BERMANFAATKAH ”iman” itu? Atau tidak? Taruh kata jawaban kita positif, ”Ya, iman itu besar faedahnya”, ini ternyata belum berarti semuanya beres. Kita masih harus menjelaskan lagi, ”manfaat” yang kita maksudkan itu termasuk kategori pengertian apa.
Belum jelas? Baik saya jelaskan yang saya maksudkan. Bayangkanlah andaikata ada orang bertanya, ”Bermanfaatkah udara atau air atau hujan itu, menurut Anda?”, maka apa jawaban Anda? Pasti ”positif”. ”Tentu, menurut keyakinan dan pengalaman saya, udara atau air atau hujan itu amat sangat bermanfaat!”.
Bahkan bukan cuma ”positif” sekadar ”positif”. Melainkan ”positif” dalam pengertian ”kategoris”. ”Positif” dalam pengertian ”kategoris” artinya, positif untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja.
Pertanyaan logis selanjutnya adalah: bila ada ”positif” yang ”kategoris”, apa itu berarti ada ”positif” dengan kualifikasi yang lain? Memang ada! Itu sebabnya di atas saya bertanya, bila ”iman” itu kita katakan bermanfaat, kita masih harus menjelaskan, ”manfaat” dalam pengertian yang bagaimana?
DI SAMPING ”manfaat” yang ”kategoris”, ada pula ”manfaat” yang ”kondisional”. Apa bedanya? Kita tadi mengatakan, bahwa udara atau air atau hujan bermanfaat secara ”kategoris”. Artinya, siapa saja, di mana saja, kapan saja, orang menikmati serta mengakui kemanfaatannya. Tapi bagaimana bila pertanyaan kita bukanlah mengenai udara atau air atau hujan, tapi mengenai komputer atau kamera digital atau DVD-player? Saya yakin, kita akan memperoleh jawaban yang berbeda.
Sebagian orang akan mengatakan, bahwa mereka tidak akan bisa ”hidup” dan akan menjadi ”lumpuh”, tanpa benda-benda itu. Tapi bagi sebagian orang yang lain, benda-benda itu (relatif) tak ada gunanya. Seperti antena parabola atau lemari pendingin untuk rumah-rumah yang belum ada aliran listriknya. Maka kalau pun mau dimanfaatkan, antena parabola itu dipasang untuk ”aksi-aksian”. Dan lemari es untuk menyimpan pakaian.
Komputer, kamera digital dan DVD player tentu saja ”bermanfaat”. Tapi bermanfaat dalam pengertian ”kondisional” alias ”bersyarat”. Bagi Inge, tenaga eksekutif di sebuah perusahaan multi-nasional, benda-benda itu amat sangat bermanfaat. ”Cannot live without it”, katanya. Tapi si Cempluk, putri seorang transmigran di pedalaman Papua atau Kalimantan, malah bertanya, ”Untuk apaan sih itu?”
”TERGANTUNG”? Tergantung apa? Ini adalah sebuah pertanyaan besar! Sebab andaikata saja benar (tapi, awas, saya tidak mengatakan begitu lho!), manfaat ”iman” itu bersifat ”kondisional” saja, maka pertanyaan kita adalah: bermanfaat atau tidak bermanfaat itu, tergantung dari apa? Atau, tergantung pada apa? Depends on what?
Pertanyaan yang wajar, bukan? Berulang-ulang, saya kira, saya telah memperingatkan Anda, janganlah sekali-kali mempercayai propaganda bahwa seolah-olah ada obat atau jamu yang bak ”obat dewa”, ces pleng mampu mengobati semua penyakit.
Yang ingin saya katakan adalah, bila orang mengatakan ”iman” itu bermanfaat, atau sebaliknya telah memvonisnya sebagai tidak bermanfaat, ada pertanyaan krusial yang harus dijawab terlebih dahulu. Yakni, apa harapan atau tolok ukur yang dipakai untuk mengatakan itu?
Bayangkanlah sebilah parang yang panjang dan tajam. Bermanfaatkah ia? Sebenarnya orang tidak boleh cepat-cepat menjawab ”bermanfaat” atau ”tidak bermanfaat”. Tapi sebaiknya bertanya terlebih dahulu, ”Bermanfaat untuk apa?”Bila parang itu Anda mau pakai untuk memotong bambu atau membelah kayu maka, ya, positif. Parang itu bermanfaat. Sebab memang itulah peruntukannya.
Tapi jangan Anda katakan benda itu mubazir, sia-sia, atau tak ada gunanya, sebab Anda ingin memotong kuku, atau menggergaji kayu, atau menggunting kain dengannya! Sebab bukan untuk itu, bung, guna sebilah parang itu!
Ada ”kesulitan” lain. Kesulitan ini lebih kongkret, lebih praktis, lebih teknis. Yaitu, tatkala dunia dengan tak kurang lantangnya bertanya – dan menjawab – ”Bagi manusia yang rasional, iman itu apa manfaatnya?”
Seperti ditegaskan oleh George H. Smith, ”Iman teisme kristiani harus ditolak oleh siapa pun, yang sedikit saja punya penghargaan terhadap akal”. ”Beriman” barangkali tidak serta merta mendatangkan celaka. Tapi yang pasti, ia sia-sia.
YANG ingin saya katakan (lagi) adalah, banyak kesimpulan yang salah mengenai apa manfaat ”iman” bagi kehidupan. Ini disebabkan harapan-harapan yang salah dibubuhkan di atas bahu ”iman”. Bagaimana mungkin berhasil, mengobati sakit perut dengan meneteskan obat mata? Bagaimana berharap dapat memperoleh yang kita harapkan dari ”iman”, bila harapan kita saja sudah salah?
Sebab itu betapa pentingnya kita menjernihkan serta meluruskan terlebih dahulu ”pemahaman” atau ”konsepsi” kita, sebelum kita menyatakan ”harapan” atau ”ekspektasi” kita!
Jadi Iman itu ada dan JELAS bermanfaat,“Kenapa ?“karena orang benar akan hidup oleh iman, dan saat Anak Manusia datang ke-2 kali adakah ia mendapati iman di bumi ? ini sangat krusial bukan ? Anda hidup dalam lingkup multidimensional, ada dunia yang tidak mampu anda jangkau dan pahami, yakni dunianya para malaikat (roh), tetapi anda tahu karena anda juga telah dihembuskan roh dari Allah sebagai Imago Dei. Maka seiring berjalan dengan waktu, anda semakin mendekat kepada terminal menuju dunia malaikat tersebut, lantas apa yang anda pegang??
Jawabnya IMAN, iman apa ? iman berdasar FIRMAN, dan itu semua adalah hak prerogatif Roh Kudus saja. So..Berimanlah dalam iman menurut Firman dengan sekuat tenaga.
*Ibrani:
1:1. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
11:2 Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.
11:3 Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.