Jumat, 8 Oktober 2004, penulis dikejutkan oleh berita tentang dipanggilnya Bapak Agus Lay oleh Bapa di Sorga untuk menerima hadiah yang telah disiapkanNya baginya. Penulis sangat menghargai pelayanan dan segala jerih lelah beliau dalam memberitakan Injil. Sangat sedikit pelayan Tuhan di Indonesia yang sedemikian serius dalam melayani Tuhan hingga akhir hayat seperti Bapak Agus Lay. Sebagaimana biasa, acara diisi oleh berbagai kata sambutan. Di antara berbagai kata sambutan yang disampaikan, yang paling menarik hati penulis ialah yang disampaikan oleh Bapak Stephen Tong. Mungkin karena penulis sedang dalam suasana menulis Pedang Roh dengan judul utama Nyatakan Apa Yang Salah, sehingga kata sambutan Bapak Stephen Tong sangat mengena di hati penulis. Dr. Stephen Tong dengan lantang mengritik berbagai pihak dalam kata sambutannya antara lain orang-orang kaya yang tidak sungguh-sungguh mempersembahkan materi mereka untuk pelayanan. Orang seperti Drs. Agus Lay telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan sementara itu orang-orang kaya mempersembahkan hanya sebagian kecil dari berkat materi yang mereka terima, yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang mereka pakai untuk menyenangkan keluarga mereka. Kemudian beliau juga mengecam gereja-gereja yang tidak berfungsi dengan baik. Hadirnya LPMI (CampusCrusadefor Christ) yang notabene adalah parachurch adalah bukti kegagalan gereja demikian kata beliau. Tentu penulis sangat setuju dengan pernyataan beliau yang satu ini karena sesuai dengan konsep gereja lokal yang kita yakini. Sesungguhnya sedikit sekali theolog yang memahami Doktrin Gereja (Ecclesiology) yang alkitabiah. Faktor penyebabnya adalah baik Luther, Calvin, beserta teman-teman mereka tidak mereformasi sistem gereja katolik melainkan hanya mereformasi aspek soteriologi, bibliology dan lain sebagainya. Mereka tidak memahami hal yang paling dasar, yaitu perbedaan antara konsep tubuh Kristus itu satu jemaat lokal, dengan tubuh Kristus itu terdiri dari orang Kristen seluruh dunia (universal). Mempercayai tubuh Kristus itu terdiri dari satu jemaat lokal atau terdiri dari orang Kristen seluruh dunia adalah dua hal yang sangat berbeda. Karena yang satu adalah konsep dari Tuhan sedangkan yang lainnya adalah konsep dari iblis. Anti-Kristus dalam agendanya adalah, pada akhirnya ia menguasai dunia (Dan.2, Wah.13:11-18). Untuk menguasai dunia ia harus menguasai politik dan ekonomi. Dan kedua aspek ini akan dipakainya sebagai sarana untuk mengusai agama, yang adalah tujuan utamanya karena ia ingin memaksa setiap manusia menyembahnya. Tanpa mempersatukan semua tentu akan sulit menguasai semua. Tetapi jika ia berhasil menyatukan semua, menjadi one world goverment dan one world religion, maka ia akan lebih mudah menggenggam semuanya. Ketika seluruh kekristenan disatukan ke bawah satu pimpinan, maka pihak mana yang menguasai pimpinan itu akan menguasai semuanya. Sejarah kekristenan telah mencatat ketika seluruh gereja disatukan ke bawah satu gereja yang Am, atau katolik atau universal, dan ketika sang pemimpin disesatkan atau dikuasai iblis, maka seluruh organisasi itu diseret ke dalam kesesatan. Itulah sebabnya penulis yakin bahwa konsep dari Tuhan ialah satu tubuh Kristus adalah satu jemaat lokal, dan jemaat lokal yang adalah tubuh Kristus itu harus merdeka, independen, artinya tidak dibawah kuasa sinode, persekutuan, atau entah apalagi namanya. Tuhanlah yang mendirikan jemaat lokal yang independen diseluruh muka bumi. Tuhan tahu bahwa akan ada penyesatan, bahkan Tuhan katakan bahwa penyesatan itu pasti ada (Luk.17:1). Tetapi dengan tiap jemaat lokal independen, maka jika yang satu disesatkan, yang lain belum tentu. Bahkan jika gereja menerapkan perintah II Tim.4:1-5, berani menyatakan yang salah, menegor dan menasehati, maka yang salah kemungkinan bisa berbalik menjadi benar. Dan seandainya tidak bisa diperbaiki lagi, maka bisa diterapkan local church separation sebagaimana dinasehatkan dalam Tit.3:10, sehingga yang lain tidak perlu ikut-ikutan sesat. Gereja Lutheran, Calvinis, Methodis, kharismatik dan lain-lain yang tidak memahami tentang perbedaan antara Doktrin Gereja Lokal dengan Doktrin Gereja Universal (katolik) sedang diseret anti-Kristus ke dalam sebuah persatuan yang ujung-ujungnya akan dikuasai oleh anti-Kristus. Dr. Stephen Tong sangat lantang mengritik gereja gereja, namun sayang tidak menunjukkan jalan yang benar kepada gereja-gereja. Banyak gereja bukan hanya tidak berfungsi sebagai wadah pemberita Injil sehingga muncul parachurch, bahkan banyak gereja telah berubah menjadi perusahaan, dan hamba-hamba Tuhannya berubah menjadi pedagang, atau karyawan oportunis yang siap dibajak oleh yang berani membayar lebih tinggi atau memberi fasilitas yang lebih baik. Apa permasalahan intinya? Sesungguhnya permasalahan intinya ialah baik Luther maupun Calvin tidak mereformasi Doktrin Gereja, sementara para theolog pengikut mereka sudah terlanjur mengikutinya sehingga tidak enak hati untuk berubah total mengikuti yang lain. Misalnya seseorang dari lahir sudah di gereja Calvinis, atau di gereja yang memakai sistem sinode (dipaksakan Soeharto), sehingga tidak mengenal bahkan mendengar dan terus langsung menentang konsep Doktrin Gereja Lokal yang independen. Mengritik hal-hal sampingan sambil mengabaikan hal-hal inti adalah sebuah usaha menjaring angin, karena memahami perbedaan kedua konsep dengan semua konsistensi dan konsekuensinya adalah inti permasalahan yang dihadapi gereja masa kini. Penulis sangat kagum pada sikap Dr. Stephen Tong yang sangat berani mengritik kesalahan-kesalahan gereja. Memang, kebenaran itu bukan dicapai dengan marah-marah, apalagi dengan kekuatan fisik, melainkan dengan akal budi yang dikelola kedalam bentuk nasehat, teguran, bahkan kritikan tajam. Dan kalau tidak terasa dengan kritik ringan hingga tajam, mungkin karena sudah kurang sensitif, maka peluru terakhir ialah dengan kecaman pedas. Bapak Agus Lay telah dipanggil Bapa di Sorga, dan munculnya LPMI adalah teguran bagi gereja, karena jika gereja berfungsi dengan baik, artinya melakukan penginjilan dengan baik, maka LPMI dilahirkan. Atau sepatutnya gereja lokallah yang mendirikan LPMI yang posisinya di bawah otoritas gereja lokal. Tuhan Yesus datang dengan dua tujuan utama; yaitu menyelamatkan jiwa yang terhilang (Luk.19:10),dan membangun jemaat lokal (Mat.16:18). Tuhan tidak datang untuk mendirikan sekolah theologi, panti asuhan, yayasan penginjilan dan berbagai parachurch. Ia hanya mau mendirikan gereja lokal dan memberikan tugas kepada gereja lokal untuk menyelematkan jiwa yang terhilang dengan Injil serta membangun jemaat lokal secara multiplikasi (Mat.28:19-20). Selanjutnya, demi melaksanakan Amanat Agung sebaik-baiknya mendirikan berbagai parachurch. Jadi parachurch itu didirikan oleh church bukan didirikan oleh perorangan seperti Bill Bright. Dan parachurch harus berada di bawah otoritas gereja lokal, bukan berdiri sendiri. Terlebih salah lagi kalau parachurch itu tidak memiliki suatu keyakinan doktrin sehingga menganjurkan orang-orang yang berhasil diinjilinya untuk berjemaat di gereja mana saja. Tuhan Yesus menghendaki setiap gereja lokal melakukan dua hal besar, yaitu menginjil keluar dan mengajar kedalam. Jika setiap gereja lokal melakukan tugasnya dengan baik yaitu sungguh-sungguh berhasil menginjil keluar sehingga banyak jiwa diselamatkan, dan mereka dibawa masuk kedalam gereja dan berhasil diajar segala doktrin yang alkitabiah serta mengajar mereka menjadi mampu menginjil keluar, maka niscaya multiplikasi jumlah jemaat lokal akan berkembang pesat sehingga dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dunia akan dipenuhi gereja-gereja lokal independent alkitabiah. Tetapi mengapa, apa yang diinginkan Tuhan itu tidak tercapai? Jawabannya, para pemimpin gereja salah memahami firman Tuhan. Terutama salah dalam memahami Doktrin Keselamatan soteriology). Jika Allah telah memilih sejumlah orang untuk diselamatkan dan sejumlah orang menuju kebinasaan (konsep Calvinis), maka tentu tidak ada semangat penginjilan, bahkan tidak perlu dilakukan aktivitas penginjilan. Konsep Calvinis yang salah menyebabkan arah gerak gereja yang salah. Gereja berlomba-lomba membangun gedung yang mewah dan besar untuk menunggu orang pilihan datang, bukan pergi keluar melakukan penginjilan.Demikian juga dengan mahasiswa theolog yang dihasilkan oleh konsep ini. Mereka tidak sanggup melakukan penginjilan, melainkan hanya jago memimpin kebaktian (master of ceremony). Jika kondisi gereja dan pelayan Tuhan jebolan berbagai STT demikian, tentu sangat dibutuhkan lembaga penginjilan seperti LPMI dan lain sebagainya. Lebih kacau lagi dimana ada banyak gereja yang percaya masih eksisnya karunia kenabian atau karunia bernubuat. Mereka meleset dalam memahami dasar kekristenan yaitu Alkitab yang adalah satu-satunya firman Tuhan. Jika Alkitab bukan satu-satunya firman Tuhan yang benar, maka kekristenan tidak bedanya dengan semua agama yang lain. Sebaliknya jika Alkitab adalah satu-satunya firman Tuhan, maka konsekuensinya ialah kitab Wahyu pasal terakhir ayat terakhir adalah firman Tuhan yang terakhir (wahyu terakhir). Dan sesudah penurunan wahyu terakhir di pulau Patmos, Allah tidak menurunkan wahyu lagi, dan otomatis tidak ada karunia kenabian lagi zaman ini. Semua orang yang mengklaim diri mendapat wahyu dan bernubuat absolutely bukan dari Tuhan. Penulis sangat kaget mendengar Dr. Stephen Tong berkata bahwa gereja-gereja memerlukan pelayan Tuhan yang mempunyai karunia kenabian. Karunia kerasulan dan kenabian telah berhenti seturut dengan berhentinya proses pewahyuan. Sekarang yang dibutuhkan adalah karunia pemberitaan Injil, penggembalaan dan pengajaran (Ef.4:11). Pada aspek penyelenggaraan gereja, pembaptisan bayi telah mengacaukan konsep baptisan dengan keselamatan. Karena Yesus Kristus telah mati bagi dosa seisi dunia (I Yoh.2:2,Ibr.2:9),maka kesimpulannya semua bayi yang meninggal sudah pasti masuk Sorga. Mereka tidak perlu dibaptis karena baptisan untuk yang mau menjadi murid, bukan untuk kepastian masuk Sorga. Dapatkah anda lihat bahwa pembaptisan bayi mengacaukan konsep keselamatan? Demikian juga dengan pembaptisan orang yang sedang sekarat di rumah sakit. Orang yang sedang sekarat tidak membutuhkan baptisan melainkan berita Injil yang murni. Kalau ia bertobat dan percaya dengan segenap hati, maka ia pasti diselamatkan, tanpa perlu dilakukan pembaptisan. Justru pembaptisan akan menghantarnya ke neraka karena akan menyebabkan yang bersangkutan berpikir bahwa baptisannya telah menyelamatkannya. Tentu masih ada banyak hal yang perlu dibenarkan dari gereja-gereja yang ada di Indonesia. Kritikan tidak akan ada gunanya dan perbaikan tidak akan terjadi apabila seseorang menganggap diri di atas orang lain. Yang lebih tidak memungkinkan perbaikan lagi ialah sikap mematenkan sebuah konsep doktrin, atau mengikuti secara mati-matian seorang tokoh. Tetapi sebaliknya, jika semua pihak mau membuka diri untuk diskusi, rela mendengarkan pendapat orang lain, bahkan selalu berpikir kritis, maka gereja-gereja akan menuju posisi makin positif terhadap kebenaran. Dan jangan menyatakan seseorang salah tanpa menunjukkan poin-poin kesalahannya, apalagi tidak pernah mendengarkan pengajaran atau membaca bukunya. Melalui peristiwa pulangnya Drs. Agus B. Lay ke rumah Bapa di Sorga, kiranya semangat penginjilan kita akan lebih berkobar lagi. Terutama kita harus percaya bahwa keselamatan itu diperoleh dengan iman (Ef.2:8-9), bukan dipilih tanpa kondisi (unconditional election), dan iman itu timbul dari pendengaran (Rom.10:17), dan agar orang-orang bisa mendengar Injil, harus ada yang pergi memberitakan Injil (Rom.10:14), tentu akan ada orang yang pergi memberitakan Injil jika ada yang mengutus (Rom.10:15). Ingat, institusi satu-satunya yang ditetapkan Tuhan sebagai pengutus adalah jemaat lokal, bukan yayasan penginjilan.*** Sumber: PEDANG ROH Edisi 41 Tahun X Oktober-November-Desember 2004