing-masing kami mencari tempat yang strategis supaya leluasa mengamati massa . Saya berdiri di depan massa , sedangkan Andreas memantau dari posisi yang lain. Sejauh pengamatan saya, tidak seorang pun pendemo itu yang saya kenal dan mengenal saya. Jika ada yang mengenal saya, pasti langsung berinteraksi dengan saya. Akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa massa yang demo itu bukan berdomisili di sekitar kampus kami, namun orang-orang dari tempat lain dan digerakkan oleh orang yang tidak kami kenal.
Setelah itu kami kembali ke kampus dan melaporkan temuan kami kepada rekan-rekan yang masih menunggu ruang rapat. Mendengar penuturan kami, ada rekan yang menyatakan dugaannya kalau massa itu digerakkan oleh orang yang juga pernah menutup salah satu kampus kami di Lembang, Bandung , Jawa Barat. Alasannya, modusnya sama yaitu menyebarkan isu yang tidak benar, membuat masyarakat marah, lalu menggerakkan mereka melakukan aksi demo menuntut ditutupnya tempat yang tidak mereka sukai itu.
Setelah aksi demo di kelurahan itu, kami mulai menerima banyak teror antara lain lewat telepon. Selain itu, bukan hal yang asing lagi jika kami menemukan brosur atau spanduk yang memfitnah lembaga kami. Menghadapi itu semua, kami selalu berusaha mencari jalan keluar terbaik.
Yang mengherankan, dalam kondisi seperti itu, ada majalah yang tampaknya dengan sengaja membesar-besarkan masalah dengan informasi yang tidak benar supaya suasana semakin keruh. Majalah tersebut, dengan semangat yang amat luar biasa selalu memuat berita-berita yang membuat panas hati orang yang membacanya, dan sejauh itu tidak ada pihak yang menegor apalagi mengutuk majalah tersebut. Anehnya majalah tersebut berkembang dengan cukup pesat. Oplahnya meningkat setiap bulan. Pertimbangan ekonomi ternyata membuat orang rela menyebar berita apa pun, yang penting banyak uang masuk kantong. Mereka bahkan tidak peduli meski sumber uang itu adalah berita-berita yang sifatnya menghina agama orang lain. Ironis, bagi orang-orang yang berada di belakang perusahaan penerbit majalah tersebut, agama hanya menjadi alat pemuas kebutuhan manusiawinya, yang memang tidak akan pernah terpuaskan.
Bagian X
Peringatan Adanya Penyerbuan
Sejak aksi demo di kelurahan itu, hari-hari kami selalu gelisah. Kami terus dihantui perasaan was-was akan ada penyerangan ke kampus kami. Suasana semakin mencekam ketika pejabat kepolisian setempat memberitahu bahwa pihaknya telah mendengar isu akan terjadi penyerangan. Guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan itu, aparat berwenang itu mengingatkan kami untuk terus berjaga-jaga.
Kami pantas merasa khawatir, sebab orang yang akan menggerakkan aksi tersebut memiliki massa dalam jumlah yang sangat banyak, dan mempunyai pengaruh yang kuat. Mendengar keterangan itu saya berpikir, begitu rapuhkah aparat keamanan di negeri tercinta ini, sehingga seorang bisa dengan leluasa menebar ancaman yang sangat menakutkan? Bukankah kewajiban negara dan secara khusus pemerintah melalui pihak keamanan memberi perlindungan pada setiap orang yang berada dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia ?
Sejak pemberitahuan pihak aparat itu, kami pun melakukan berbagai persiapan pengamanan. Dan bukan hanya satpam yang mendapat pelatihan khusus, bahkan semua yang berada di dalam kampus juga dilatih bagaimana menggunakan alat pemadam kebakaran jika terjadi penyerangan, yang disertai dengan pembakaran di dalam kompleks. Di samping mengintensifkan pelatihan, kami menjalin koordinasi dengan babinsa dan keamanan. Seorang dokter yang pernah bertugas sebagai dokter tentara dipilih sebagai kepala keamanan kampus yang akan membantu saya sebagai kepala asrama yang juga pembantu ketua bidang kemahasiswaan.
Sewaktu ancaman penyerangan semakin sering dilaporkan, kami memutuskan memindahkan semua barang-barang berharga—khususnya buku-buku—ke tempat-tempat yang dinilai aman. Hal itu perlu guna menghindari kerugian yang sangat besar jika penyerangan benar-benar terjadi. Langkah pengamanan benda-benda berharga semakin dipandang perlu mengingat bangunan kampus seperti ruang kuliah, asrama dan perpustakaan, pada umumnya masih semi permanen.
Saya sendiri beserta istri merasa tidak perlu melakukan langkah pengamanan asset-aset berharga dari rumah dinas. Pasalnya, hati kecil kami sungguh tidak dapat mempercayai akan adanya pihak-pihak yang begitu tega melakukan tindakan yang sangat tidak berperi kemanusiaan terhadap kami di negeri yang sudah lama merdeka ini.
Saya juga tidak dapat menahan rasa sedih saat menyaksikan sebagian besar mahasiswa yang buru-buru mengamankan buku atau harta benda lain ke tempat sanak saudaranya jika ada isu penyerangan atau ancaman melalui telepon. Saya memang tidak dapat memberikan jaminan perlindungan pada mereka. Namun yang pasti, dalam ketidakberdayaan tersebut, saya tetap berusaha menguatkan mahasiswa, dan tampaknya mereka cukup terhibur. Sebagai seorang pimpinan, saya berusaha tampil tegar untuk menguatkan semua mahasiswa, termasuk lima keluarga staf yang tinggal dalam lingkungan kampus.
Malam hari, jika ada telepon berisi ancaman penyerangan, saya yang harus harus menangani sembari tetap memberi nasihat dan wejangan guna menguatkan setiap mahasiswa serta tetap mengingatkan untuk tetap waspada. Puncak kewaspadaan kami adalah setelah mendengar berita tentang sekolah Alkitab yang ada di Halim, Jakarta Timur diserang massa pada malam hari. Diberitakan pula bahwa pihak yang diserang melakukan perlawanan, namun karena aparat kepolisian sudah berada di lokasi, insiden tidak terjadi.
Peristiwa itu membuat kami berpikir bahwa penyerangan pasti akan terjadi terhadap kami. Selaku kepala asrama dan pembantu ketua III, saya memerintahkan para mahasiswa untuk bersiaga dan selalu mengadakan penjagaan yang ketat. Bukan hanya di dalam areal kampus kami siaga, bahkan di luar kampus sampai radius satu kilometer, saya menempatkan mahasiswa secara bergantian untuk mengintai, kalau-kalau ada aksi penyerangan mendadak. Ancaman tidak hanya ditujukan pada kampus, tetapi juga pada rumah ketua STT. Dan ketika beredar isu akan ada serangan ke rumah ketua STT, saya membawa beberapa mahasiswa untuk berjaga-jaga di rumah tersebut. Tapi sejauh itu tidak pernah terjadi apa-apa.
Barisan Serba Guna (Banser) dari NU juga turut membantu kami mengamankan kampus. Mereka bermarkas di samping rumah dinas saya. Kehadiran Banser NU ini sebenarnya sudah cukup memberi bukti bahwa kami memang terbuka, dan tidak mempunyai maksud terselubung bagi saudara-saudara kami yang memiliki keyakinan berbeda.
Di tengah situasi yang mencekam itu, pada suatu malam terjadi perkelahian di panti rehabilitasi. Keributan itu terjadi karena banyak pasien yang tidak senang dengan sikap seorang satpam yang agak keras. Pecahnya insiden itu membuat kami terkejut, karena kami berpikir kalau aksi penyerangan telah mulai. Bahkan pasukan Banser pun tampak sudah mulai bersiap-siap “tempur”. Tapi, setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi di panti rehabilitasi tersebut, kami semua bernafas lega, bahkan tersenyum geli. Pasalnya, yang terjadi adalah salah seorang pasien narkoba mengamuk menyerang satpam yang terkenal galak tadi. Akhirnya, kesalahpahaman itu dapat ditangani dengan baik. Di tengah banyaknya ancaman serangan, tersebar pula isu bahwa kampus kami akan “dibersihkan”, dan sebagai gantinya akan dibangun tempat ibadah agama lain.
Mahasiswa STTD memang berasal dari berbagai denominasi gereja. Jadi, tidak mudah untuk memberikan pelajaran yang sifatnya satu arah. Diakui atau tidak, perbedaan ini tentu punya potensi untuk menciptakan “konflik” antara pengajar dengan mahasiswa, bahkan mungkin juga antar-mahasiswa. Supaya jangan sampai terjadi pertentangan-pertentangan itu, saya mengarahkan mereka untuk tidak sampai terbawa emosi, melainkan tetaplah waspada, tetaplah berdoa dengan tidak melepaskan akal sehat.
Ada kelompok mahasiswa yang senantiasa berdoa dan berpuasa untuk keselamatan kampus. Mereka ini umumnya mahasiswa baru yang belum begitu mengenal problema yang mengitari kampus. Ada juga yang membuat mahasiswa lain kebingungan karena ada di antara mereka yang mengaku memperoleh “penglihatan” (pesan Tuhan) bahwa kampus kami akan diserang dan diambil alih oleh pihak penyerang. Tentang hal ini ada yang percaya dan ada yang tidak. Namun saya berusaha mengarahkan mereka agar tidak terjebak dengan perdebatan yang berakibat pada pertentangan, tetapi mengarahkan untuk tetap menggunakan akal sehat dalam menganalisa segala sesuatu. Usaha untuk mendamaikan perbedaan pandangan tersebut membutuhkan kesabaran, apalagi memang realitasnya kami dalam kondisi yang sulit.. Sebagai ketua bidang kemahasiswaan, saya mengarahkan kerinduan yang baik itu untuk dapat tetap terjadi kebersamaan di dalam kampus.
Penjagaan kampus yang begitu ketat dan menguras tenaga, karena harus bergantian berjaga terutama pada malam hari, telah berlangsung cukup lama kira-kira 4 bulan. Namun sejauh itu aksi penyerangan tidak terjadi. Pihak pemerintah yang mendengar dan menyaksikan aksi demo di kelurahan tempo hari telah memanggil tokoh-tokoh agama dan melakukan pembicaraan seputar kampus dan kiprah yayasan yang menjadi sasaran demo itu. Dalam kesempatan itu, pihak pemerintah mengingatkan supaya lembaga (yayasan) mengingat peraturan yang tercantum dalam SKB Dua Menteri tahun 1969 tentang larangan penyiaran agama terhadap orang-orang yang berbeda agama, dan tentang pendirian rumah ibadah.
Pada waktu itu, kami sebagai STT telah mendapat ijin dari Departemen Agama (Depag), jadi, artinya kami telah memenuhi syarat. Hanya saja, ijin mendirikan bangunan (IMB) memang amat sulit diberikan. Bukannya kami tidak mengurus, segala upaya telah kami tempuh, namun tidak pernah dikabulkan. Aneh memang, kok sulit sekali mengurus ijin bagi tempat yang maksud dan tujuannya baik.
Tidak habis pikir, kenapa begitu sulit proses guna mendapat ijin berdirinya tempat yang sudah jelas memberikan sumbangsih yang besar bagi bangsa dan negara. Semua upaya memang terbentur pada SKB No.1/1969 tadi. Dan hal itu membuktikan bahwa surat keputusan bikinan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969 itu jelas tidak produktif. Lalu kenapa produk hukum dalam SKB yang tidak produktif tersebut terus diberlakukan? Aturan itu seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi peraturan tersebut justru yang diangkat untuk menyerang kami. Pada prinsipnya, sebagai seorang Kristen dan sebagai warga negara yang baik, kami berusaha untuk menaati peraturan yang berlaku, tapi niat baik kami itu tidak mendapat sambutan yang semestinya.
Di tengah isu penyerangan yang terus beredar, kami kembali dikagetkan berita di surat kabar yang mempertanyakan aktivitas kami yang masih tetap berjalan, padahal pihak yang berwenang telah menyatakan menutup yayasan dan STT. Guntingan berita itu ditempelkan di jalan-jalan ke arah masuk lokasi kami. Terang saja saya merasa kaget saat membacanya, sebab bagaimana mungkin surat kabar menulis berita seperti itu, sementara usaha damai telah berlangsung. Kenapa surat kabar membuat berita yang justru berbeda? Apakah ini salah satu wajah surat kabar Indonesia yang selalu ditunggangi kepentingan pihak-pihak tertentu? Ironis sekali kebebasan pers yang diperjuangkan dengan harapan adanya keadilan, justru dipakai untuk melakukan tindakan diskriminatif.
Saya hanya menyimpan berbagai pertanyaan dan rasa kesal dalam hati, karena toh usaha-usaha yang seharusnya kami lakukan, sudah kami lakukan dengan baik. Kami telah melakukan upaya untuk menjelaskan keberadaan kami yang sesungguhnya, dan itu tidak bertentang dengan peraturan. Kami tidak melakukan sesuatu kegiatan tercela, atau yang merugikan orang lain. Kami berpikir, dengan adanya pengakuan dari tokoh-tokoh agama dan pemerintah, semua permasalahan telah diselesaikan dengan baik.
Untuk beberapa waktu, kami tidak pernah lagi mendengar ancaman-ancaman, baik melalui telepon maupun spanduk-spanduk. Kami menduga bahwa masalah sudah beres. Berdasarkan keyakinan itu pulalah saya mulai “berani” meninggalkan kampus yang selama beberapa waktu terakhir selalu saya jaga dari kemungkinan penyerangan. Pada 14 Desember 1999 pukul 16.00, dengan perasaan tenang, saya keluar dari rumah menuju Cimone, Tangerang, Banten untuk melayani di Gereja Kristen Jemaat Mangga Besar (GKJMB), pada jam 19.00. Ada kejadian “aneh” sewaktu saya baru saja keluar dari kompleks: saat itu saya nyaris ditabrak sepeda motor. Jika pengendaranya tidak lihai, saya pasti tertabrak. Terus terang, selama hidup saya belum pernah melihat seseorang yang begitu cekatan mengendarai motor. Berhubung kondisi kami sudah mulai tenang dan kondusif, peristiwa tersebut saya anggap suatu kebetulan belaka dan biasa.
XI
Api Menghanguskan Kampus
Malam itu di GKJMB Cimone saya berkhotbah mengenai penderitaan seorang Kristen. Dengan penuh semangat saya menjelaskan bahwa Tuhan akan memampukan kita untuk melewati penderitaan yang Dia ijinkan terjadi. Saya menekankan bahwa seorang Kristen harus rela menderita bagi Kristus.
Selesai menyampaikan khotbah, saya bergegas pulang. Selain sudah malam, jarak Cimone dengan Cipayung pun cukup jauh. Dari Cimone saya naik bus jurusan Senen. Namun di Jalan Gatot Subroto, Jakarta , saya turun dari bis dan meneruskan perjalanan dengan naik taksi. Sampai di Cipayung pukul 22.00, ketika taksi hendak berbelok masuk ke jalan menuju kompleks, saya menyaksikan begitu banyak mobil pemadam kebakaran parkir di pinggir jalan. Sesuatu pemandangan yang aneh bagi saya.
Perasaan saya semakin bergejolak hebat, gelisah, serta penuh tanda tanya terlebih lagi karena banyak orang di pinggir-pinggir jalan Biasanya, jika ada acara yang menyedot keramaian, akan banyak penjual makanan. Dalam keramaian itu justru tidak tampak seorang pun penjual makanan. Jika ada kebakaran, api dan asapnya tentu kelihatan dengan jelas, bahkan dari jarak yang sangat jauh sekalipun. Malam itu tidak ada peristiwa kebakaran, tetapi mobil pemadam kebakaran banyak yang stand by.
Posisi taksi yang membawa saya waktu itu masih berjarak sekitar dua kilometer dari areal kampus. Taksi terus berjalan seolah mengiringi rasa heran yang juga terus-menerus berkecamuk dalam hati saya. Mendekati kampus, saya melihat banyak orang berdiri di pinggir jalan. Jumlah mereka sangat banyak, laki-laki dan perempuan. Yang wanita umumnya memakai kerudung (jilbab). Sewaktu taksi hendak berbelok masuk kampus, naluri saya seolah melarang. Lalu dengan cepat saya perintahkan sopir taksi supaya mengambil jalan lurus, tidak belok.
Sampai di situ saya tiba-tiba merasa bahwa kerusuhan besar sedang terjadi di sekitar kampus. Saya bertambah gelisah dan khawatir mengingat istri dan anak pertama saya yang baru berusia lima bulan berada di rumah dinas, di dalam areal kampus. Saya tahu, di rumah ada adik ipar saya, namun jika terjadi kerusuhan, saya tetap tidak dapat membayangkan apa yang terjadi. Saya meminta sopir taksi mengarahkan kendaraannya menuju rumah John, teman pelayanan, jaraknya kira-kira 500 meter dari situ. Saya berencana meminjam sepeda motornya untuk membawa saya ke dalam kampus melewati jalan yang tidak ada banyak orang. Saya tentu ingin melihat situasi dan kondisi kampus, dan yang paling penting untuk menyelamatkan istri dan anak saya, bila masih sempat…
Sesampai di rumah John, saya langsung ditariknya masuk ke rumah. Dengan napas memburu dia meminta saya supaya jangan masuk kampus. “Kampus kita telah musnah terbakar!” kata John mengawali keterangannya. Lebih lanjut dia menjelaskan, beberapa waktu sebelumnya, entah dari mana datangnya, banyak sekali orang yang menyerang dan menghancurkan kampus.
Masih penuh rasa takut dia menceritakan bahwa sepeda motornya—yang sedianya saya pinjam untuk masuk ke dalam kampus—ikut juga dibakar oleh massa yang kesetanan itu. Untunglah dia bisa cepat melarikan diri dan selamat tiba di rumah. Ketika saya menanyakan tentang istri dan anak saya, dia mengatakan “tidak tahu”. Namun berkali-kali dia memohon agar saya jangan masuk kampus. “Jangan masuk kampus, Bapak bisa mati!” katanya tegas.
Rasa khawatir semakin mencekam, ingin segera tahu bagaimana nasib anak dan istri saya. Dengan rasa panik saya mencoba menghubungi Roma, staf yang membawahi satpam. Waktu saya berhasil menghubungi dia melalui handphone, ternyata dia sudah berada di luar kampus, terpisah dari anak dan istrinya. Menurut dia, rumahnyalah yang pertama terbakar karena dekat pintu masuk kampus. Dengan suara yang terdengar panik dia miminta saya agar tidak masuk kampus. “Kampus kita sudah terbakar. Saya tidak tahu di mana anak dan istri saya sampai saat ini. Doakan, Pak jangan terjadi apa-apa pada mereka,” katanya dengan nada suara tertahan-tahan, menahan rasa khawatir yang sangat besar.
Selanjutnya dia menginformasikan bahwa istri dan anak saya diselamatkan oleh seorang sopir yang dengan sigap membawa mereka menjauh dari lokasi kejadian. Roma meminta saya untuk mencari keberadaan mereka di rumah sanak keluarga. Usai mendengar informasi yang sangat melegakan ini, dengan harap-harap cemas saya menelepon ke rumah kakak saya di Jatikramat, Bekasi, Jawa Barat. Saya semakin khawatir ketika diberitahu bahwa istri dan anak saya ternyata tidak ada di sana . Sewaktu saya menjelaskan tentang kondisi kampus, tiba-tiba kakak saya memotong pembicaraan untuk memberitahu bahwa isri dan anak saya baru saja tiba. Mereka didampingi oleh seorang mahasiswa yang berasal dari Ambon . Salah seorang rekan sepelayanan kami, Mariana serta seorang anaknya yang masih kecil, turut serta “mengungsi” ke rumah kakak saya itu. Mereka terpisah dari anggota keluarga yang lain sewaktu berlari menyelamatkan diri.
Usai mengucap syukur ke hadirat Tuhan, saya minta pamit pada John dan istrinya untuk segera menemui istri dan anak saya itu. John ikut mengantar saya mencari taksi. Namun saat itu sulit sekali mencari taksi. Beberapa taksi yang memang sedang kosong malah tidak mau berhenti. Untunglah, setelah menunggu cukup lama, akhirnya ada juga taksi yang mau membawa saya.
Sepanjang perjalanan menuju Jatikramat, saya terus bertanya-tanya dalam hati mengapa hal ini terjadi. Saya jelas lebih tidak mengerti sebab tidak jauh dari kampus ada markas tentara dan perumahan tentara. Saya terus merenung mengapa kejadian ini menimpa kami. Apa salah kami? Bukankah kami juga punya hak di negara ini?. Mengapa tindakan anarkis ini mesti terjadi? Saya kemudian teringat dengan mobil-mobil pemadam kebakaran yang parkir di sepanjang jalan, tidak mampu berbuat apa-apa. Mengapa mobil-mobil itu tidak terus masuk ke dalam kampus dan memadamkan api yang menghanguskan bangunan yang ada di sana ? Tak akan ada memang yang mampu memberi jawaban atas pertanyaan saya tersebut.
Rasa lega yang tidak terperikan merembesi sekujur jiwa raga ketika saya melihat istri dan anak saya yang baru berumur 5 bulan itu selamat. Gembira, haru, penuh syukur, mengharubiru sanubari tatkala saya berkumpul kembali dengan orang-orang yang saya cintai itu. Anak saya sama sekali tidak menangis. Sepanjang malam itu dia diam saja. Mungkin dia masih kaget karena melihat kobaran api yang begitu panas dan harus dilewatinya bersama ibunya untuk menyelamatkan diri. Setelah agak tenang, istri saya menceritakan peristiwa dahsyat yang baru saja dialaminya, beberapa jam yang lalu.
XII
Tragedi Kemanusiaan Berbaju Agama
(Penuturan Ny.Mariana Hutabarat Alias Itje)
Rabu, 5 Desember 1999. Tidak ada tanda-tanda jika pada hari ini saya akan mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Saat itu kebetulan sebagian mahasiswa telah menyelesaikan ujian semester, dan sebagian dari mereka telah bersiap-siap untuk liburan. Suasana kampus yang semakin membaik selama beberapa waktu, membuat kami “melupakan” ancaman-ancaman yang kerap menghantui kami.
Suasana hati semakin teduh mengingat hari Natal telah menjelang. Semakin dekatnya hari yang penuh sukacita tersebut juga membuat semua pengalaman yang menegangkan seakan telah lewat tanpa bekas. Kami memang telah mulai menyingkirkan rasa was-was, apalagi bayangan akan adanya tragedi yang amat mengerikan itu. Apalagi penyelesaian masalah protes dalam bentuk demonstrasi di kelurahan sudah diselesaikan melalui jalur yang benar. Demikian juga Banser NU yang diperbantukan di kampus untuk menjaga keamanan kampus dari serangan-serangan, telah ditarik kembali karena kondisi dianggap telah aman.
Seperti biasa, pada hari itu kegiatan belajar-mengajar berjalan dengan lancar dari pagi hingga siang hari. Singkatnya, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan bahwa beberapa jam lagi tempat itu akan berubah menjadi lautan api yang sangat mengerikan. Sekitar pukul 15.00, setelah suami saya kembali dari kantor, dia bersiap-siap untuk berangkat ke Cimone, berkhotbah di GKJMB. Pada jam 19.00, tinggal saya dan anak kami, Theo, yang masih berusia 5 bulan di rumah dinas. Sekitar pukul 19.00 atau pukul tujuh malam, dua orang mahasiswa datang ke rumah untuk pamit liburan. Dan hal ini merupakan sesuatu yang biasa. Wajar jika setiap mahasiswa yang akan meninggalkan kampus dalam waktu yang cukup lama meminta ijin dulu kepada bapak atau ibu asrama.
Berhubung yang mereka minta adalah ijin yang untuk liburan bersama keluarga setelah selesai menunaikan ujian semester selesai, maka ijin pun saya berikan. Diberikannya ijin liburan oleh ibu asramanya, tentu saja membuat mahasiswa itu merasa senang. Mereka pantas bergembira sebab setelah hampir setengah tahun berkutat dengan kuliah yang padat dan tugas-tugas yang berat, kini hati mereka penuh dengan rencana-rencana yang menyenangkan. Waktu itu merupakan minggu terakhir ujian semester. Berarti, hari Jumat tanggal 17 Desember merupakan hari terakhir kuliah di kampus.
Setelah kedua mahasiswa itu kembali ke asrama—mungkin untuk mengemasi barang-barangnya—saya juga kembali masuk kamar. Saat itu Theo belum tidur. Saya menjaganya sembari membereskan popok yang ada dalam keranjang pakaian bayi. Selang beberapa waktu, terdengar suara ramai dan gaduh di halaman rumah. Dari kamar yang ada di lantai dua, saya melihat belasan mahasiswa lari pontang-panting karena dikejar oleh segerombolan orang yang tak saya kenal. Peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat saya kaget tidak alang-kepalang, apalagi para penyerang itu membawa senjata tajam. Para mahasiswa berusaha membela diri menggunakan apa saja yang bisa diraih seperti batu dan kayu. Namun gerombolan manusia yang menyerang ke dalam kampus kami itu jumlahnya amat-sangat banyak, jauh lebih banyak dari mahasiswa yang ada.
Karena jumlah yang tidak seimbang, terlebih penyerang banyak yang memegang senjata tajam disertai nafsu membunuh yang luar biasa, terjadilah pertarungan yang tidak seimbang. Mahasiswa tercerai-berai, berlarian kocar-kacir untuk menyelamatkan diri masing-masing. Dari dalam kamar, saya menyaksikan suatu pemandangn yang sangat memilukan hati. Penyerang-penyerang yang mengenakan pakaian khas sebagai pertanda mereka penganut suatu agama tertentu, membantai mahasiswa yang tidak sempat melarikan diri. Mereka yang merasa sebagai orang beragama, seharusnya menunjukkan kasih dan perdamaian dengan sesama manusia. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Malam itu mereka bertindak amat bengis.
Semakin tragis dan ironis lagi, sebab kejadian tersebut berlangsung bertepatan pada bulan “suci” yang berdasarkan kepercayaan mereka adalah saat yang tepat membuat kebajikan guna mendapatkan pahala yang besar dari Tuhan Allah Yang Maha Pencipta. Tetapi apakah melakukan aksi pembantaian juga disahkan oleh agama? Saya yakin tidak. Apa sesungguhnya yang ada di balik nafsu membunuh yang menguasai hati para penyerang itu? Berhubung saat itu kebetulan bulan “bertabur rahmat”, saya menduga mereka itu baru usai menunaikan ritual keagamaan di tempat-tempat ibadah.
Seseorang yang baru selesai melakukan ibadah pada Tuhan Yang Mahakasih, mestinya dipenuhi hati penuh kasih sayang. Tetapi yang saya saksikan ini bukan kumpulan manusia yang hatinya dipenuhi kasih dan kedamaian, tetapi sebaliknya nafsu jahat yang amat mengerikan, meskipun itu “dibungkus” agama.
Saya yakin, pada hakekatnya agama itu tidak memiliki unsur konflik, justru sebaliknya ia menawarkan damai sejahtera. Dan saya yakin, semua orang sependapat dengan saya. Tetapi realita yang saya lihat saat ini jauh dari apa yang pernah saya bayangkan, di mana orang-orang berbaju agama, sambil mengucapkan keagungan Yang Maha Besar, dalam waktu yang bersamaan melakukan kekejaman dan kekejian terhadap sesama manusia. Mereka mengejar, menguber, membantai manusia bagai binatang buruan. Setelah “sukses” mengenyahkan para mahasiswa dari kampus dan asramanya sendiri, gerombolan yang tampaknya “haus darah” itu menghancurkan aula kampus megah, yang hampir selesai dibangun.
Saya dapat menyaksikan semua adegan itu secara jelas. Penyerang menghancurkan kaca-kaca jendela dan pintu-pintu kelas, meja-meja dalam ruang kuliah dijungkirbalikkan. Mereka tampak marah dan beringas. Saya tidak mengerti kejahatan apa gerangan yang kami lakukan terhadap mereka sehingga harus menerima luapan kemarahan yang begitu mengerikan.
Di saat saya masih “terpesona” bercampur kaget menyaksikan kengerian yang terjadi begitu cepat itu, rumah dinas kami telah dikepung banyak orang lalu dihujani dengan batu. Dengan cepat saya menggendong Theo untuk mencari tempat berlindung dari hujan batu yang semakin deras. Dalam kekalutan, saya ke kamar belakang di lantai satu, dan bersembunyi dalam lemari pakaian. Lemari pakaian memang menjadi tempat yang aman untuk sementara guna menghindar dari hujan batu.
Hujan batu yang semakin gencar itu telah membuat saya sangat ketakutan. Perasaan saya semakin ngeri lagi ketika mulai mendengar bunyi ledakan yang berasal dari bom molotov (botol berisi minyak tanah atau bensin dan bersumbu lalu dibakar) . Untunglah, rumah dinas kami tidak menjadi sasaran bom molotov itu. Mungkin karena rumah dinas kami cukup rapat dengan rumah penduduk, maka penyerang berpikiran bahwa jika rumah kami terbakar, maka rumah penduduk juga akan ikut terbakar. Sekitar 45 menit kemudian, suasana di sekitar rumah kami mulai tenang. Dengan tetap menggendong anak, saya keluar dari lemari dan kembali masuk kamar di lantai dua yang menghadap ke jalan.
Kamar kami telah hancur berantakan karena hujan batu. Sementara di luar rumah, tepatnya lokasi asrama dan bangunan kampus, sudah berubah menjadi lautan api. Asrama mahasiswa yang memang merupakan bangunan-bangunan lama semi permanen, sangat mudah menjadi santapan empuk api yang berasal dari bom-bom molotov yang dilemparkan para penyerang. Tidak mengherankan jika dalam waktu sekejap terjadi lautan api yang sangat menggetarkan hati siapa saja yang menyaksikan kobaran api tersebut. Asrama mahasiswa telah terbakar, juga ruangan-ruangan kelas, perpustakaan, ruang panti rehabilitasi jiwa dan narkoba. Rumah doa yang terbuat dari kayu, mirip rumah manado , juga habis musnah tanpa bekas dilalap si jago merah.
Dari jendela saya melihat tiga buah mobil yang turut dibakar ketika sedang parkir di halaman asrama. Udara malam yang beberapa jam lalu sejuk, kini berubah menjadi amat panas. Saya tidak habis pikir mengapa semua ini terjadi. Tidak adakah penghormatan kepada sesama manusia, sekalipun berbeda dalam hal keyakinan atau agama? Jikapun kami kebetulan menganut agama yang berbeda dengan mereka, layakkah kami disamakan dengan hewan-hewan buruan?
Keadaan yang berlangsung sangat cepat ini membuat saya seperti terguncang. Meski sadar ini sangat mengerikan dan menyedihkan, namun saya tidak dapat menangis mungkin karena guncangan tersebut terlalu mengerikan. Saya sungguh tidak dapat mengerti mengapa semuanya ini terjadi. Dalam keadaan yang sangat mengerikan itu, yang terlintas dalam pikiran saya adalah pertanyaan-pertanyaan: “Di manakah pertolongan Tuhan? Di manakah perlindungan Tuhan? Mengapa semuanya ini harus terjadi? Di manakah kedaulatan Tuhan yang mestinya mampu menjaga anak-anaknya?”
Kampus telah menjadi api. Udara semakin panas, membakar kulit saya. Panasnya udara tampaknya juga dirasakan oleh anak saya. Panasnya udara ini juga semakin menyadarkan bahwa saya harus mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri dan anak saya dari lokasi yang telah menjadi neraka itu. Kami harus segera menjauh dari manusia-manusia yang tampaknya selalu siap membantai kami apabila berhasil ditemukan. Saya pun memutuskan untuk keluar rumah, apa pun yang terjadi!
Dengan kenekatan yang luar biasa, saya gendong anak saya tanpa kain pembungkus. Saya memang tidak sempat memikirkan hal itu karena sedang berada dalam kepanikan yang amat sangat. Saya bahkan tidak memakai alas kaki. Dengan pakaian seadanya, yaitu kaos oblong dan celana pendek, saya berlari keluar untuk mencari jalan selamat.
Beberapa meter dari rumah, saya melihat pintu khusus yang menghubungkan areal kampus dengan perumahan penduduk sedang dalam keadaan tertutup. Sejak kerusuhan Mei 1998, pintu itu memang selalu ditutup mulai jam 19.00 malam. Dari kejauhan saya melihat di balik pintu itu banyak orang berkumpul. Saya tidak tahu siapa mereka. Saya menduga, mereka itu pasti orang-orang kampung yang selama ini sudah dekat dengan kami. Berdasarkan perkiraan seperti itu saya memberanikan diri berlari menuju pintu itu. Perhitungan saya, walaupun pintu itu terkunci, toh saya bisa meminta tolong supaya mereka menyelamatkan anak saya. Sedangkan saya dapat memanjat pintu itu untuk menyelamatkan diri.
Ketika saya sedang berpikir demikian, tiba-tiba muncul seseorang yang berlari dengan cepat. Rupanya dia salah seorang staf panti rehabilitasi jiwa dan narkoba. Dengan melihat dia, harapan saya untuk selamat semakin besar. Saya yakin dia akan bersedia menolong saya, karena ia pasti mengenal saya. Harapan yang tiba-tiba muncul itu ternyata segera sirna berganti rasa khawatir yang lebih dalam lagi. Pasalnya, ketika orang itu sudah berada kira-kira lima meter dari posisi saya, tiba-tiba dia dipukul dengan benda keras seperti linggis oleh orang-orang yang berada di luar pagar, yang tadinya saya kira warga setempat. Tanpa ampun, karyawan panti rehabilitasi itu terjatuh di pintu gerbang ketika berusaha melompat keluar pagar.
Menyaksikan kejadian yang mengerikan itu, hilang pulalah hasrat saya untuk menyelamatkan diri lewat pintu itu. Secepat kilat saya berbalik untuk kembali ke rumah. Karena tidak mungkin menyerahkan diri kepada orang-orang yang berada di luar pagar itu. Bisa-bisa saya malah mengalami nasib yang sama seperti yang baru saja menimpa staf panti rehabilitasi itu.
Ketika saya berbalik untuk kembali ke rumah, dari arah belakang ada sekitar tujuh orang laki-laki bercelana pendek tanpa baju, mengenakan ikat kepala warna merah dan membawa senjata tajam berupa celurit mengejar saya. Saya berlari sekuat tenaga sambil tetap menggendong anak saya. Saya tidak peduli dengan api yang berkobar dan panas yang membara. Saya hanya mau lari untuk menyelamatkan diri dari kejaran ketujuh pria bersenjata celurit itu.
Rasanya mustahil bagi saya untuk dapat menyelamatkan diri dari mereka. Saya tidak bisa sembunyi karena kobaran api membuat suasana terang-benderang. Dalam kondisi seperti itu, adalah mustahil jika orang-orang yang tampaknya berbadan kekar dan kuat itu tidak mampu mengejarku, apalagi saya berlari sambil menggendong anak. Saya pasti tertangkap, demikian kesimpulan saya.
Namun, saya tidak mau menyerah begitu saja. Sambil berlari sekuat tenaga, saya berdoa agar Tuhan menolong. Dan, dalam kondisi seperti itu, hanya uluran tangan Tuhan sajalah yang saya harapkan yang dapat menolong saya. Entah bagaimana caranya, saya pun tidak mengerti kenapa saya bisa masuk kembali ke dalam rumah sehingga orang-orang yang tadi mengejar tidak melihat saya lagi. Ke mana perginya mereka, saya tidak tahu, yang saya tahu, saya selamat sampai di dalam rumah kembali.
Tanpa membuang waktu, saya menuju kebagian belakang rumah di mana ada taman bunga yang saya selalu pelihara dengan baik. Di belakang rumah itu ada pula tempat jemuran yang mungkin dapat menjadi tempat perlindungan sementara. Bagian belakang rumah kami memang hanya dibatasi tembok dengan rumah penduduk, namun tembok itu cukup tinggi. Bagi saya sendiri, tembok setinggi itu bukan merupakan halangan yang berat, sebab saya yakin mampu menaiki atau memanjatnya. Bersama anak saya yang masih bayi ini tentu sangat mustahil bagi saya untuk memanjatnya guna menyelamatkan diri.
Meski demikian, saya tetap memikirkan bagaimana caranya supaya dapat keluar dengan selamat bersama bayi saya dari kompleks ini. Saya menatap langit yang merah karena kobaran api dan hitam pekat karena kepulan asap. “Tuhan, di manakah pertolongan-Mu? Di manakah pertolongan-Mu, Tuhan?” saya berteriak-teriak dalam hati. Dalam kondisi seperti itu, saya masih berharap akan adanya pertolongan dari aparat keamanan. Tapi, mengapa begitu lama bantuan keamanan datang? Bukankah api yang berkobar-kobar ini dapat dilihat dari jarak yang sangat jauh sekalipun? Apalagi lokasi kami ini tidak jauh dari markas dan kompleks perumahan tentara. Tetapi mengapa tidak ada tembakan peringatan dari aparat tersebut, yang mungkin dapat membuat para penyerang yang biadab itu melarikan diri?
Saya heran, kenapa kejadian ini sudah begitu lama, namun letusan senjata tanda datangnya aparat keamanan tidak terdengar. Ke mana mereka? Atau, mungkinkah tidak ada seorang pun aparat kepolisian yang melihat kejadian yang begitu mengerikan dengan jumlah orang yang amat banyak? Rasanya mustahil. Tapi jika ada, mengapa tidak ada yang datang untuk membantu? Apakah mereka juga merasa takut karena penyerang yang datang jumlahnya sangat banyak? Saya juga tahu, tenaga keamanan kami banyak. Babinsa juga senantiasa berjaga-jaga di kampus kami. Begitu lamakah mendatangkan tenaga keamanan untuk menolong kami? Atau tidak layakkah kami sebagai warga negara mendapat perlindungan? Bukankah kami juga memiliki hak yang sama untuk dilindungi?
Beribu pertanyaan yang berseliweran di benak saya kala itu. Namun tidak satu pun yang mampu saya pecahkan. Saya hanya ingin tahu bagaimana caranya supaya dapat keluar dan selamat dari tempat yang tiba-tiba tidak lagi saya sukai ini. Saya pun sangat khawatir dengan anak saya yang tentu sangat terganggu dengan keadaan ini. Ada satu yang saya herankan, kenapa dalam kondisi yang sangat kalut itu, anak saya tersebut tidak pernah menangis, padahal ia tidak sedang tertidur. Namun saya bersyukur, sebab dengan demikian saya mudah bersembunyi.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar sirene mobil pemadam kebakaran, namun bukannya semakin dekat atau semakin keras, sebaliknya makin tak terdengar sampai akhirnya menghilang. Ada keinginan untuk keluar lagi, namun saya takut mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Jangan-jangan orang-orang yang mengejarku itu tadi muncul kembali.
Sekali lagi saya memerhatikan tembok rumah yang memisahkan saya dengan luar kompleks. Tingginya sekitar tiga meter, mustahil bagi saya untuk memanjatnya. Dan lebih tidak mungkin lagi menyelamatkan diri dengan meninggalkan anak saya. Suatu tindakan yang tak pernah terpikirkan oleh saya. Suasana semakin mencekam, apalagi hawa panas yang berasal dari luar rumah masih terasa betul sampai ke bagian belakang rumah.
Mungkin karena hawa panas yang semakin mengganggu itulah maka tiba-tiba ada keinginan saya untuk naik ke kamar di lantai dua, lalu mencoba menyeberang ke rumah warga yang hanya dibatasi tembok Dari lantai dua itu ada kemungkinan bagi saya untuk naik ke atap rumah kemudian menyeberang ke atap rumah warga yang ada di belakang rumah kami itu. Sebelum mecoba menyeberang melalui atap rumah, tampak banyak orang sedang duduk-duduk di atas tembok perbatasan rumah kami dengan rumah masyarakat di luar kampus, dan ada juga yang sedang duduk di atap rumah. Ketika melihat mereka, kembali timbul semangat baru, sebab perkiraan saya, mungkin mereka adalah calon-calon staf misi untuk Jawa Barat yang memang tinggal di samping rumah dinas kami.
Kemudian saya berteriak sekuat tenaga, “Pak…Pak…tolong saya, dan anak saya masih ada di sini!” Pada waktu saya berteriak meminta tolong dengan suara yang semakin kencang, tiba-tiba terdengar suara, “Ayo…maju, kita habiskan saja semua malam ini, jangan sampai ada yang tertinggal…”
Begitu mendengar suara yang sama sekali tidak bersahabat itu, secara refleks saya berhenti berteriak, dan kembali turun. Tampaknya memang tidak ada pilihan lain bagi kami selain harus tetap berada dalam “neraka” ini, karena orang-orang yang tadi berkata ingin menghabisi kami semua telah pula merangkak di atap menuju rumah saya. Mereka agaknya memang sungguh-sungguh hendak membunuh saya dan bayi saya, sebab mereka telah memasuki rumah kami lewat atap.
Meski masih memendam rasa takut yang luar biasa karena dikejar-kejar sejumlah laki-laki berbadan kekar dan bercelurit tadi, namun saya tetap berusaha keluar dari rumah untuk menjauh dari orang-orang yang mengikuti saya dari atap, dan mulai turun ke dalam rumah. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari mereka selain berlari keluar rumah, sambil berdoa dalam hati untuk menguatkan hati, “Apa pun yang terjadi di malam ini dengan kami, semuanya adalah kehendak-Mu, ya Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki saya mati di tempat ini, saya hanya berserah kepada-Mu…”
Sesudah keluar dari rumah, saya berlari ke arah perbatasan areal kampus dengan rawa-rawa. Sebelum rawa-rawa ada tembok yang membatasi kampus. Lahan yang ada di balik tembok yang tinggi itu adalah tanah milik orang kampung. Di seberang rawa-rawa ada tembok panti rahabilitasi, jadi tidak ada pintu keluar. Saya terpaksa menuju ke situ karena tidak ingin mengulangi pengalaman yang sama dengan sebelumnya. Di pinggir rawa-rawa itu ada pagar seng untuk menahan orang supaya tidak jatuh ke dalam rawa. Menyelamatkan diri dari melewati rawa-rawa itu juga tidak pernah terpikirkan. Selain kedalaman rawa yang tidak saya ketahui, kawasan itu masih gelap gulita karena tidak ada penerangan sedikit pun. Jadi, risiko menyelamatkan diri melalui rawa-rawa itu pun sama besar dengan naik melalui tembok.
Ketika saya sedang berlari ke arah perbatasan tembok dengan rawa, tiba-tiba ada pagar seng yang terbuka. Di sana ada sekitar 5-6 orang laki-laki sedang berdiri. Begitu melihat orang-orang itu, perasaan takut saya karena pengalaman diuber laki-laki bercelurit tadi kembali timbul. Dengan segera saya berbalik untuk melarikan diri lagi tanpa peduli siapa mereka. Namun tiba-tiba terdengar suara dari arah pagar menyerukan nama suami saya, “Bu Binsar… Bu Binsar….jangan lari, jangan takut. Maju terus, kami di sini ingin menolong Ibu…”
Mendengar mereka memanggil saya dengan sebutan “Bu Binsar”, saya sadar bahwa orang-orang ini pasti mengenal saya dengan baik. Bergegas saya berlari kembali menuju pagar seng yang membatasi rawa-rawa itu. Rupanya pagar seng itu sudah dirusak oleh mereka untuk tempat bersembunyi. Saya lebih dahulu menyerahkan anak saya kepada mereka, baru kemudian saya meloloskan diri melalui pagar seng yang telah dirusak itu.
Setelah berada di tempat persembunyian tersebut saya baru tahu rupanya mereka adalah bapak-bapak calon tenaga misi bersama beberapa tukang bangunan yang bersembunyi untuk menghindar dari kejaran orang-orang yang membumihanguskan kampus. Tidak lama berselang, Mariana dengan anak laki-lakinya keluar dari gedung pertemuan misi yang hampir selesai dibangun dan belum memiliki penerangan. Mereka keluar dari gedung misi yang gelap untuk kemudian bergabung dengan kami. Bangunan itu berada tepat di depan tempat saya bertemu dengan para penolong.
Tempat persembunyian kami itu pun makin padat. Namun bagaimanapun juga saya kini merasa sangat lega dan bersyukur sebab paling tidak telah berkumpul bersama orang-orang yang saya kenal dengan baik, dan telah menolong saya. Untuk sementara, kami dapat bersembunyi di tempat itu menunggu tibanya pertolongan. Sebab jika tidak, maka kemungkinan besar kami akan tertangkap orang-orang yang sangat mengerikan itu. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyeberangi rawa-rawa untuk menjauh dari kompleks yang telah hancur diporakporandakan manusia-manusia laknat itu.
Tukang-tukang bangunan mengambil papan yang ada di sekitar dan menaruhnya di atas rawa. Melalui jembatan darurat itu kami satu-persatu menyeberangi rawa. Suatu pekerjaan yang tidak mudah, apalagi kami tidak pernah tahu situasi dan kondisi lingkungan itu sebelumnya. Namun akhirnya, kami dapat menyeberangi rawa-rawa itu dengan selamat.
Setelah berhasil menyeberangi rawa-rawa, kami memutuskan pergi ke jalan raya, karena berada di areal terbuka tentu lebih aman. Jika berada di tempat gelap seperti saat ini bisa saja kami berjumpa dengan para perusuh, dan hal itu sangat berbahaya. Setelah kami tiba di jalan raya tidak ada angkot maupun taksi yang mau berhenti untuk membawa kami menjauh dari pusat kerusuhan yang memang hebat. Dengan berjalan kaki lebih kurang satu kilometer untuk mencari kendaraan umum, kami bertemu dengan salah seorang satpam kompleks yang juga sedang bersembunyi bersama dengan seorang mahasiswa. Satpam tersebut biasa membawa mobil yayasan karena ia juga merangkap sopir. Waktu kerusuhan pecah, ia menyembunyikan mobilnya di tempat yang gelap. Saya memintanya untuk mengambil mobil itu lalu membawa kami ke Jatikramat, Bekasi, rumah kakak saya.
Setelah mobil tiba, kami segera masuk dan segera menjauh dari tempat itu. Bersama kami waktu itu ada Puket I STTD, beserta dengan anaknya, seorang mahasiswa yang bersembunyi bersama dengan satpam itu. Sekitar jam 22.00 malam kami tiba di Jatikramat. Begitu saya tiba di rumah itu, kakak saya berteriak memberitahukan bahwa suami saya sedang menelepon mencari tahu keadaan saya dan bayi kami.
Dengan penuh cemas dan haru, saya minta suami saya untuk segera datang. Saya sungguh tidak dapat mempercayai kalau ternyata kami semua bisa selamat. Hanya, sampai saat itu saya belum tahu keberadaan adik saya yang pada malam itu lebih dahulu melarikan diri. Saya juga tidak tahu ke mana dia melarikan diri, karena waktu ada suara ribut-ribut di kampus, ia ke sana untuk mencari tahu apa sebab-musabab keributan itu. Awalnya, saya tidak terlalu memberi perhatian pada keributan yang ternyata dalam waktu singkat berubah menjadi kerusuhan besar, yang hampir saja menghabiskan jiwa saya dan anak saya. Saya cuma berharap adik saya itu dapat meloloskan diri, demikian juga saudara sepupu saya yang berada di asrama, saya berharap mereka semua selamat.
XIII
Menggugat Keadilan di DPR
Esoknya, Kamis 16 Desember 1999 menjelang pagi, Roma menelepon saya. Ia menjelaskan bahwa saat itu dia sedang berada dalam kampus bersama polisi dalam jumlah yang cukup banyak untuk mengadakan pembersihan di kampus. Saat itu orang-orang yang membumihanguskan kampus sudah tidak ada lagi, dan tidak ada seorang pun yang tertangkap karena semua telah melarikan diri.
Selanjutnya Roma menjelaskan mereka sedang berada dalam rumah kami dan menanyakan barang-barang apa yang perlu diselamatkan sebelum penjarah-penjarah datang memanfaatkan kelengahan aparat keamanan. Saat itu saya meminta agar pihak berwenang lebih mengutamakan pertolongan terhadap orang-orang yang menjadi korban kerusuhan itu. Saya sendiri memang tidak terlalu berselera memikirkan tentang barang-barang apa saja yang harus diselamatkan dari dalam rumah. Bagi saya, yang paling penting adalah menyelamatkan nyawa manusia, karena lebih berharga dibanding barang-barang yang ada di rumah. Mereka mengadakan pembersihan di kampus, sambil menolong orang-orang yang terluka dan mengevakuasi korban tewas dalam kerusuhan semalam.
Begitu tahu Roma dan sejumlah aparat kepolisian tengah melakukan penyisiran di areal kampus, saya meminta ijin untuk berangkat ke kampus membantu mereka. Namun istri saya yang tampak marah berkata, “Jangan nekat. Saya melihat sendiri betapa mengerikannya kejadian itu!” Intinya, istri saya dan juga anggota keluarga tidak mengijinkan saya pergi. Saya masih tetap berusaha membujuk dan meyakinkan mereka bahwa saya akan baik-baik saja. Lagipula saya harus menolong orang-orang yang masih dapat ditolong. Apa pun alasan saya, istri saya sulit memberi ijin. Pihak keluarga pun menyarankan agar saya pergi ke sana setelah situasi benar-benar aman.
Setelah menghibur dan menguatkan istri saya yang terguncang karena peristiwa itu, saya tetap meminta pengertiannya supaya mengijinkan saya pergi ke kampus untuk memeriksa keadaan kampus. Setelah berkali-kali menjelaskan bahwa saya akan sangat berhati-hati, akhirnya istri saya mengijinkan. Saya berpendapat, dari semua staf STT yang tinggal di kampus dan masih mampu bekerja untuk mengatur perbaikan kampus adalah saya. Itulah sebabnya saya tetap ngotot untuk berangkat ke sana.
Kira-kira jam 5 pagi, saya ke kampus dengan mahasiswa yang datang bersama rombongan istri saya semalam. Saya melihat wajah mahasiswa tersebut sangat tegang. Padahal selama ini saya tahu, dia adalah seorang pemberani, apalagi dia punya pengalaman hidup yang keras. Tetapi pagi itu saya lihat wajahnya begitu tegang. Wajar, sebab peristiwa semalam yang hampir saja merenggut jiwanya, masih membekas dalam ingatannya.
Semalam dia juga bercerita bagaimana dia berhasil meloloskan diri dari serangan orang-orang yang membawa golok dan samurai. Dia mengatakan bahwa hanya karena anugerah Tuhan-lah dia lolos. Hanya, dia sangat khawatir dengan seorang dosen bernama Zakaria yang tidak sempat melarikan diri. Menurut mahasiswa itu, Zakaria saat itu berada di dalam rumahnya untuk memberi perlindungan bagi mahasiwi yang berlarian ke rumahnya. Sebagian mahasiswi melarikan diri dengan cara nekat menerobos pagar kawat yang menghubungkan areal kampus langsung dengan rumah penduduk.
Memasuki Jalan Tugu, saya melihat mahasiswa saya itu semakin tegang. Dia duduk di bangku belakang taksi, sedangkan saya di samping sopir. Sewaktu taksi semakin mendekati kampus, dia menurunkan kepalanya supaya lebih rendah dari kaca taksi. Memasuki jalan di lokasi kampus kami masih melihat kerumunan orang banyak. Di di pinggir areal kampus terlihat pita kuning garis polisi (police line). Saya tidak tahu berapa jumlah Kamra yang menjaga police line itu bersama dengan polisi, orang-orang yang baru pulang bersembahyang rupanya berduyun-duyun ingin menyaksikan keadaan kampus yang semalam telah dibumihanguskan, tetapi mereka hanya berdiri di jalan-jalan sekitar kampus, akibatnya taksi kami harus bergerak lambat. Saya memang tidak memberitahu tujuan kami kepada sopir taksi. Saya hanya memerintahkan dia supaya terus meluncur mengikuti ruas jalan.
Karena kerumunan orang begitu banyak maka saya memutuskan untuk tidak turun dari taksi, tetapi mengarahkannya untuk menuju ke rumah seorang pengurus yayasan yang tidak berapa jauh dari kampus. Ketegangan pun mulai turun dari diri kami setelah kami berhasil melewati kerumunan orang dan mulai menjauh dari kampus. Saya tidak dapat turun memeriksa keadaan kampus karena terlalu banyak orang yang berkerumun. Sekilas saya lihat dari dalam taksi, asrama dan perpustakaan habis terbakar, demikian juga ruang perawatan korban narkoba dan jiwa, sudah luluh lantak. Dengan perasaan tak menentu saya memutuskan untuk pergi ke rumah seorang pengurus yayasan untuk mengatur rencana lebih lanjut.
Pada saat saya berada di rumah pengurus yayasan, televisi melaporkan tentang tragedi yang memilukan tersebut. Dilaporkan juga bahwa banyak mahasiswa yang berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di kantor-kantor polisi. Kemudian kami ingin semua mahasiswa yang berlindung di kantor-kantor polisi supaya berkumpul di Komdak, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Kami harus membawa semua mahasiswa yang tercerai-berai tersebut ke Komdak. Akhirnya kami membagi tugas untuk mengerjakan hal tersebut. Koordinasi dilakukan melalui HP, karena tidak mungkin berkumpul untuk rapat. Saya bersama dengan seorang staf dan seorang mahasiswa pergi ke kantor polisi di daerah Cipayung dekat Bambu Apus, Jakarta Timur untuk membawa mahasiswa yang ada di sana, karena kami mendengar sebagian mahasiswa yang tidak tahu ke mana ingin menyelamatkan diri bersembunyi di kantor polisi itu juga
Setibanya di kantor polisi, kami menjumpai cukup banyak mahasiswa, sehingga ketika kami angkut dengan mobil, harus berdesak-desakan. Di situ juga saya bertemu dengan Leni, sepupu istri saya yang selamat karena melarikan diri setelah menerobos pagar kawat. Dia kemudian pergi ke jalan raya untuk seterusnya bersama rekannya yang lain berlindung di kantor polisi.
Karena masih trauma pada kejadian malam itu, tidak ada mahasiswa yang berani ke jalan raya untuk mencari angkutan umum atau untuk mencari taksi. Akhirnya saya turun dari mobil dan memutuskan untuk berjalan cepat bersama dengan yang masih punya keberanian untuk kemudian mencari taksi dan berangkat menuju ke Komdak. Yang lainnya lebih memilih berdesakan di dalam mobil. Waktu saya keluar dari mobil, ada sebagian mahasiswa yang nasih punya keberanian berjalan dengan saya. Sedangkan yang lainnya memilih untuk berdesak-desakan padahal sebenarnya jalan yang ditempuh tidak terlalu jauh. Saya maklum, tampaknya perasaan trauma masih menguasai mereka.
Hati saya semakin sedih melihat keadaan mereka. Sebagai seorang pemimpin muncul perasaan sedih, mengapa saya tidak mampu memberikan pelindungan pada mereka. Tetapi dalam keadaan itu, saya juga sempat melihat rasa senang pada wajah mereka karena dapat berjumpa dengan saya. Mereka bahagia karena saya selamat. Ketika saya jelaskan bahwa istri dan anak saya juga selamat, mereka tampak lebih gembira lagi. Bahkan yang masih tegar sempat meminta maaf karena tidak sempat lagi memerhatikan istri dan anak saya ketika pecah kerusuhan. Mereka terus terang bahwa saat itu mereka sangat ketakutan. Kalaupun mereka selamat, itu pun mereka tidak tahu mengapa.
Akhirnya saya berhasil membawa mereka yang berada di Pos Polisi Cipayung ke Komdak. Di sana sudah banyak mahasiswa yang berkumpul, dan menyambut kami dengan gembira, terlebih saat melihat saya dalam keadaan selamat. Mendengar bahwa anak dan istri saya selamat, mereka juga sangat senang. Saya melihat banyak wartawan dari berbagai media masa dan stasiun televisi, saya juga sempat hendak diwawancarai, tetapi saya menyuruh para wartawan itu mewawancarai mahasiswa saja.
Saya berusaha menahan air mata melihat begitu banyak mahasiswa yang keadaannya lemas. Di antara mereka banyak yang belum makan. Sebenarnya banyak makanan yang dibawa oleh orang-orang yang simpati pada kami, namun mereka tidak menyentuhnya karena diminta pimpinan Yayasan untuk berpuasa. Karena tidak tega menyaksikan kondisi mereka yang ketakutan dan kelaparan itu saya menyuruh yang merasa lapar supaya makan, tapi jangan dilihat oleh orang, karena mungkin ada yang ingin berpuasa. Saya tentu tidak ingin jika orang yang memang sungguh-sungguh berpuasa membatalkan puasanya lantaran tergoda melihat teman-temannya yang makan dengan lahapnya.
Di lain pihak saya sungguh tidak mengerti kenapa mahasiswa yang masih berada dalam ketakutan dan juga lapar harus berpuasa? Saya sendiri juga yakin bahwa tidak semua pengurus yayasan berpuasa. Biasanya, di kampus pun ada acara puasa, namun staf yayasan banyak yang tidak berpuasa. Lalu, mengapa sekarang mahasiswa yang sedang membutuhkan makanan ini harus dipaksa berpuasa? Lagipula, puasa bukan suatu paksaan. Berhubung yang memberi ijin untuk makan adalah puket III, mereka pun makan dengan senang hati, karena umumnya mereka memang sudah lapar.
Ketika pengurus yayasan tahu bahwa mahasiswa yang berkumpul di Komdak tidak berpuasa, ketua yayasan yang juga merangkap sebagai ketua STT memanggil saya untuk berbicara berdua. Kepada beliau saya kemukakan, bahwa saya bukan ingin menentang keputusan yayasan yang memerintahkan mahasiswa berpuasa. Tetapi saya tidak tega melihat mahasiwa-mahasiswa itu kelaparan. Cukuplah penderitaan, trauma yang mereka alami, jangan ditambah lagi dengan beban menahan lapar. Jika mereka mampu dan dengan senang hati melakukannya (puasa), maka saya juga tidak akan melarangnya. Sebaiknya puasa itu diperintahkan bagi staf yang berada di luar kampus, yang tidak mengalami penderitaan seperti kami.
Memang kami sering berbeda pendapat. Dan dalam perdebatan teologis, saya tidak akan menerima jika pandangan itu saya anggap salah. Namun bagi saya, perbedaan adalah hal biasa dan tidak perlu dianggap sebagai suatu perlawanan, apalagi menimbulkan konflik yang tidak perlu. Saya juga mengerti, musibah yang menimpa kami ini sangat berat baginya selaku ketua yayasan. Situasi yang kurang memungkinkan pada saat itulah yang menyuruh saya memberi ijin “berbuka puasa”, tanpa berdialog dulu dengan ketua yayasan.
Pengurus yayasan cukup lama berdiskusi dengan pejabat di Komdak. Andre, adik istri saya yang selama ini tinggal bersama kami, belum kami ketahui keberadaannya. Ketika istri saya menelepon untuk menanyakan hal ini, saya katakan bahwa Andre akan segera ditemukan, karena semua mahasiswa yang selamat sudah diperintahkan untuk berkumpul di Komdak. Dan dugaan saya benar, sebab tidak lama kemudian, Andre muncul di Komdak. Melihat saya, dia langsung menangis dan menanyakan bagaimana keadaan kakaknya (istri saya) dan Theo, anak kami. Dia pun merasa tenang setelah saya beritahu bahwa mereka baik-baik saja.
Andre mengisahkan, ketika aksi penyerangan mulai, ia sedang tidur di kamar di lantai dua. Saat mendengar suara ribut-ribut di asrama, ia terbangun. Dia menduga ada satpam yang berkelahi, karena malam itu satpam sedang menjalani latihan. Ketika dia turun dia melihat orang banyak menyerang kampus kami, dan satpam yang banyak itu tak mampu menahan. Para satpam pun berlari kocar-kacir menyelamatkan diri. Saat itu dia juga melihat massa sudah mendekati rumah kami. Berhubung dia sudah berada di luar rumah, secara refleks dia berlari menjauh dari rumah, masuk ke rawa-rawa untuk kemudian menyelamatkan diri dengan bersembunyi di rumah kos. Dia melarikan diri melalui rawa-rawa bersama para satpam. Saat itu dia tidak sempat memberitahu adanya bahaya mendadak itu pada kakaknya yang sedang menidurkan Theo. “Kami berhasil menyelamatkan diri, namun tidak berani mendekati kampus karena di mana-mana ada orang yang siap menyerang kami, jumlahnya sangat banyak, dan umumnya mengenakan pakaian khas menandakan mereka sebagai penganut agama tertentu. Sambil meneriakkan pujian atas kebesaran Tuhan, mereka menyerang kami,” demikian kisah Andre.
Rapat pengurus yayasan di Komdak belum selesai. Dari mahasiswa yang sempat pergi ke Gedung MPR/DPR Senayan, saya mendengar di sana sudah digelar demonstrasi besar-besaran mengutuk aksi penyerangan yang memang tidak berperi kemanusiaan itu. Hampir semua lembaga Kristen turut ambil bagian dalam aksi demo itu. Berhubung banyak mahasiswa yang ingin bergabung dengan para pendemo itu, saya mengatakan agar pergi ke sana sebagian-sebagian, karena kita dilarang pergi secara bersama.
Akhirnya kami ke Gedung DPR/MPR. Benar, di sana sudah banyak massa. Kami pun ikut bergabung dengan mereka. Teman teman dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang sudah terlatih melakukan demo, memimpin aksi itu. Akhirnya anggota DPR mau juga menerima rombongan untuk mendengar pengaduan kami sebagai warga bangsa yang seharusnya dilindungi hak-haknya. Kepada mahasiswa yang mengadukan penyerangan itu, DPR mengatakan “akan mengusutnya”.
Memang ada banyak keanehan dalam tubuh bangsa ini. Tindakan anarkis dengan “legitimasi” agama sangat sulit diselesaikan. Buktinya, sudah terlalu banyak gereja yang dihancurkan. Bahkan bukan rahasia umum lagi jika Indonesia telah “meraih juara pertama” dalam hal pembakaran gedung gereja. Kami bukan cengeng menghadapi penderitaan tersebut, tetapi kami tahu bahwa kewajiban negara, khususnya pemerintah untuk melindungi setiap warga negara. Karena itu, jika kami datang ke DPR, sebenarnya kami ingin memberitahukan bahwa peristiwa yang menimpa kami adalah kesalahan pemerintah. Dan pemerintah wajib bertanggung jawab untuk semua yang telah terjadi.
Kemudian dilaporkan akan ada pertemuan pengurus yayasan dengan anggota DPR. Ketua Yayasan juga sudah hadir. Saya mengumpulkan mahasiswa yang berbadan tegap untuk membuat pagar betis bersama saya menjaga Ketua Yayasan, sehingga ia dengan bebas melakukan tugasnya tanpa mendapat gangguan yang berarti dari wartawan-wartawan yang ingin mewawancarainya Di samping itu, kami merasa perlu berjaga-jaga dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang beritikad tidak baik pada Ketua Yayasan.
Setelah pertemuan, seorang anggota DPR juga ikut menyampaikan orasi mengutuk tindakan tersebut. Tetapi jika itu hanya sekadar kata-kata, apalah artinya. Pemikiran saya ini beralasan, karena sebelumnya ada seorang anggota DPR yang mengatakan bahwa dalam menghadapi musibah ini, “kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Saya tidak mengerti cerdiknya di mana dan tulusnya di mana? Persoalan yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan. Sampai di situ saya cuma berguman dalam hati, “Yah, kekuasaan memang nikmat. Dan karena nikmatnya (kekuasaan), ayat-ayat dalam firman Tuhan pun dapat dipermainkan untuk mempertahankan kekuasaan itu.” Di tengah keprihatinan, saya masih berharap, mudah-mudahan suatu saat orang itu mengerti apa arti kata-katanya, dan menjadi pejuang rakyat bagi kemuliaan Tuhan.
Setelah demonstrasi selesai, kami berkumpul di gedung rakyat itu. Ketua Yayasan meminta semua mahasiswa kembali ke kampus, jika tidak maka kampus akan disegel, dan kita tidak lagi memiliki tempat untuk melayani. Ketika saya menyampaikan instruksi Ketua Yayasan tersebut, ketua senat mahasiswa tidak setuju. Alasannya, mahasiswa sudah cukup menderita, dan masih trauma untuk kembali ke tempat itu. Namun Ketua Yayasan tetap bersikukuh agar semua mahasiswa kembali ke kampus. Akhirnya saya mengatakan pada mahasiswa bahwa malam ini saya akan ada bersama mereka di kampus.
Mendengar itu, sebagian mahasiswa yang masih punyai keberanian mengatakan kesediaannya. Kami juga mengijinkan mahasiwa yang masih takut untuk tidak kembali ke kampus. Saya dan mahasiswa yang masih berani akan tidur di kampus pada malam ini. Saya tidak dapat lagi memberitahu perkembangan ini pada istri saya, karena HP saya mati, kehabiasan batere. Saya sadar, keputusan saya ini tidak akan menyenangkan bagi istri saya. Namun, ini merupakan tanggung jawab yang harus saya pikul.
Kami kembali ke kampus naik bus yang telah disediakan. Sesampai di kampus sekitar jam 19.00, saya melihat ratusan polisi berjaga-jaga. Saya juga melihat beberapa staf yayasan yang juga membenahi dan mengatur bantuan atau sumbangan yang berdatangan dari berbagai pihak yang bersimpati pada nasib kami. Saya tidak terlalu memikirkan hal itu, karena badan saya sangat lelah, kurang tidur. Apalagi saya terus memikirkan kondisi istri dan anak. Di sisi lain, saya harus mengkoordinir penjagaan kalau-kalau ada serangan kembali.
Saya juga bertemu dengan orang-orang yang bertanggung jawab mengamankan kampus. Umumnya mereka selamat. Dari mereka saya mendengar ada seorang mahasiswa yang tewas akibat serangan massa itu. Saya belum sempat melihat jasad mahasiswa bernama Sariman itu karena sudah dibawa ke rumah sakit untuk divisum. Setalah divisum, jenazah Sariman dibawa ke kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah, supaya dikebumikan keluarganya.
Berdasarkan kesaksian teman-temanya, sebenarnya Sariman sudah keluar dari lokasi asrama dan selamat. Namun, karena ia ingat ada teman yang harus ia selamatkan, ia kembali masuk ke dalam kampus dan akhirnya tertangkap. Ada mahasiwa yang melihat dia tertangkap, namun tak kuasa menolong. Selanjutnya, ia dibacok oleh penyerang. Paginya, mayatnya ditemukan dalam keadaan usus terburai. Sadis dan biadab pelakunya!
Ada beberapa mahasiswa yang selamat karena nekat masuk ke dalam parit-parit, lalu pura-pura mati. Bahkan ketika badan mereka diinjak oleh penyerang, mereka tetap tak bergerak sampai akhirnya polisi datang menyelamatkan mereka. Salah seorang mahasiswa bernama Dominggus Kenjam asal Soe, Nusa Tenggara Timur (NTT) , dibacok lehernya kemudian dibuang ke parit. Penyerang menyangka dia sudah mati. Paginya, polisi menemukan dia dan dibawa ke rumah sakit. Puji Tuhan, nyawanya terselamatkan. Yang selamat kebanyakan melarikan diri melalui pagar kawat di belakang asrama yang dekat dengan rumah penduduk.
Para korban luka, awalnya dibawa ke Rumah Sakit (RS) Asrama Haji Pondokgede, Jakarta Timur. Namun guna memudahkan koordinasi, semuanya dipindahkan ke RS Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang, Jakarta Timur. Saya berencana akan mengujungi mereka semua besok, karena malam ini saya harus menjaga kampus bersama dengan mahasiswa yang masih berani, dengan ratusan polisi.
Penjagaan memang tidak berat karena ada banyak polisi, ditambah sejumlah kamra, sehingga saya dapat sedikit tenang. Waktu saya keluar kampus untuk melihat-lihat keadaan, saya heran semua orang yang melintas dekat saya tampak ketakutan, dan bergegas pergi. Demikian juga pengendara motor, tidak berani mendekat ke arah saya. Ketika “keganjilan” itu saya cari tahu penyebabnya, ada informasi bahwa banyak anak muda kampung tersebut melarikan diri karena takut adanya serangan balasan dari kami.
Ada isu yang tersebar bahwa orang-orang yang simpati pada kami merasa marah, dan akan melakukan pembalasan terhadap masyarakat sekitar. Hal itu memang beralasan karena penyerang-penyerang tersebut banyak yang bersembunyi di rumah penduduk sebelum mengatur penyerangan. Saya tidak tahu apa alasannya sehingga ada penduduk yang menampung mereka, padahal hubungan kami dengan mereka baik-baik saja. Ketua RT juga pada waktu itu membantu pembersihan kampus. Sebagian warga menampung penyerang kampus kami secara diam-diam. Memang penyerangan itu begitu rapih, dan serangan-serangan yang ditujukan kepada orang yang menjadi sasaran korbannya juga begitu rapih. Umumnya korban yang luka terkena pukulan pada bagian kepala, bagian yang memang mematikan. Hanya, banyak keajaiban yang membuat mereka selamat.
Isu akan adanya serangan balasan dari pihak kami jelas tidak beralasan. Untuk apa kami menyerang penduduk kampung yang tak bersalah? Lagi pula kami percaya bahwa mereka menampung penyerang tersebut karena mendapat tekanan. Tetapi yang jelas, kami tidak pernah punya keinginan membalas dendam. Kami cuma ingin kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum. Karena itu kami ke Komdak, kemudian ke Gedung DPR/MPR, supaya mereka tahu bahwa wajah bangsa ini sedang carut-marut. Semoga Tuhan menggerakkan para pejabat negara, aparat negara untuk menjalankan tugas dengan baik dalam menegakkan keadilan untuk terciptanya proteksi (perlindungan) atas hak-hak asasi manusia (HAM).
Malam itu, sempat terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan namun dapat diatasi dengan baik. Seorang mantan mahasiswa yang dikeluarkan dari kampus (dipecat/drop out), datang mengunjungi kami. Tidak ada prasangka apa-apa atas kehadirannya. Bahkan kami merasa bersyukur jika ada yang menghibur dan menguatkan kami. Ketika hendak pulang, mantan mahasiswa tersebut agaknya membuat masalah di kampung yang berdekatan dengan kampus. Sejumlah warga berusaha mengejar dia. Merasa terdesak dan ketakutan, dia berlari kembali masuk kampus. Warga yang mengejar tidak berani masuk ke dalam kampus. Ada-ada saja. Dalam keadaan seperti ini masih ada saja orang yang mencari kesempatan membuat provokasi.
Bagian XIV
Korban Kerusuhan 15 Desember 1999
Besok paginya tanggal 17 Desember, saya baru dapat melihat lokasi dengan baik. Rumah dinas kami sudah berantakan. Pecahan kaca berserakan. Tapi rumah kami tidak terbakar karena berdekatan dengan rumah penduduk. Penyerang mungkin berpikir, jika rumah kami, dibakar, rumah-rumah penduduk juga akan terbakar. Rumah kami dilindungi oleh rumah penduduk. Barang-barang berharga kami hancur dan hilang.
Asrama mahasiswa sudah rata dengan tanah, demikian juga rumah doa, serta panti rehabilitasi korban narkoba. Saya mulai mendata mahasiswa dengan menghubungi ketua-ketua kamar dan ketua-ketua kelas. Pendataan harus saya lakukan dengan teliti karena media cetak dan televisi melaporkan banyak mahasiswa yang hilang. Memang tidak mudah mendata, karena sebagian mahasiswa sedang libur. Meski demikian, akhirnya dengan susah payah saya berhasil mendata. Ternyata, memang ada mahasiswa yang sempat diculik penyerang, namun semuanya dapat ditemukan kembali dengan selamat.
Salah seorang mahasiswi yang sempat dibawa penyerang dengan mobil menceritakan, dia diinterogasi oleh penculiknya. Namun ia menyembunyikan identitasnya karena takut diperkosa. Setelah yakin bahwa korbannya “bukan Kristen”, penculik menurunkannya di daerah Cawang, Jakarta Timur. Atas kejadian ini dia minta maaf. “Maaf Pak, saat diinterogasi, saya terpaksa mengaku bukan orang Kristen, karena saya takut sekali,” ulangnya mengingat peristiwa yang mencekam itu. Saya mengerti dengan alasannya itu. Memang kondisi saat itu pasti sangat sulit baginya. Jika dia berterus terang, kemungkinan dia akan mengalami pelecehan. Saya menghiburnya, namun juga menganjurkan dia memohon ampun pada Tuhan.
Setelah berhasil mendata semua mahasiswa, saya melaporkan kepada pengurus yayasan bahwa tidak ada seorang pun mahasiswa yang hilang. Selanjutnya saya pergi ke RS UKI mengunjungi mahasiswa yang luka. Saya tidak habis pikir, bagaimana penyerang itu demikian tega melukai para wanita pada bagian kepala memukul dengan benda keras.
Korban paling parah adalah Dominggus Kenjam, karena lehernya hampir putus. Banyak orang yang mengunjunginya. Kondisinya sempat mengkhawatirkan. Saya meminta dia dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih baik supaya penanganannya lebih intensif. Di samping itu dia perlu dihindarkan dari orang-orang banyak supaya bisa beristirahat dengan tenang dan baik. Banyak orang yang simpati dan memberi bantuan berupa makanan, pakain dan sebagainya. Memang, banyak mahasiswa yang tidak membawa pakaian saat melarikan diri dari kampus. Lagi pula, dapat dipastikan seluruh harta benda mereka telah musnah dimakan api.
Setelah melihat semuanya saya kembali ke kampus. Di sana saya bertemu dengan istri saya yang sudah mulai berani datang ke kampus dan ingin membawa barang-barang yang masih bisa dibawa. Kemudian saya juga bertemu dengan Zakaria yang terluka pada bagian kepala. Dia bercerita bagaimana ia digiring ke tengah lapang bersama dengan keluarga dan beberapa mahasiswi yang sempat bersembunyi di rumahnya. Ia telah memohon supaya para wanita itu tidak disakiti, tetapi penyerang itu tetap memukuli mereka dengan benda-benda keras. Ia sendiri bahkan sempat terkena sabetan parang, untung tidak sampai kena bagian tubuh yang fatal.
Bantuan materi dari simpatisan tidak terlalu menghibur saya, jika teringat korban luka dan tewas. Bukannya saya kurang menghormati pemberian itu, tetapi kesedihan itu begitu mendalam. Setelah “menginap” semalam di lokasi, malam-malam selanjutnya saya sementara menginap di rumah keluarga dan pagi harinya kembali ke kampus untuk mengatur perbaikan. Dari kampus berangkat ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan mahasiswa yang sakit, dan juga menolong mahasiswa yang sedang butuh makanan, pakaian, dan sebagainya. Ucapan simpati terus berdatangan. Barang-barang sumbangan sangat banyak sehingga harus dititipkan di gereja dekat kampus karena tidak ada ruangan lagi yang dapat dipakai untuk menyimpan.
Bagian XV
Pertemuan dengan Lembaga Kristen di UKI
Meresponi kejadian tersebut, Pembantu Rektor (Purek) III UKI mengadakan pertemuan di kampus UKI dengan mengundang lembaga-lembaga Kristen yang ada di Jakarta . Saya diminta mewakili lembaga untuk menghadiri pertemuan tersebut dengan dua orang mahasiswa. Pertemuan tersebut dibuka dengan doa dan kemudian dilanjutkan dengan penyampaian Firman Tuhan, setelah itu diadakan dialog menanggapi kejadian tersebut. Saya tidak terlalu memerhatikam apa yang dikatakan peserta yang hadir, karena perasaan saya masih terus berkecamuk. Mengapa? Karena sudah hampir satu minggu kejadian, namun tidak ada seorang pun penyerang yang tertangkap polisi, padahal penyerang begitu banyak.
Di tengah pertemuan tersebut tiba-tiba saya tersentak karena ada seorang yang mewakili sebuah lembaga pendidikan Kristen mengatakan, ada baiknya kami selaku korban “memeriksa diri”, mungkin ada kesalahan dalam cara-cara menginjili. Saya kemudian meminta kesempatan untuk menanggapi. Saya menjelaskan, bahwa pada prinsipnya, kami mengerti bahwa orang menjadi Kristen adalah karena anugerah Tuhan Karena itu, bujukan apalagi pemaksaan supaya seseorang menjadi Kristen adalah sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan kristiani.
“Taruhlah kami memang punya kesalahan dalam kehadiran kami, karena semua orang juga akan mengalami benturan dalam pergaulan di masyarakat. Tetapi, layakkah kita mencari sebab-sebab terjadinya kerusuhan tersebut dengan berusaha mencari pembenaran? Saya pikir, secara sederhana, semua orang akan tahu, bahwa yang terjadi saat ini adalah tindakan yang tidak bermoral dan ditentang oleh semua orang yang menyatakan diri beragama. Jadi, saya hanya mengingatkan untuk mempertimbangkan pendapat tersebut. Bukan berarti kami tidak ingin mengintrospeksi diri, namun yang menjadi pertanyaan, layakkah mencari tema lain dari pembicaran hari ini selain memfokuskan pada pertanyaan mengapa peristiwa biadab ini tejadi?” demikian saya menanggapi “tuduhan” dari salah seorang wakil lembaga pendidikan Kristen tersebut.
Tentang tidak adanya satu pun pelaku penyerangan yang tertangkap aparat, semua hadirin mengungkapkan rasa herannya. Memang ada orang yang dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, namun kemudian dilepas lagi. Saya tidak mengerti, dia dilepaskan karena desakan pendemo di DPR oleh orang-orang yang tidak suka dengan kehadiran kami atau memang betul-betul orang itu tidak bersalah? Jika hanya karena desakan segelintir orang yang tidak punya alasan kuat hukum harus ditelantarkan, ironis sekali, mengapa kita masih berani menyebut Indonesia ini negara hukum?
Dalam pertemuan tersebut ada yang mengatakan bahwa tidak adanya orang yang tertangkap dalam kerusuhan besar tersebut, hal ini juga merupakan kesalahan lembaga-lembaga Kristen yang tidak berusaha melatih orang untuk menangkap pelaku perusuh satu atau dua orang sebagi bukti. Atau paling tidak mampu mengabadikan kejadian tersebut secara diam-diam sehingga dengan demikian pelakunya dapat ditangkap. Kejadian seperti ini bukan yang pertama di negeri ini. Sudah terlalu banyak tempat ibadah umat Kristen yang dihancurkan, namun tidak ada seorang pun pelaku yang tertangkap. Padahal dalam kerusuhan tersebut tidak jarang ada manusia yang tewas.
Pandangan tersebut rupanya menggugah peserta yang hadir, kemudian diusulkan untuk dibuat lembaga Kristen baru untuk dapat mencegah atau mengatasi kerusuhan-kerusuhan seperti itu yang mungkin akan terjadi lagi. Memang ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, karena pada waktu itu wadah kebersamaan umat Kristen di Jakarta sudah ada lima lembaga. Jadi, untuk apa dibentuk lagi? Lebih baik memberdayakan yang ada. Sebagian mengatakan, bahwa kita memang perlu membentuknya untuk dapat mencegah kerusuhan seperti ini terjadi.
Dan rapat itu ditutup setelah diputuskan siapa saja yang akan menjadi tim perancang lembaga baru itu. Saya juga termasuk di dalamnya, meski belum punya waktu untuk mengerjakannya. Namun paling tidak, saya mendengar keprihatinan dari sesama orang percaya. Itu pun sudah cukup menghibur.
Bagian XVI
Loyalitas, Mengapa harus Diformalkan?
Tanggal 22 Desember kami mendapat berita bahwa yayasan meminta semua anggota yayasan menandatangani surat loyalitas. Untuk itu kami diminta membahas keputusan tersebut. Dalam rapat STT, saya mengusulkan hal itu tidak perlu dilakukan. Bukankah kita semua mengalami kesusahan tersebut dan untuk apa penandatanganan selembar surat pernyataan loyalitas kepada lembaga. Mengapa loyalitas harus diformalkan? Tidak cukupkah bukti-bukti perjuangan kita di tempat ini? Taruhlah surat itu memang diperlukan, tetapi mengapa harus melibatkan kami? Mungkinkah kami dianggap sumber kerusuhan? Tidak mungkin!
Usulan saya tidak mendapat perhatian. Para staf yang tidak mengalami kesulitan sewaktu penyerbuan karena berada di luar asrama, dengan bersemangat menyetujui hal tersebut. Saya tidak mengerti mengapa kami harus melakukan hal itu. Pimpinan STT yang berada dalam asrama umumnya tidak hadir, karena kembali ke tempat mereka sementara. Dan saya sebagai puket III yang memang berhubungan langsung dengan mahasiswa harus senantiasa hadir.
Besoknya diadakan ibadah bersama. Setelah ibadah diberitahukan kepada semua yang hadir bahwa setiap staf harus menandatangani surat loyalitas. Waktu itu saya merasa dipaksa dan saya heran mengapa kami yang sudah susah harus dipersulit dengan hal tersebut. Mereka sendiri tidak pernah memikirkan tentang keadaan kami dan kami harus berusaha sendiri. Dan saya juga telah menjaga kampus satu malam setelah kerusuhan untuk menghindari penyegelan polisi, tetapi hari ini saya serasa ditekan untuk menandatanganinya, padahal mereka semua tahu apa yang saya telah kerjakan. Kemudian saya menanyakan apa risikonya apabila ada yang tidak setuju dengan penandatanganan tersebut. Dengan nada keras, Ketua Yayasan mengatakan, “Orang itu harus mengundurkan diri!”
Saya kesal sekali, namun masih dapat menahan emosi. Kemudian saya mendengar ia mengatakan bahwa penyerangan ini terjadi karena kesalahan saya. Karena saya tidak mampu menjaga keamanan di asrama. Saya semakin marah, namun saya berusaha untuk tetap mengendalikan diri. Dengan tenang saya berdiri, saya katakan bahwa saya tidak bersedia untuk menandatangaini surat tersebut, walaupun dengan risiko saya harus keluar.
Tampaknya Ketua Yayasan marah atas pendirian saya. Namun saya tetap bersikeras dengan pandangan saya. Dan saya memang tidak ingin sikap otoriter selalu diperagakan. Saya juga mengerti, mungkin kekalutan sedang menguasai ketua yayasan kami. Tetapi saya juga sedang diliputi perasaan sedih, dan tidak mungkin lagi ditambah dengan persoalan baru. Karena saya tetap bersikukuh tidak bersedia menandatangani surat loyalitas, maka saya pun menyatakan keluar dari yayasan.
Keputusan tersebut memang mencengangkan banyak orang. Saya juga tahu bahwa istri saya pasti akan marah. Bagaimana tidak? Rumah kami dirusak, barang-barang kami dijarah orang dan sekarang saya menumpang di rumah kakak. Untuk menyewa rumah, kami akan dapat uang dari mana? Tapi saya tidak perduli. Saya percaya, semuanya itu berada dalam kedaulatan Allah.
Di sisi lain, mungkin banyak orang mengatakan saya bodoh. Bayangkan, banyak sumbangan diberikan pada kami, dan saya tidak bersabar untuk mendapat bagian dari sumbangan tersebut. Tetapi saya berpikir, seorang mahasiswa telah mati, dan saya tidak ingin menikmati kesenangan dari kejadian tragis tersebut. Saya butuh waktu untuk merenungkan semuanya. Masalah bantuan, itu urusan orang yang ingin membantu dan Tuhan. Saya juga berpikir, jika kami harus berbeda pandangan di tengah situasi yang sulit, hal itu juga tidak baik. Akhirnya setelah acara pertemuan, saya menghampiri ketua yayasan untuk menyalaminya. Saya mengatakan, “Memang kita berbeda. Lebih baik kita berpisah supaya saya jangan mengganggu pekerjaan Bapak. Dan saya juga dapat melakukan pekerjaan pelayanan saya dengan baik.” Dan hari itu saya memutuskan keluar dari yayasan sekaligus STT.
Karena pernyataan kewajiban penandatangan surat loyalitas kepada yayasan diutarakan di muka umum dalam pertemuan seluruh staf dan mahasiswa, demikian juga pernyataan ketidaksetujuan untuk menandatangani surat terbut juga di muka umum, maka hal itu menimbulkan kebingungan bagi sebagian mahasiswa, karena memang banyak orang tidak bisa menerima, khusunya mahasiswa jika saya harus mengundurkan diri, hanya karena penandatanganan surat loyalitas. Setelah saya menyalami ketua STT yang juga adalah ketua yayasan, beberapa mahasiswa tingkat akhir menghampiri dan meminta saya hadir dalam pertemuan yang akan mereka adakan di tempat kos mahasiswa tingkat akhir yang berada di luar kampus.
Dengan tegas saya mengatakan bahwa keputusan ini saya buat tanpa ada motif apa pun. Saya berpendirian, bagaimana mungkin surat itu begitu penting dibandingkan bukti yang kami telah kerjakan? Jadi, saya menjelaskan kepada mahasiswa yang berkumpul untuk mendengar tanggapan saya. Bahwa apa yang saya lakukan tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal lain. Saat ini kita sedang disorot oleh semua media massa , jadi jangan ada tindakan yang merugikan kepentingan bersama. Walaupun mereka tidak menerima alasan saya, namun mereka mengerti kesedihan saya, sehingga mereka tidak lagi berani bertanya.
Bagian XVII
Waktu Tenang
Setelah pengunduran diri tersebut, saya memutuskan untuk mengambil waktu tenang untuk merenungkan semua yang terjadi. Setidaknya saya percaya ada maksud Tuhan untuk kami. Kejadian pastilah atas ijin Tuhan. Jika ada sesuatu yang terjadi di Bumi ini pastilah berada dalam ijin Tuhan yang berdaulat, namun tidak berarti Tuhan menyetujui tindakan anarkis. Tindakan tersebut merupakan sesuatu yang melawan Tuhan, namun manusia dalam kebebasannya diijinkan untuk melakukan apa yang dia inginkan, walaupun suatu saat akan masuk dalam penghakiman.
Pada hari pengunduran diri itu sebenarnya saya telah berjanji untuk menyampakan orasi dalam demo di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat bersama Romo Muji Sutrisno, rohaniwan Katolik, atas undangan Persekutuan Mahasiswa Kristen Jakarta, dalam rangka menggugah pemerintah untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan tragedi kemanusian yang telah terjadi pada tanggal 15 Desember di kampus saya. Namun, kesedihan masih menguasai batin saya. Apalagi, sebelum meninggalkan tugas saya harus menangani keadaan kampus yang belum juga selesai, secara khusus membawa mahasiswa untuk dapat berkuliah kembali.
Atas pertimbangan itu, maka saya menolak untuk menyampaikan orasi. Ada mahasiswa Kristen dari salah satu universitas menyesalkan keputusan saya membatalkan niat tampil dalam orasi itu. “Sayang sekali Pak, padahal ini kesempatan bagi Bapak untuk dikenal.” Saya tidak terlalu menanggapinya. Saya melihat kekecewaan mendalam pada wajah-wajah mahasiswa yang mengundang saya. Namun mereka mengerti bahwa posisi saya saat itu tidak mudah, terlebih karena baru saja menyatakan mengundurkan diri dari yayasan dan kampus.
Demikian juga waktu Pdt. Rudi Gunawan dosen Institut Reformed Injili mengatakan bahwa saya sebagai mahasiswa Institut Reformed Injili diminta bersaksi tentang peristiwa tersebut pada kebaktian umum, di Gedung Granada, di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) atas permintaan Pdt.Dr. Stephen Tong, pimpinan GRII, saya juga menolak, walaupun pada mulanya saya menyatakan setuju. Saya merasa memerlukan waktu untuk berdiam diri, maka saya menolak bersaksi untuk sementara waktu. Saya tahu, niat mereka baik, sebab mereka merasa terbeban untuk membantu saya meringankan beban akibat kerusuhan. Namun sekali lagi saya memang ingin menarik diri dalam rangka introspeksi diri.
Bagian XVIII
Agama dan Kekerasan
Umumnya semua orang percaya bahwa agama dalam dirinya tidak memiliki unsur konflik. Dalam sejarah memang tidak ada satu agama pun di dunia ini yang tidak pernah terlibat konflik. Namun pada waktu kita mengamati konflik antaragama tersebut di situ ada unsur lain yang menunggangi, apalagi agama-agama memang merupakan hal yang amat kuat untuk memberikan pengesahan atas semua tindakan manusia yang salah untuk mendapatkan pembenaran. Jadi dalam kerusuhan antaragama, biasanya ada unsur lain seperti ekonomi dan politik.
Agama yang memiliki semangat misi yang tinggi umumnya sering kali menimbulkan konflik ketika bertemu dengan agama yang memiliki semangat sama, namun tidak berarti semangat misi yang ada di dalam agama itu salah. Tetapi sering kali pendekatan-pendekatan yang dilakukan menimbulkan persoalan yang menyebabkan terjadinya konflik, belum lagi perang antaragama pada masa lampau menimbulkan kecurigaan antarpemeluk agama. Akibatnya, suatu masalah kecil saja dalam perjumpaan agama dapat menimbulkan konflik yang dapat membawa korban jiwa.
Keadaan itu lebih diperparah, karena pemahaman penganut agama-agama yang pernah mengalami konflik tersebut ternyata amat dangkal sehingga mudah sekali untuk menumbuhkan perasaan benci yang sebenarnya sudah harus dikubur sejak lama. Kurangnya pemahaman agama yang baik karena pendidikan yang terpuruk di Indonesia , belum lagi mudahnya membangkitkan perasaan curiga dan kebencian, membuat konflik agama menjadi sesuatu yang mudah tersulut. Ditambah lagi kehidupan beragama di Indonesia masih baru menyentuh tataran seremonial. Artinya orang sudah cukup merasa menjadi orang yang beragama apabila merasa telah melakukan aktivitas ibadah yang tinggi, padahal, implementasi dalam kehidupan nyata kurang diperhatikan. Apalagi kehadiran umat dalam beribadah sering kali mampu mengumpulkan dana yang cukup besar dan sering kali membuat pemimpin agama cukup puas dengan apa yang dia dapat. Parahnya kalau tuntutan untuk mendapatkan dana yang besar menjadi lebih utama dari pada kehidupan iman umatnya, maka hubungan antarumat beragama akan terabaikan. Akibatnya menimbulkan kecurigaan antarumat beragama, apalagi keberhasilan penyebaran agama sering kali diidentikkan dengan kepemilikan gedung-gedung yang megah.
Budaya Indonesia yang selalu mengultuskan individu di atas isi agama merupakan sesuatu yang membuat kekerasan atas nama agama menjadi sesuatu yang sering terjadi. Bagaimanapun hebatnya suatu pribadi, ia tidak dapat menjadikan dirinya sebagai kebenaran. Dan apa pun yang dia nyatakan atau perbuat, tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang absolut benar. Tetapi realitanya, sering kali pengaruh indoktrinasi dari orang yang berkharisma membuat manusia beragama bukan lagi berpegang pada isi agama, tetapi sebaliknya “menuhankan” (menganggap Tuhan) pemimpinnya.
Suara pemimpin menjadi suara Tuhan, akibatnya kelemahan yang pasti melekat pada manusia walaupun namanya pemimpin, menjadi sesuatu yang berakibat fatal. Karena kesalahan dan kelemahan pemimpinpun dianggap suatu kebenaran, pada waktu sang pemimpin ditunggangi kebutuhan ekonomi maupun keinginan untuk berkuasa, maka umat bergama menjadi alat yang ampuh untuk memenuhi kebutuhannya. Terjadilah suatu tragedi yang amat mengerikan, yaitu pembunuhan antarsesama yang didasarkan pada pembenaran atas nama agama. Padahal sebenarnya ada unsur lain yang ada di balik agama yang menjadi biang keladi tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu.
Ada banyak kerusuhan di Indonesia yang bermula dari masalah ekonomi kemudian meluas menjadi kerusuhan yang mengatasnamakan agama. Misalnya, warga pendatang di suatu tempat yang kemudian lebih kaya dari penduduk setempat, sering kali menimbulkan kecemburuan, terlebih jika agamanya berbeda. Ketidakmampuan orang untuk bersaing membuatnya mencari jalan lain untuk dapat mengalahkan orang tersebut. Dan solidaritas agama merupakan suatu alat yang paling mudah disulut untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, jadilah agama menjadi alat tunggangan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang rendah.
Dalam sejarah Indonesia juga terlihat bahwa agama dipakai untuk kepentingan politik. Usaha untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan membutuhkan dukungan massa yang tidak sedikit. Sekali lagi, cara yang paling mudah untuk meraup massa adalah dengan membangkitkan emosi pendukung agama yang sama. Massa akan mudah memberi dukungan karena dijanjikan, setelah mendapat kedudukan, maka ia akan memberikan imbalan berupa kemudahan-kemudahan, baik fasilitas fisik maupun perangkat-perangkat hukum untuk memudahkan penyebaran agama yang mendukungnya. Kemudian terjadilah diskriminasi terhadap agama lain. Parahnya, agama-agama yang kemudian mendapatkan perlakuan diskriminatif tersebut juga melakukan dosa yang sama.
Untuk mengatasi ditungganginya agama oleh unsur-unsur politik dan ekonomi, maka tidak bisa tidak, peran tokoh-tokoh agama untuk berdiri di atas keadilan dan kebenaran dalam relasi dengan agama-agama merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak. Jika kita adil dan benar, maka itu hanya akan terjadi jika kita berada di bawah hukum keadilan dan kebenaran yang didasarkan kepercayan atau agama.
Tafsir yang salah dapat menimbulkan ketidakadilan menjadi sesuatu yang dibenarkan. Seharusnya tidak ada sesuatu yang benar yang tidak adil, namun untuk mendapatkan yang adil dan benar maka tidak bisa tidak kita harus berada di bawah hukum. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang berkeadilan. Apabila hukum tidak berkeadilan, maka dia tidak boleh menjadi hukum yang tetap dianggap benar. Ujian daripada hukum yang adil dan benar itu adalah, apakah kita memperlakukan semua manusia sebagai manusia adanya. Karena hukum yang adil dan benar akan memanusiakan manusia.
Tidak cukup bergantung pada tokoh-tokoh agama. Semua umat beragama harus sadar bahwa ia berkewajiban untuk mengawal kebenaran dan keadilan diimplementasikan, baik dalam kehidupan dalam komunitasnya, maupun dalam hubungan dengan kelompok lain. Kesadaran untuk menjaga kehidupan yang berkeadilan ini seharusnya menumbuhkan semangat untuk mempelajari ajaran agamanya dengan benar dan tidak lagi mengultuskan individu. Karena seharusnya semua individu berada di bawah hukum. Karena itu, tindakan yang salah dari tokoh agama, tidak perlu dibela mati-matian. Toh ia tidak bisa menodai agama yang dianutnya. Justru pada waktu agama-agama berani memperhadapkan pemimpin agamanya dengan kebenaran yang diwujudnyatakan dalam hukum yang berkeadilan, maka agama-agama akan terbebas dari noda yang diusahakan dilemparkan kepadanya.
Keadilan juga bukan merupakan sesuatu yang datang dengan sendirinya, karena memang ia adalah sesuatu yang dianugerahkan Tuhan. Namun ia juga harus diperjuangkan. Karena itu, jika umat beragama ingin memiliki hidup dalam hubungan yang adil tanpa diskriminasi, tidak bisa tidak semua umat bergama —agama apa pun dia—harus bahu-membahu berjuang untuk kedilan tersebut diwujudnyatakan.
Dalam perenungan tersebut saya ingin berteriak, “Hentikan kekerasan atas nama agama! Tebarlah damai hai, umat beragama!”. Semoga Indonesia kita kembali tersenyum. Dan keterpesonaan Arnold Toynbee kepada Indonesia sebagai negeri surga-nya agama-agama bisa menjadi nyata. Semoga*