Harapan dan Absurditas HAM
Oleh Binsar A. Hutabarat
Deklarasi universal hak asasi manusia yang disetujui dan
diumumkan Perserikatan bangsa-Bangsa lewat resolusi 271 A (III) tanggal 10
Desember 1948 merupakan pernyataan harapan seluruh dunia. Pantaslah jika
deklarasi tersebut dianggap sebagai ideology universal dan menjadi sebuah
tujuan yang harus dicapai, karena belum merupakan kenyataan.
Tanggal 10 Desember 2006 lalu, seluruh dunia akan
memperingati lahirnya hak-hak asasi manusia yang ke-58. Untuk Indonesia, hari
itu juga akan menjadi hari yang khusus, bukan saja karena posisi Indonesia
sebagai anggota Perserikatan bangsa-Bangsa, tetapi yang terpenting Indonesia
juga telah terpilih sebagai dewan HAM, dan
terakhir menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Lebih khusus lagi, pengakuan
universal HAM telah dituangkan dalam undang-undang dasar 1945 hasil amademen
sebagai tuntutan dari reformasi yang harus dijalankan. Secara khusus, pengakuan
tersebut dituangkan secara eksplisit dalam pasal 28 UUD 1945, yang juga
merupakan transformasi dari sila-sila di dalam Pancasila.
Persoalanya sekarang, apakah kata-kata indah dari
nilai-nilai HAM tersebut hanya sekedar
harapan indah yang tak pernah menjadi kenyataan? Ataukah kata-kata indah
tersebut telah diimplementasikan dengan indah di negeri ini dan tidak lagi
menjadi suatu absurditas yang kemudian akan makin dijauhi banyak orang. Tulisan
ini akan berusaha mencoba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
HAM di Indonesia
Hak-hak asasi manusia merupakan tema besar yang menjadi
buah bibir di era reformasi, dan isu
inilah yang juga turut mendorong gelombang reformasi dan mampu menggulingkan kekuasaan Soeharto
yang absolut selama 30 tahun.
Kecanggungan aparat keamanan dalam menangani konflik besar maupun kecil yang akhirnya meluas dan
menjadi sulit diatasi terkait ketakutan melakukan pelanggaran HAM dalam
pelaksanaan tugasnya. Akibatnya proteksi HAM di Indonesia melahirkan sesuatu
yang tidak produktif yaitu pelanggaran HAM baru. Hal ini terjadi karena aparat
keamanan belum familiar dengan HAM sehingga sering kali menimbulkan
keragu-raguan dalam bertindak, bukan karena nilai-nilai itu memiliki
kontradiktif dalam dirinya.
Isu HAM itu baru mendapatkan perhatian yang besar di era
reformasi, sehingga tidak mengherankan
jika sepanjang perjalan kemerdekaan Potret HAM di Indonesia baik pada masa orde
lama maupun orde baru sangat memprihatinkan. Kenyataan tersebut terjadi karena
nilai-nilai deklarasi universal HAM belum mendapatkan tempat yang pantas baik
dalam UUD 1945, maupun undang-undang dibawahnya.
Pada masa Soekarno, HAM dianggap sebagai produk Barat yang
kental dengan nilai-nilai individualisme karya kaum imprialis yang melahirkan
kolonialisme. Menurut Soekarno, barat tidak mungkin menghargai HAM yang telah
dilanggarnya dalam waktu cukup lama. Masa itu, di Indonesia tidak mendapat
tempat dihati pemerintah.
Bagi Soekarno, HAM yang individualisme tidak cocok dengan
budaya Indonesia yang bersifat komunalis, mengingat nila-nilai indivudualisme
menurut Proklamator RI ini sangat
berbahaya bagi keutuhan Indonesia yang sedang menghadapi rongrongan bangsa
penjajah yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi Indonesia.
Segala sesuatu yang berbau individualisme harus ditabukan,
termasuk HAM. Memang Pancasila mengakui hak-hak asasi manusia, namun
transformasinya dalam undang-undang dasar dan undang-undang dibawahnya sangat
minim. Pada masa itu diskriminasi agama terus terjadi. Bermula dari suatu
konsesi yang melahirkan kementerian agama, kemudian agama-agama mengalami
pemasungan secara khusus kelompok minoritas.
Aliran kebatinan dan agama-agama suku yang dijadikan ladang misi
agama-agama adalah korban yang paling
merasakan diskriminasi tersebut, bahkan terus berlangsung hingga saat ini.
Penolakan Soekarno terhadap segala sesuatu yang berbau
individualisme kemudian memberikan andil besar bagi lahirnya pemerintahan orde
baru yang sangat despotis. Pada masa ini, agama-agama makin mengalami
pemasungan, bahkan Konghucu yang pada masa orde lama diakui, pada masa orde
baru tidak lagi diakui. Pemerintahan Soeharto yang otoriter yang didahului
dengan lembar hitam pelanggaran hak-hak asasi manusia terus mempertontonkan kekerasan terhadap HAM.
Pada masa Soeharto agama-agama makin erat terbelenggu,
bukan hanya pembatasan agama resmi, tetapi juga penolakan terhadap bidat yang
didukung oleh mainstream. Belum lagi peraturan-peraturan yang bersifat
diskriminatif, baik dalam peraturan perkawinan, SKB 2 menteri yang kini
diperbaharui, Peraturan pendidikan dan lain-lain.
Pelanggaran HAM juga makin telanjang ketika kita berbicara
pembangunan yang tidak seimbang antara jawa dan luar jawa, serta pengerukan
hasil-hasil tambang ke
Metropolitan dengan melestarikan kemiskinan di daerah-daerah yang hasil
tambangnya melimpah. Pada era Reformasi
tuntutan keseimbangan pembangunan disetujui dengan otonomi daerah sebagai
alternatif. Semua kenyataan itu merupakan bukti masih suramnya potret HAM di
Indonesia.
Harapan dan Absurditas.
Salah satu tenaga pendorong yang kuat dalam melahirkan
reformasi adalah tuntutan diimplementasikannya HAM dalam kehidupan berbangsa.
Tidaklah mengherankan jika kemudian dalam amandemen UUD 1945 nilai-nilai HAM
mendapatkan tempat penting. Adanya nilai-nilai HAM universal ini tentunya
menjadi harapan bagi semua orang di
HAM yang lebih baik.
Aturan hukum yang jelas tentunya menjadi panduan penting
bagi evaluasi implementasi HAM di Indonesia. Harapan proteksi HAM yang lebih
baik juga muncul ketika
mulai meratifikasi undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, sehingga
menjadi Negara pihak (State Parties) yang terikat dengan konvensi ICCPR.
keras untuk menegakkan nilai-nilai HAM yang universal. Lihatlah
kerusuhan-kerusuhan masal yang terjadi di awal reformasi dan masih terus
terjadi hingga kini. Konflik di Poso belum juga terselesaikan dengan baik,
konflik
kekuatiran akan terjadinya konflik masih melekat di hati dan pikiran banyak
orang disana. Nyawa masih sangat mudah melayang tanpa tahu siapa yang
melakukannya, kasus Munir adalah bukti dari realitas tersebut, belum lagi kasus
Semanggi, Tanjung Priuk dan lain-lain.
Pengusiran terhadap kelompok-kelompok minoritas masih
sering terjadi, dengan alasan penodaan agama dan umat beragama yang berbeda
agama saling menghancurkan sesamanya. Selain itu,
rawan konflik serta membahayakan bagi
kelompok-kelompok minoritas, padahal mereka masih sesama bangsa yang memiliki
hak-hak yang sama. Syukurlah korban lumpur Sidoarjo kini sudah bisa tersenyum,
walaupun masih banyak pabrik dan orang-orang yang harus kehilangan pekerjaan
yang masih bergulat untuk hidup.
Pembalakan liar yang memiskinkan masyarakat desa, serta
gerakan anti korupsi yang tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan,
semuanya itu tentu akan mendorong pada kesimpulan bahwa nilai-nilai HAM yang
indah masih hanya menjadi pajangan atau sekedar slogan. Mengharapkan HAM untuk
menjadi kenyataan nampaknya makin menjadi suatu absurditas. Lantas,
bagaimanakah perjalanan HAM di Indonesia pada masa yang akan datang?
Nampaknya kita mesti berjuang lebih keras untuk terus
menumbuhkan harapan adanya implementasi HAM di Indonesia, mudah-mudahan kita
tetap bisa sabar dalam kondisi ini dan menjadi siuman, bahwa penegakkan HAM
adalah perjuangan bersama semua warga bangsa. Jika kesadaran ini ada, niscaya
kesadaran HAM akan menumbuhkan harapan baru serta melahirkan kenyataan-kenyataan
indah tentang indahnya hidup dalam kebersamaan.
Peneliti pada Reformed Center For Religion and
Society(Alumnus Institut Reformed)