Tanggal 23 Maret, kembali kita mengadakan perayaan dan bersorak gempita karena Yesus, Tuhan kita, Sang Penebus telah bangkit. Bangkit dan mengalahkan maut. Ia menang dan menang, dan sekali lagi, menang total! Ya, total!! Namun tahukah saudara, apakah dan bagaimanakah sesungguhnya yang terjadi selama 6 jam di hari jumat itu?! Penderitaan? Kesesakan? Ketakutan? Kepedihan?! Tidak hanya penderitaan, tidak hanya kesesakan, tidak hanya...
....dimulai seperti ratusan hari sebelum itu buruk sekali. Sudah cukup jelek untuk berada di Yudea; tetapi dibanding dengan itu, menunggu disebuah bukit batu, imam-imam itu sok mengatur. Tugasnya sama sekali tidak dihargai dan lagi di negeri asing. Ia ingin sekali hari itu sudah lewat sebelum dimulai.
Ia heran melihat perhatian semua orang terhadap orang desa itu. Ia tersenyum melihat papan yang akan ditaruh di atas salib. Yang terhukum itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang raja. Mukanya benjol-benjol dan penuh bilur-bilur. Punggungnya agak bungkuk dan menatap ke bawah. "Kasihan. Orang yang tidak ada apa-apanya," pikir perwira itu. "Apa saja yang dibuatnya sampai ia dihukum demikian?"
Lalu Yesus mengangkat kepala-Nya. Ia tidak marah. Ia tidak resah. Mata-Nya memandang dengan ketenanngan yang ajab dari wajah yang penuh darah. Ia memandang kepada mereka yang mengenal-Nya, sengaja memandang mereka satu demi satu seolah-olah Ia ada pesan bagi mereka masing-masing.
Selintas pandang saja Ia bertatapan dengan perwira itu sedetik saja perwira Romawi itu berpandangan dengan mata yang paling murni yang pernah dilihatnya. Ia tidak mengerti arti dari pandangan itu. Tetapi pandangan itu membuat dia menelan sebentar dan perutnya kosong. Ketika melihat seorang prajurit menggenggam Yesus dan menghela Dia, dalam hati kecilnya Ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang tidak normal.
Ketika jam demi jam berlalu, perwira itu mendapatkan dirinya makin sering memendang kepada Dia yang tersalib di tengah. Ia tidak tahu apa yang harus diartikan akan sikap orang Nazaret itu yang diam terus. Ia tidak tahu harus diapakan kemurahan-Nya
Akan tetapi, di atas segalanya itu, ia bingung sekali melihat kegelapan itu ia tidak tahu apa artinya langit yang hitam itu di tengah-tengah petang. Tidak ada orang yang dapat menjelaskan kejadian itu... bahkan tidak ada orang yang dapat menjelaskan. Sebentar matahari masih bersinar, sebentar lagi sudah gelap sama sekali. Satu menit masih panas terik, tiba-tiha menit berikutnya angin dingin menghembus. Bahkan para iman tidak dapat mengatakan apa-apa.
Lama sekali perwira Roma itu duduk di atas sebuah batu dan terus-menerus menatapi tiga sosok yang membayang di udara. Kepala mereka terkulai, kadang-kadang digerakkan dari sisi yang satu ke sisi yang lain. Olok-olokan terdiam... kesunyian itu mengerikan. Mereka yang tadi menangis, sekarang menunggu.
Tiba-tiba, kepala yang di tengah berhenti bergerak kian kemari. Kepala itu tersentak tegak. Mata itu sekonyong-konyong membelalak putih. Suara gemuruh membelah kesunyian sudah selesai. Bukan teriakan. Bukan jeritan tetapi gemuruh.... bunyi singa mengaum. Dari mana asal suara mengaum itu, perwira itu tidak tahu. Yang jelas, bukan dari dunia ini.
Perwira itu berdiri dari batunya dan maju beberapa langkah ke arah orang Nazaret itu. Ketika mendekat, ia melihat Yesus menatap ke langit. Ada sesuatu di dalam mata-Nya yang ingin dilihat terjatuh. Ia bangun lalu terjatuh lagi. Tanah bergerak, mula-mula hanya sedikit tetapi sekarang mengguncang dengan dahsyatnya. Ia mencoba sekali lagi dan berhasil maju beberapa langkah dan terjatuh.... di kaki salib.
Ia melihat ke atas kepada wajah orang yang sudah dekat maut itu. Sang Raja melihat ke bawah kepada perwira tua yang cepat itu. Tangan Yesus terikat, tidak dapat meraih. Kaki-Nya terpaku pada salib, tidak dapat berjalan mendapatkan dia. Kepala-Nya berat karena sakit-Nya dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan. Tetapi mata-Nya ..., mata-Nya menyala-nyala.
Mungkin itulah yang mendorong perwira itu mengeluarkan ucapan itu. Ia melihat mata Tuhan. Ia melihat mata yang sama yang dilihat wanita pezinah yang hampir telanjang sama sekali di Yerusalem, janda kembang yang tak punya sahabat di Samaria, dan Lazarus yang mati empat hari di pekuburan. Mata yang sama yang tidak dipejamkan melihat kesia-siaan manusia, tidak berpaling menyaksikan kegagalan manusia, dan tidak ngeri melihat kematian manusia.
"Tidak apa-apa," pesan mata Tuhan. "Saya sudah mengalami badai dan semuanya masih baik-baik saja."
Keyakinan-keyakinan sang perwira mulai memusat seperti sungai-sungai yang mengalir ke suatu tempat pertemuan. "Ini bukan tukang kayu," ia bergumam. " ini bukan orang biasa."
Ia berdiri melihat sekelilingnya kepada batu-batu yang jatuh dan langit yang menjadi hitam. Ia berbalik dan melihat kepada prajurit-prajurit yang memendang kepada Yesus dengan wajah yang beku. Ia balik lagi dan melihat bagaimana Yesus mengarahkan mata-Nya ke atas, ke rumah-Nya. Ia mendengar ketika bibir yang pecah-pecah itu terbuka dan lidah yang membengkak berbicara untuk kali terakhir.
"Ya Bapa, kedalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku."
Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, tentu prajurit-prajurit akan menyatakannya. Kalau bukan perwira itu yang mengatakannya, pasti batu-batu yang menyatakannya, seperti juga para malaikat, bintang-bintang, bahkan setan-setan. Tetapi dialah uyang mengatakannya. Orang asing tidak kebagian untuk menyatakan apa yang diketahui oleh semuanya.
"Sungguh, Ia ini adalah anak Allah."
Enam jam disuatu Jumat. Enam jam yang menjulang tinggi didataran sejarah manusia sepeti Mount Everest di sebuah gurun. Enam jam yang diuraikan, dibedah dan didiskusikan selama dua ribu tahun.
Apa arti dari enam jam itu? Mereka mengkalaim menjadi pintu dalam waktu dan melalui pintu itu kekekalam memasuki goa manusia yang paling gelap. Mereka menendakan saat-saat ketika Sang Navigator turun ke dalam air yang paling dalam untuk meninggalkan tempat-tempat berpaut bagi pengikkut-pengikutnya.
Apa arti Jumat itu?
Bagi penghidupan yang menjadi suram karena kegagalan, Jumat itu berarti pengampunan.
Bagi hati yang terluka bagi kesia-siaan, Jumat itu berarti tujuan.
Dan bagi jiwa yang melihat ke dalam terowongan kematian, Jumat itu berarti kelepasan.
Enam jam. Suatu Jumat.
Apa yang Anda lakukan dengan enam jam di Jumat itu?
Dikutip dari: "Enam Jam di Suatu Hari Jumat-Max Lucado
Diambil dari:
Judul majalah: Majalah abbageng Edisi April 1999
Penerbit : abbalove ministries
Halaman : 3 -- 5