Menjejak Balik Benih GRAPHE Setelah Tertanam 10 Tahun

Sword of Spirit's picture


Setelah melayani Tuhan sekitar enam tahun di sebuah gereja di Jakarta, akhirnya pada tahun 1993 Dr. Suhento Liauw memutuskan untuk berhenti menghabiskan waktu hidupnya secara sia-sia. Beliau memutuskan keluar untuk membangun pelayanan yang benar-benar berdasarkan Alkitab. Ada teman yang menganjurkan untuk menyewa ruko dan langsung memulai jemaat baru. Sekalipun domba sepatutnya mengikuti gembala bukan tetap tinggal di kandang, Dr. Liauw memandang bahwa tindakan membawa sebagian jemaat keluar untuk memulai jemaat baru kurang etis.

Akhirnya Dr. Liauw memutuskan untuk melanjutkan studi ke USA,Tabernacle Baptist Theiological Seminary, agar memiliki pengetahuan yang cukup untuk pelayanan ke depan yang pada waktu itu belum ada kepastian kota bahkan negaranya. Setelah mendapatkan visa, Dr. Liauw sekeluarga berangkat pada tanggal 30 Juni 1993 menuju Singapore, California, Denver, Chicago, Northfolk, dan akhirnya tiba di Virginia Beach,dijemput oleh Misionari Tom Crawford untuk dibawa menginap di Greathope Baptist Church. Mereka sekeluarga sempat berbakti beberapa minggu di gereja tersebut bahkan setelah mendapatkan apartment di dekat Tabernacle Baptist Church.

Selain berbakti di Greathope Baptist Church Dr. Liauw sekeluarga juga kadang-kadang berbakti di Tabernacle Baptist Church. Menyaksikan kegairahan gereja-gereja tersebut dalam pengutusan misi ke negara lain, memberitakan Injil, dan membangun jemaat, timbul dalam diri Dr. Liauw untuk kembali Indonesia setelah menyelesaikan studi nanti.

Hampir dalam setiap kebaktian dikhotbahkan tentang keselamatan dan tentang pemberitaan kabar keselamatan kepada orang yang belum diselamatkan (heathen).

Suatu hari Dr. Liauw membuka-buka Yellow Pages dan mendapatkan Chinesse Baptist Church. Di gereja tsb. mereka bukan hanya bertemu dengan para Chinesse bahkan seorang Indonesia Chinesse yang pernah tinggal di Kalapa Gading, Irene. Tetapi ternyata mereka digembalakan orang kulit putih yang memegang doktrin Injili. Dr.Liauw dan keluarga dikagetkan dengan baptisan yang disaksikan mereka yang dilakukan dengan percik. Baptist Church tetapi membaptis orang dengan percik, sungguh heran. Mereka terang-terangan mengindikasikan keinginan mereka agar Dr. Liauw menjadi gembala mereka.

Secara kemanusiaan sebenarnya terbuka kesempatan bukan hanya bisa mendapatkan green-card, bahkan bisa langsungmengajukan citizenship sehubungan dengan jabatan Gembala dari Chinesse Baptist Church. Menurut undang-undang di USA, seseorang atau organisasi boleh mempekerjakan warga negara lain atas pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh warga USA. Chinesse Baptist Church tinggal membuat pernyataan bahwa mereka tidak bisa mendapatkan Pastor yang bisa berbahasa Chinesse sekaligus berbahasa Inggris. Tetapi karena dorongan untuk kembali ke Indonesia sedemikian besar maka yang dipikirkan hanyalah setelah selesai akan kembali untuk membangun jemaat alkitabiah di Indonesia.

Akhirnya Dr. Liauw memutuskan tidak berbakti di gereja tersebut lagi. Selain doktrinnya tidak alkitabiah, Gembala mereka juga merasa Dr. Liauw akan merebut posisinya. Dan mereka dibesuk oleh diaken dan yang lain-lain. Dan Irene membocorkan keinginan jemaat agar Dr. Liauw yang menggembalakan jemaat tersebut dimasa yang akan datang. Gembala kulit putih yang membaptis percik itu bukan gembala ideal kami, demikian ngaku Irene. Karena tidak ada gembala Tionghoa yang memegang doktrin Baptis yang bersedia menjadi gembala kami maka kami terpaksa menerimanya. Sebelumnya gereja kami belum pernah membaptis dengan percik, ngakunya.

Dr. Liauw dengan halus menolak karena merasa hanya terpanggil untuk kembali ke Indonesia membangun gereja alkitabiah. Dan mereka sekeluarga menyerahkan diri menjadi anggota jemaat Tabernacle Baptist Church. Setelah setahun belajar dan mendengarkan kesaksian para misionari yang silih berganti datang memberikan presentasi di hadapan mahasiswa tentang kebutuhan Injil di ladang misi, maka keinginan Dr. Liauw untuk pulang ke Indonesia membangun gereja alkitabiah semakin kuat. Rasanya sangat malu, jika orang-orang Amerika rela meninggalkan negeri mereka untuk memberitakan Injil di Asia (Indonesia), masakan orang Asia yang jauh lebih memahami kultur Asia malah tidak mau pulang. Sesungguhnya benih jemaat GRAPHE di Indonesia tumbuh di Amerika. Benih itu disiram terus dengan khotbah-khotbah di chapel yang selalu mendorong mahasiswa pergi memberitakan Injil. Khotbah-khotbah Dr. Rod Bell, Sr. juga telah menyebabkan benih itu semakin siap di tanam, apalagi ditambah dengan mission conference (kebaktian misi) yang setahun sekali diadakan untuk menghimbau jemaat menyumbang pekerjaan misi sekaligus menghimbau orang muda pergi ke ladang misi.

Pada beberapa bulan pertama Dr. Liauw dan Istri (Lie Lin) beserta putra pertama (Steven) dan putra bungsu (Andrew) sempat stress karena ternyata di kalangan Fundamentalis tidak dikenal yang namanya sponsor untuk orang sekolah theologi. Semua mahasiswa harus bekerja secara part-timer. Dr. Liauw dan keluarga tidak keberatan untuk bekerja, namun sebagai orang asing mereka tidak diperbolehkan untuk bekerja. Mereka sempat berpikir, bagaimana kalau uang yang dibawa habis sementara kuliah belum selesai.

Tetapi Tuhan nyatakan dengan berbagai cara bahwa Ia menyertai mereka sehingga yakinlah mereka bahwa keputusan mereka adalah kehendak Tuhan. Tuhan meyakinkan mereka melalui hal-hal yang ajaib. Sejak mereka berhenti berdoa untuk sponsor, melainkan mengucap syukur atas kasih karunia Tuhan, maka Tuhan membuka mata mereka bahwa Ia menyertai mereka. Berkali-kali mereka membuka pintu apartment dan mendapatkan kotak (kardus) yang berisikan berbagai keperluan rumah tangga hanya dengan tulis for Suhento’s family. Terlalu banyak kasih karunia yang telah mereka alami, dan rasanya tidak cukup untuk menceritakan semuanya dalam artikel yang terbatas ini.

Sekalipun TabernacleBaptist Theological Seminary tidak terlalu besar, namun dosennya cukup banyak. Dr. Thomas Strause adalah dekan Akademik dan seorang theolog yang sangat terkenal di kalangan Fundamentalis. Beberapa kali beliau tampil di TV melakukan debat terbuka dengan berbagai kalangan. Dr. Liauw menyadari kepintaran dan kemampuan akademik beliau sehingga memanfaatkan kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin darinya. Pelajaran disampaikan selain melalui kelas pagi juga kelas malam dari jam 18.00 hingga jam 21.15. Karena memakai Sistem Kredit Semester yang penuh dan tersedia kelas pagi maupun malam, maka terbuka peluang untuk belajar secara cepat bagi yang rajin.

Bahkan juga disediakan kelas Summer (musim panas) dan kelas Winter (musim dingin) bagi yang tidak mau libur. Akhirnya setelah mengikuti kelas pagi maupun malam, dan kelas Summer maupun Winter selama dua tahun penuh, dan berhasil mempertahankan Thesis di hadapan enam orang doktor yang menguji beliau selama kurang-lebih tiga jam, akhirnya beliau berhak menyandang gelar Doktor of Religious Education (DRE).

Setelah diwisuda, selanjutnya dalam pikiran Dr. Liauw adalah kembali ke Indonesia untuk memulai pelayanan yang betul-betul berlandaskan Alkitab dan berjalan sesuai dengan Alkitab tanpa kompromi. Sebelum pulang Dr. Liauw beserta keluarga sempat berkendaraan ke Woshington DC untuk melihat ibukota USA dan melihat-lihat Bob Jones University di South Carolina, karena selama dua tahun belajar siang-malam tidak pernah jalan-jalan.

Ketika berangkat pulang, mereka sempat berhenti di California dan menginap di rumah Pak Kuna. Lulu Kuna mentraktir mereka sekeluarga ke Diysneland dari pagi hingga jam 24.00 malam. Dan Yen Ling membantu mereka mendapatkan visa ke Taiwan. Di Taiwan disambut oleh teman-teman hamba Tuhan yang berasal dari Jakarta, dan dibelikan durian karena telah dua tahun tidak makan durian. Mereka jalan-jalan di Tai Pe selama tiga hari.

Dari Tai Pe mereka berangkat ke Hongkong. Ternyata berita kedatangan mereka ke Hongkong telah diketahui oleh orang Kristen Indonesia Hongkong, dan kebetulan Rabu malam ada persekutuan doa sehingga Liauw diminta berkhotbah. Beberapa majelis berkata bahwa kedatangan Dr. Liauw adalah kehendak Tuhan dan merupakan jawaban Tuhan atas doa mereka karena telah bertahun-tahun mereka berdoa untuk seorang gembala jemaat. Mereka menjamu keluarga Dr. Liauw dan memintanya menjadi gembala bahkan akan mendaftarkan Steven dan Andrew ke International School. Mereka berkata bahwa segalanya telah tersedia termasuk pastori untuk keluarga gembala.

Namun Dr. Liauw tetap teguh menjawab bahwa akan kembali ke Indonesia. Mereka menyangka telah ada gereja besar di Jakarta yang lebih dulu meminta Dr. Liauw. Mereka sangat kaget ketika mendengar bahwa belum ada jemaat bahkan nanti tiba di Jakarta baru akan memulai jemaat. Mereka membujuk amat sangat, sehingga keluarga Dr. Liauw hampir menjadi orang Hongkong.

Akhirnya tiba di Jakarta Minggu malam 18 Juni 1995. Dan dalam satu minggu menyiapkan kebaktian pertama pada tanggal 25 Juni 1995 di kantor Pak John Efendi. Sejak hari itu tantangan demi tantangan menghadang jemaat yang hanya belasan orang itu. Dalam dua tahun pindah enam kali karena tidak ada dana untuk membeli bahkan tidak ada dana untuk mengontrak tempat kebaktian. Orang-orang yang pernah meminjamkan tempat antara lain; John Efendi, Rusli Karman, Lie I Tju, Budiarto, Gemindo, dan terakhir di pinjamkan oleh Yohanes yang kemudian gedungnya dibeli oleh GRAPHE. Kasih karunia Tuhan patut direnungkan, terutama disaat GRAPHE hampir sepuluh tahun, satu dekade.***

Sumber: PEDANG ROH Edisi 43 Tahun X April-Mei-Juni 2005

Kategori: Profil

Comments

yayasan dan gereja

dr liauw,bagaimana pandangan bapa tentang predistinasi?tentang tulip dan armenien?