Anda pecinta Kristologi? Atau, paling tidak menjadi pengamat dalam diskusi-diskusi dan perdebatan Teologi melalui buku-buku, internet, Gereja dan media-media lainnya? Ya, tentu saja sangat bergantung kepada ‘interest’ Anda masing-masing.
Dalam Teologi Kristen, Kristologi adalah sebuah tema yang paling kontroversial di anatar tema-tema utama lainnya. Di balik kesan kontroversial tersebut, Kristologi selalu menjadi tema yang sangat menarik dan melibatkan banyak ahli untuk menyelidiki dan menafsirkannya. Namun, meskipun lusinan ahli telah menyelidiki dan memberikan sumbangan pemikiran untuk interpretasi Kristologi ini, namun, tema ini belum tuntas dan terus menimbulkan kontroversi yang baru.
Kristologi, sebagai “The Core of Christianity,” terus-menerus menjadi tema yang hangat kemungkinan disebabkan oleh empat faktor, yaitu: (1). Interpretasi yang subjektif, (2). Tekanan interpretasi patristik, (3). Hegemoni politis, dan (4). Resistensi.
1. Faktor Interpretasi Subjektif
Dalam konteksnya, tokoh dan ideologi Yesus Kristus hadir di tengah masyarakat yang sudah mapan secara Teologi, stabil dalam Politik dan cerdas dalam Pemikiran. Konteks ini bisa menjadi pembenaran untuk menyatakan sikap secara subjektif. Termasuk memberikan interpretasi terhadap Kristus secara subjektif.
Interpretasi subjektif merupakan cara pandang terhadap “Siapkah Yesus Kristus” menurut perspektif internal dan pribadi. Baik menurut orang-orang sezaman maupun sesudah-Nya. Pertanyaan tentang “siapakah Yesus Kristus?” menurut konteks historisnya sebagai tokoh fenomenal dalam hal religius maupun politis akan mempengaruhi anggapan subjektivitas masing-masing orang.
Subjektivitas ‘world view’ dan asumsi orang-orang pada masanya mempengaruhi ‘world view’ dan interpretasi orang-orang sesudahnya, sampai hari ini. Anggapan atau ‘claim’ orang-orang di zaman Yesus, menentukan perkembangan konsep Kristologi sepanjang sejarah pada masa kemudian. Anggapan yang paling berpengaruh adalah, “Apakah Yesus Kristus adalah Manusia, atau Allah, atau keduanya; Allah dan Manusia?” Meskipun anggapan ini memiliki referensi yang ‘valid’ dalam Alkitab, namun, bagaimana memahaminya merupakan kecenderungan yang menjurus kepada jawaban subjektif dan sulit dipersalahkan.
2. Faktor Tekanan Interpretasi Patristik
Pendekatan Kristologi bersifat interpretatif. Interpretasi Kristologi sarat dengan berbagai kepentingan atau interest. Misalnya, interpretasi Kristologi untuk kepentingan mazhab Teologi tertentu atau untuk kepentingan politis Gereja tertentu pada masanya. Hampir dapat dipastikan bahwa interpretasi ini telah distandarized di bawah tekanan patristik atau para teolog perintis.
Realitasnya, interpretasi Kristologi harus seperti yang sudah formal, atau paling tidak, tunduk di bawah konsep terdahulu, misalnya konsep menurut pengajaran bapa-bapa Gereja atau teologi para teolog perintis lainnya. Interpretasi Kristologi di luar itu atau yang berbeda, akan dianggap bidah dan mengandung kesalahan. Dengan demikian, konsep Kristologi awal dan tertentu itu, telah menjadi ‘standard’ untuk interpretasi Kristologi kemudian.
3. Faktor Hegemoni Politis
Dalam faktor politis inilah kontroversi Kristologi sangat nyata. Sepanjang Sejarah Gereja, politik memegang peranan penting dalam mendikte Gereja, walaupun di dalamnya, faktor ‘simbiosis’ merupakan sebuah kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Kesan ini menciptakan Kristologi politis.
Meskipun dalam prosesnya, secara praktis, Gereja dan negara saling melengkapi, tetapi dalam konspirasi ini, Gereja dan Teologianya, seringkali harus tunduk demi kepentingan politis. Akibatnya, Gereja tidak dapat menyelesaikan kontroversi yang pernah muncul dan berkembang di dalam Gereja.
Kontroversi ini berpengaruh pada kebijakan-kebijakan internal Gereja. Bukanlah pada masa-masa awal Sejarah Gereja, atau lebih dikenal dengan masa-masa perumusan Teologi Gereja, masih banyak tersisa pertanyaan-pertanyaan tentang tema-tema dan topik-topik Teologi yang belum dijawab atau tidak tuntas, mengambang dan seringkali tidak semestinya?
4. Faktor Resistensi
Sikap resistence terhadap Kristologi secara nyata adalah penolakan terhadap tokoh Kristus yang berlanjut pada penolakkan terhadap deskripsinya di Alkitab. Penolakan dari “pihak luar” ini mungkin sebuah kewajaran teologis.
Tetapi dalam perkembangannya, penolakan Kristologi justru muncul dari pihak-pihak yang bermaksud “membela” Kristologi, baik dari segi ketokohan maupun deskripsinya atau catatan tentang Yesus Kristus menurut beragam manuskripsi dan Kitab Suci. Pembelaan ini menjadi sebuah sikap yang berlebihan karena seringkali memberikan interpretasi yang berbeda dan memberikan penekanan pada topik-topik margin selesai. Interpretasi ini dianggap penolakkan ketika, pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu tersebut, menafsirkan Kristologi di luar ‘standard’ patristik yang kontekstual dan historis.
Biasanya, daya yang resistensi ‘intern’ ini terkesan melepaskan Yesus Kristus dari konteks dan kesejarahan-Nya, sehingga, memunculkan tokoh dan deskripsi Kristologi yang fiktif.
Dengan demikian, dari keempat faktor ini dapat dideteksi, bahwa kesalahan umum konsep Kristologi adalah karena interpretasi yang berusaha mengeluarkan Yesus Kristus dari konteks dan deskripsi historisnya. Sehingga, figur Yesus Kristus menjadi “tokoh fiktif” dan deskripsinya menjadi “fiksi atau dongeng nenek-nenek tua saja”.
Sebaliknya, interpretasi Kristologi yang sejati adalah konsep Kristologi yang didasarkan atas hasil interpretasi sang interpreter yang berusaha masuk ke dalam konteks sejarahnya, seraya menggunakan deskripsi yang ‘valid’ dan kontekstual dengan maksud mengangkat ketokohan dan pemikiran Kristus untuk kepentingan proklamasi dan misiologi.
Interpretasi Kristologi yang sejati akan membebaskan semua orang Kristen dari interpretasi yang semu, yang dipengaruhi oleh subjektivitas, patristik, politik dan anti Kristus.
Demikian.
Sola Gratia,
Riwon Alfrey