Siapa yang nggak kenal Cho Yong-gi? Pendeta asal Negeri Ginseng ini diakui sebagai gembala sidang salah satu gereja terbesar di Korea, Gereja Yoeui-do. Salah satu kenalanku merupakan penginjil dari gerejanya. Mereka kini membuka pelayanan di kota Medan.
Sempat penasaran, seperti apa sih lagu-lagu pujian gereja mereka itu. Bukannya mereka itu cenderung karismatik? Bukannya karismatik cenderung pakai lagu-lagu kontemporer?
Suatu ketika, Pak Choi, begitu biasa ia dipanggil, menyodorkan kidung pujian yang biasa dipakai di gerejanya. Meski bisa membaca hangeul, nggak semuanya bisa kucermati. Tidak ada not angka seperti di buku pujian kita. Semua pakai not balok. Dan karena sudah lama nggak ngeliat yang begituan, jadi nggak bisa ngebaca lagi. Tapi pas dinyanyiin oleh beliau, whoaaaa, gue kenal lagu itu! Begitu reaksiku.
Yeah, itu lagu yang juga ada di Kidung Jemaat!
Pilih lagu lainnya lagi. Eeeh, sama juga, ketemu lagu Kidung Jemaat juga! Dan memang semua lagu di buku pujian mereka merupakan lagu-lagu himne yang terkenal, dari abad-abad lampau.
Makanya, aku langsung simpulkan, gereja yang kabarnya ajarannya agak melenceng itu saja pakai lagu himne. Kok ya, kita-kita yang pada gereja yang ngaku dari aliran utama mulai coba menggeser lagu-lagu himne.
Aku juga dikasih beberapa kaset rekaman mereka. Nama grupnya The Waters. Salah satu yang jadi favoritku itu bertajuk Waters Chanyang Seongyudan. Seingatku, ada dua lagu yang juga ada di Kidung Jemaat. Yang satu dari "Bila Sangkakala Menggegap" yang versi Koreanya berjudul "Na Pal Bul Ttae" (nggak yakin deh tulisan Latinnya begitu). Yang satu lagi, aku lupa judul versi Kidung Jemaatnya, tapi versi Koreanya berjudul "Guchueui Simchaga". Tentu saja dibawakan dengan iringan band yang kalau melihat warnanya agak bercorak 90-an.