Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain. (I Kor.2:15) Rasul Paulus mengajarkan suatu kebenaran yang sangat inti dan mutakhir pada jemaat P.B. yang adalah campuran antara Yahudi dengan Helenis. Penempatan Roh Allah ke dalam diri manusia pada zaman P.L. hanya terjadi pada para nabi saja. Faktor inilah yang menyebabkan para nabi memiliki kemampuan supranatural; menubuatkan hal-hal di depan bahkan melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh manusia biasa. Rasul Paulus memberitahukan jemaat Korintus bahwa pada zaman P.B. Allah menempatkan RohNya ke dalam diri setiap orang yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (I Kor.3:16). Ketika Roh Allah ditempatkan ke dalam diri manusia P.B. lahir baru, tidak berarti ia memiliki kemampuan nabi P.L., melainkan hanya menjadikannya milik Allah (Ef.1:13), serta memiliki kemampuan memahami hal-hal rohani. Rasul Paulus berkata, “tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” Rasul Paulus mau mengatakan bahwa hanya orang rohani saja yang mengerti perkara rohani, sedangkan manusia duniawi hanya mengerti hal duniawi. Sementara itu setelah manusia duniawi menjadi manusia rohani, ia masih tetap memiliki kemampuan duniawinya seperti membaca, berhitung, mengamati perkara politik, ekonomi, hukum, sosial dan lain sebagainya. Manusia rohani yang masih tinggal di dunia tetap menghidupi kehidupannya sebagaimana manusia duniawi seperti bersaing dalam perdagangan, bersaing dalam kanca politik dan lain sebagainya. Manusia rohani tetap melakukan kegiatan belajar dalam berbagai bidang, mengolah otak yang diberikan Tuhan. Intinya, setelah seorang duniawi menjadi seorang rohani, kemampuan duniawinya tidak berkurang sedikit pun. Yang berubah pada manusia rohani sesungguhnya adalah pandangan hidupnya serta penambahan kemampuan menilai perkata-perkara rohani. Jadi, betapa canggihnya seorang manusia rohani yang juga sangat terpelajar secara duniawi. Secara duniawi ia sebanding atau bahkan lebih mampu dari para manusia duniawi, sementara itu ia juga memiliki kemampuan rohani karena Roh Allah tinggal di dalam dirinya. Terlebih lagi jika ia mempelajari perkara-perkara rohani yang alkitabiah maka kemampuan duniawi dan rohaninya akan melampaui baik manusia duniawi maupun rohani. Ketika manusia duniawi menjadi manusia rohani oleh berita Injil yang diterimanya, ia perlu mendapatkan pengajaran yang alkitabiah. Alkitab adalah dasar pemikiran manusia rohani, ia adalah tolok-ukur bagi manusia rohani untuk menilai segala sesuatu. Prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam Alkitab plus pengolahan akal sehat adalah yang memampukan manusia rohani menilai segala sesuatu. Ketika seorang yang telah lahir baru dibesarkan atau dipupuk kerohaniannya dengan pengajaran doktrin yang tidak alkitabiah, maka ia tentu masih cakap menilai perkara-perkara dunia dengan akal sehatnya, namun tidak memiliki kemampuan menilai perkara rohani. Ia tentu lebih canggih sedikit daripada manusia duniawi karena ia memiliki Roh Allah karena ia telah lahir baru, tetapi tidak mampu mengukur secara doktrinal karena pengetahuan doktrinal kekristenannya tidak sesuai dengan Alkitab. Untuk menilai hal-hal doktrinal seorang manusia lahir baru mutlak memerlukan pengetahuan doktrinal yang alkitabiah. Pernah seorang dosen sebuah STT datang bersama beberapa orang ke ruang kerja penulis ingin mempresentasikan pemikirannya. Ketika ia memulai, ia berkata bahwa menurutnya para theolog dan termasuk dirinya, memahami hal rohani seperti orang buta yang berusaha mengenal gajah. Mendengar pernyataan awalnya, penulis langsung tak berminat mendengarkannya karena ternyata ia tidak memiliki sesuatu yang pasti menurut Alkitab, atau setidak-tidaknya sebuah pemikiran yang diyakininya berdasarkan Alkitab. Sikap kompromistis terhadap kebenaran mengikis kemampuan theolog menilai secara rohani. Penulis juga pernah bertemu dengan “hamba Tuhan” yang sesungguhnya menyadari bahwa pengajaran gerejanya tidak sesuai dengan Alkitab. Namun karena ia tidak sanggup mengubah, dan juga tidak rela keluar dari gereja tersebut, akhirnya sikap kompromistisnya keluar dengan berkata bahwa salah sedikit tidak apa-apa,yang penting masih tetap memiliki hal yang paling pokok yaitu memberitakan Yesus. Sikap kompromistis ini sudah pasti akan menumpulkan kemampuan menilai perkara rohaninya. Sesungguhnya tentu kita jauh lebih bisa memaafkan orang yang salah yang tidak tahu dirinya salah daripada yang tahu dirinya salah namun oleh satu dan lain hal (materi, jasmani dan duniawi) tetap mempertahankan atau membiarkan kesalahan itu. Sikap demikian adalah sikap yang tidak menempatkan kebenaran di atas segala-galanya dan akan menggerogoti kepekaan seseorang terhadap kebenaran.Orang yang salah namun tidak tahu dirinya salah sangat mungkin akan membela kebenaran ketika ia menemukan kebenaran, sedangkan orang yang tahu kebenaran namun mengabaikannya sedang bersikap negatif terhadap kebenaran. Lalu bagaimanakah cara seorang yang telah lahir baru untuk mengetahui apakah ia sedang di dalam gereja yang alkitabiah? Sebenarnya sangat gampang! Pertama, jangan menutup diri terhadap penjelasan, penguraian bahkan perdebatan doktrinal agar anda tahu dan yakin bahwa doktrin yang anda sedang percayai adalah doktrin yang kokoh kuat yang didasarkan pada Alkitab. Kebenaran yang tidak berani ditantang untuk diargumentasikan secara fair dan tanpa kekerasan, bukanlah kebenaran. Kedua, apakah doktrin yang anda percayai mendapat dukungan ayat-ayat Alkitab yang cukup? Apakah ada ayat yang menentang keyakinan anda? Contoh, Saksi Yehova tidak percaya bahwa Yesus itu Allah berdasarkan ayat-ayat I Kor.15:23, Kol.1:15-16, tanpa mempedulikan ayat yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Allah (Yoh.1:1-12, I Yoh.5:20 dll.). Ciri khas ajaran sesat ialah mengutamakan ayat tertentu sambil mengabaikan ayat-ayat lain. Padahal kata sulung di situ yang dalam bahasa Yunaninya proto jelas bisa diartikan yang paling awal, dan tentu Allah sendirilah yang paling awal dari semua ciptaanNya. Ketiga, selaras dengan akal sehat. Doktrin yang alkitabiah bukan hanya harus didasarkan pada ayat-ayat Alkitab melainkan alur-pikirnya juga harus berjalan sistematis. Dalam rangkaian pelajaran theologi, pelajaran Sistematika Theologi adalah yang disebut pelajaran doktrin, bahkan juga disebut the prince of theology. Maukah pembaca menjadi penggenap firman yang disampaikan Rasul Paulus? Manusia rohani menilai segala sesuatu dan ia sendiri tidak dinilai karena manusia duniawi tidak sanggup menilainya, atau pasti akan salah menilainya. Jadilah manusia rohani! Sumber: PEDANG ROH Edisi 41 Tahun X Oktober-November-Desember 2004