Pancasila memang menampilkan hubungan yang baru antara agama dan Negara dalam sejarah umat manusia. Namun, Negara yang berdasarkan Pancasila itu bukan sesuatu yang baru bagi Indonesia. Keputusan untuk memilih Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila pada hakikatnya memiliki pengalaman sejarah yang amat panjang. Hanya saja proses mewujudkan Negara Pancasila itu masih mengalami banyak hambatan dan memerlukan perjuangan semua elemen bangsa di bumi pertiwi ini.
Diakui, pekanya hubungan antar umat beragama sesungguhnya tidak pernah menjadi suatu kenyataan dalam sejarah masuknya agama-agama di Indonesia. Mozaik agama-agama di Indonesia terbentuk dengan cara damai. Keberagaman bukan hanya ditemukan pada agama yang berbeda, tetapi dalam diri agama-agama itu sendiri, realitas keberagaman itu telah menjadi suatu kenyataan yang bukan merupakan keanehan.Oleh karena itu, benturan antar umat beragama yang terbaca jelas pada konflik bahkan telah megurbankan nyawa manusia yang tidak sedikit yang terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia hingga kini, mesti dilihat sebagai bukti bahwa agama-agama itu ternyata telah melupakan konteks dimana mereka berada, bukan karena pada hakikatnya agama-agama itu tidak mungkin memberikan kontribusinya pada ruang publik dan hanya cocok untuk ada dalam ruang privat agama. Kecenderungan untuk kembali pada tempat asal agama-agama itu berada yang umumnya bersifat homogen inilah yang membuat terlupakannya pengalaman indah agama-agama dalam keberagamannya di bumi Indonesia dan mengikis kesadaran interdepedensi agama-agama.
Menurut penulis, paras garang agama-agama tidak akan terus tampil jika agama-agama itu mau kembali melihat konteks dimana agama itu berada, yakni dalam Indonesia yang beragam. Bahkan, kontribusi maksimal agama itu akan menjadi suatu keniscayaan dikala semangat Pancasila yang dijiwai oleh ruh bhineka tunggal ika itu menjadi pilar utama pada peran agama dalam ruang publik. Kita tentu setuju, teriakan untuk kembali pada jalan Pancasila sebagai jalan yang paling bijak dan menguntungkan untuk Indonesia patut kita dengungkan bersama ditengah banyaknya alternatif yang kini ditawarkan sebagai pesaing, karena Pancasila adalah solusi tunggal bagi semua persoalan yang ada di Indonesia.
Komitmen terhadap Negara Pancasila itu seharusnya juga mempengaruhi politik agama-agama yang ada untuk menghadirkan agama sebagai pembantu bukan pengganggu pembangunan bangsa, bukan sumber persoalan, tetapi pemberi solusi, untuk menghapus wajah garang agama.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa kiprah agama-agama pada ruang publik yang kontributif sangat terkait erat dengan pelaksanaan rambu-rambu yang jelas.
Rambu-rambu itu tentunya harus berdasarkan pada Pancasila yang adalah payung yang lebar tempat perteduhan semua identitas agama yang ada. Dalam payung Pancasila itulah agama-agama yang beragam dapat disamakan dengan keluarga yang memiliki banyak anak, lebih tepatnya anak dengan banyak saudara meminjam istilah Eka Darmaputera.
Sebagai satu keluarga, sudah sepatutnya jika agama-agama itu memiliki kesadaran interdependensi, berbeda tetapi memiliki keterikatan satu sama lain.Inilah yang tercermin dalam Pluralitas agama yang adalah suatu fakta dalam NKRI. Realitas keberagaman itu telah terbentuk sejak ribuan tahun yang lampau. Pada perspektif itu juga dapatlah dipahami bahwa agama-agama di Indonesia hanya dapat memberikan kontribusi maksimalnya ketika memiliki kesadaran interdepedensi dengan yang lain.
Mengacu pada kesadaran diatas, penerimaan agama terhadap agama-agama yang berbeda seharusnya tidak boleh lagi mengikuti pola “anak tunggal”, melainkan “anak dengan banyak saudara”yang adalah hakikat dari pluralisme agama bukan relativisme, karena masing-masing anak berbeda, namun mereka berasal dari satu keluarga. Keunikan agama-agama harus tetap diakui, namun kebenaran agama tidak boleh diklaim hanya menjadi milik agama tertentu melainkan menjadi milik semua (inklusif), walaupun kebenaran itu secara bersamaan juga eksklusif.
Sepantasnyalah jika misi agama-agama kemudian bukan usaha untuk menuntut dominasinya dan secara bersamaan memarginalkan yang lain terlebih lagi menghapus eksistensi agama lain ( live and let die) yang adalah usaha bunuh diri bersama, karena usaha untuk membunuh saudara yang lain sama saja dengan bunuh diri bersama, itulah konsekuensi logis dari interdepedensi.
Hubungan antar agama juga bukan “live and let live” (peaceful-coexistence), pada kondisi ini memang ada pembicaraan antar agama yang berbeda itu. Bahkan tampak ada kedamaian, asal saja tidak ada gangguan dari yang lainnya. Tetapi ketika kehadiran yang lain itu membuat sempit ruang agama yang lain atau menjadi ancaman, disana terjadilah benturan antar agama, tanpa perduli dengan keharmonisan yang telah tercipta , karena pengakuan interdepedensi belum menjadi keberadaan yang sesungguhnya. Kenyataan itu terjadi karena agama-agama itu tidak saling bicara artinya dalam hubungan “live and let live” itu memang agama bertekad untuk tidak saling mengganggu namun belum muncul kesadaran interdepedensi. Indikasinya adalah partisipasi agama terhadap agama lainnya masih sangat minim. Agama-agama hanya peduli dengan masalah yang dihadapi oleh komunitas agama itu, belum kepada usaha untuk menjaga eksisitensi agama lain, sebagaimana layaknya seorang saudara dalam satu rumah.
Hubungan yang terbaik sebagai pola anak dengan banyak saudara tepatnya adalah creative-proeksistence (lihat, Benyamin Fleming Intan, “Public Religion and the Pancasila-based State of Indonesia”, New York : Peter Lang, 2006) , yang ditandai dengan usaha untuk saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran adanya interdependensi. Secara lugas Simatupang menjelaskan demikian, “Negara Pancasila tidak hanya mengakui kemajemukan agama itu. Yang ditonjolkan kedalam Negara Pancasila tidak hanya hidup berdampingan atau koeksistensi melainkan juga ko-operasi atau kerja sama antar agama berdasarkan tanggung jawab bersama dalam pengembangan kebudayaan, masyarakat dan Negara”. ( T.B.Simatupang, Membuktika ketidakbenaran suatu Mitos: Pustaka Sinara harapan, 1999).
Pada kondisi itu, agama-agama yang pasif bukan saja tidak boleh dibiarkan mati tetapi juga harus diaktifkan untuk memberikan kontribusinya, karena terhapusnya eksisitensi satu agama akan berpengaruh pada merosotnya peran agama yang lain. Usaha menghapus agama lain merupakan bunuh diri kedua belah pihak. Apabila kesadaran interdepedensi ini terus bertumbuh maka tentulah maksimalisasi agama dalam ruang publik dapat dimungkinkan.
Mengakui interdepedensi agama-agama bukanlah pernyataan kelemahan dan ketidak sahihan suatu agama, sebaliknya itu merupakan ungkapan hati yang tulus dan jujur tentang keterbatasan agama-agama itu. Tetapi, pada pengakuan yang tulus dan jujur itulah agama-agama justru dapat memainkan perannya yang maksimal bagi kesejahteraan umat manusia.
Binsar A. Hutabarat
0818829934 (http://www.gratias21.blogspot.com)
Comments
agama ?
Sun, 12/10/2008 - 09:56 — uangmakanapa arti kata agama ? lalu bagaimana kenyataannya ? walau menyembah berhala... dibiarkan saja ? Apakaha BAPA di Sorga / YHWH suka dengan hal tersebut ?
uang makan
Mon, 13/10/2008 - 09:24 — Binsar Antoni H...bagi Kuyper, seorang teolog Kristen, hidup ini adalah agama, ini dapat dimengerti karena Allah menanamkan kebenarannya pada semua manusia, karena itu pembatasan jumlah agama di Indonesia melanggar HAM.
Kalau kita mau teliti agama di dunia ini hanya terbagi dua bagian, theisme dan monisme, jadi agama apapun mendapat hak untuk berada, karena Tuhan yang mengijinkan itu ada.
Kita boleh mengatakan Tuhan tidak senang dengan mereka yang tidk menyembah Tuhan, menurut keyakinan agama seseorang, tetapi karena Tuhan mengijinkan itu, maka siapapun dia tidak boleh melarang orang lain menyakini agamanya, apapun yang dia masu sembah itu hak orang itu, kita hanya wajib menyaksikan apa yang kita percaya, yaitu Injil, tanpa bujukan dan paksaan, apalagi penipuan.