Belakangan ini ada kecenderungan orang terlalu gegabah dalam membuat pernyataan iman. Kecenderungan ini sebenarnya bukan barang baru dan sudah lama terjadi, namun belakangan ini dengan semakin ‘gampangnya’ orang bolak-balik Alkitab, memberi komentar terhadap ayat Alkitab, atau bahkan dalam memberi sanggahan terhadap sebuah kotbah atau pengajaran, maka hal itu jadi semakin menguat. Ada semacam mental ‘asal beda’ yang melatari pemberian tanggapan bukan atas dasar kejernihan analisis dan keobyektifan mengolah pikiran dan pendapat serta kebesaran hati menerima perbedaan dan kebenaran dari lawan bicaranya. Perdebatan melalui berbagai cara dan media hanya semakin memperkeruh.
Pernyataan iman tersebut nyaris mirip menjadi sebuah yel-yel dari kuis televisi. Pernyataan tersebut kerap diambil dari ayat Alkitab dan diberi penekanan sepenuhnya yang membuat pengertian nas tersebut jadi dipaksakan.
Sebagai contoh: “Tuhan adalah Gembalaku takkan kekurangan aku” (Maz. 23:1). Tidak sedikit kotbah atau tafsiran yang lebih menitikberatkan pada kata “takkan kekurangan”. Penekanan yang berlebihan pada kata tersebut akan menjadikan nas ini lebih didorong ke arah bahwa Allah “akan selalu” mencukupi kebutuhan manusia (jasmani/rohani), dan adakalnya dikaitkan secara langsung melulu pada soal pemenuhan kebutuhan ekonomi belaka. Tak salah sebenarnya, bila kita membandingkan bagaimana seorang gembala domba tak pernah menelantarkan domba gembalaannya, dengan Allah yang sedang menganalogikan diri-Nya dengan Gembala dengan jaminan yang sama: “takkan kekurangan”. Fokus yang tidak seimbang pada soal pemenuhan kebutuhan (jasmani/rohani) akan membuat orang lupa akan bagian sebelumnya yang cukup menentukan yaitu: “TUHAN ADALAH GEMBALAKU.”
Kita tidak akan sampai pada “takkan kekurangan aku” jika kita tidak menempatkan Allah sebagai Gembala. Karena ketika ada orang yang merasa Tuhan adalah Gembalanya dan hidup habis-habisan, terikat persoalan keuangan, didera berbagai masalah, dan dengan naifnya ia mengatakan itu ujian dari Tuhan. Padahal disisi lain hal itu bisa saja terjadi karena ia tidak pernah menempatkan Allah sebagai Gembala.
“Tuhan adalah Gembalaku” di sini tidak berarti kita digiring oleh diri kita sendiri, persoalan kita, kekuatiran kita, kegembiraan kita, tetapi Allah yang menggiring kita.
Ada slogan: “jika kita melayani dan memiliki waktu dengan Dia maka segala sesuatu akan Tuhan berikan untuk memberkati kita.” Tidak sedikit orang memakai Matius 6:33: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”, untuk menegur orang yang seringkali terlalu sibuk mengurusi pekerjaannya sehingga tidak ada waktu untuk bersaat teduh apalagi melayani. Maka pertanyaan yang kemudian datang menghampiri kita adalah: “apakah mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya itu sama artinya dengan PELAYANAN dan SAAT TEDUH?
Konteks penjelasan Yesus adalah konteks mengenai hal kekuatiran dan Yesus menutup penjelasan-Nya dengan memberikan jalan keluar agar manusia memprioritaskan (“carilah dahulu”) KERAJAAN ALLAH DAN KEBENARANNYA. Dan dalam konsep penjelasan Yesus yang berulangkali Ia sampaikan sama sekali tidak menyentuh wilayan pelayanan apalagi bicara soal saat teduh. Kerajaan Allah tidak dapat dipersempit dengan pengertian ‘pelayanan’ apalagi ‘saat teduh’ belaka.
Mencari Kerajaan Allah itu berarti mencari pemerintahan Allah atau mencari pimpinan Allah dan membiarkan Allah memerintah hidup kita. Seorang pendeta pernah mengatakan bahwa kerajaan Allah itu adalah: “PEMERINTAHAN ALLAH MELALUI PELAKSANAAN KEHENDAKNYA YANG TERJADI SENANTIASA DI DALAM KEHIDUPAN PRIBADI DAN KOMUNITAS ORANG PERCAYA. Sehingga mencari Kerajaan Allah itu sama dengan melatih diri memiliki sikap tunduk, percaya, hormat, pada otoritas Allah yang memerintah dan berdaulat, dan membiarkan diri diarahkan, dibentuk, dituntun kepada kehendak-Nya.
Mengapa tadi saya tidak langsung mengiyakan bila Kerajaan Allah itu identik dengan pelayanan dan saat teduh, dan bila orang melayani dan bersaat teduh pasti Tuhan berkati. Pertama, orang yang melayani belum tentu adalah orang memiliki ketundukan kepada pemerintahan Allah. Karena tidak sedikit orang menerjemahkan kata ‘pelayanan’ sebagai sebuah aktivitas yang setidaknya bisa ‘menarik perhatian Allah’ pada kita atau menjadikannya sebagai “ladang duit”. Melayani tidak berarti menyambut Kerajaan Allah. Kedua, demikian pula saat teduh seringkali hanya menjadi sebuah aktivitas yang tidak mengubah apa-apa namun kita kelihatan lebih rohani karena memiliki aktivitas tersebut. Tidak sedikit orang memiliki saat teduh hanya untuk menunjukkan atribut rohani tetapi tidak memiliki perubahan apa-apa. Ketiga, biarlah berkat yang kita terima dari Allah adalah bentuk apresiasi Allah atas hati dan karya kita bukan karena kita mampu ‘mencari muka’-Nya.
Daniel Zacharias