I. Pendahuluan
Kabar akan diberlakukannya perda bernuansa Kristen di Manokwari, Papua Barat menimbulkan kontroversi, baik dalam kalangan Kristen itu sendiri, maupun juga dari umat Islam yang secara langsung merasa terdiskriminasikan, bahkan PGI dan KWI telah jauh-jauh hari menyatakan penolakannya. Menurut berita-berita di media massa, draft perda kota Injil yang telah beredar, tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya secara langsung isinya terindikasi ada yang membelenggu kebebasan beragama, khususnya kaum muslim.
Meski Raperda kota Injil itu sendiri sesungguhnya belum ada, namun telah direspons dengan amat kuat lantaran isi draft yang beredar itu jika kemudian dijadikan perda dikhawatirkan akan berisi nilai-nilai yang bersifat diskriminatif. Apalagi draft usulan itu telah beredar luas tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya, serta tanpa penjelasan yang utuh, maka tidaklah mengherankan komentar yang hadirpun sangat beragam, karena umumnya lebih didasarkan pada asumsi, bukan fakta, dan tampaknya telah menimbulkan dampak negative berupa polarisasi agama, baik dari penggagas, maupun mereka yang menentangnya.
Reaksi yang begitu riuh sekitar perda kota injil itu tampaknya mendapatkan tempatnya ditengah maraknya perda bernuansa agama yang dihadirkan dibeberapa daerah di Indonesia. Meski kehadiran perda-perda bernuansa agama (perda syariah) itu diklaim terlahir secara demokratis, tetap saja penetapan perda bernuansa agama itu telah mendiskriminasikan agama-agama lain, bahkan meski pembahasannya telah menuai protes, perda bernuansa agama itu dengan dukungan mayoritas masyarakat setempat tetap saja diberlakukan, setidaknya itu telah ditetapkan di 26 daerah di Indonesia.
Kekhawatiran mereka yang tidak setuju untuk ditetapkannya perda kota Injil tidaklah mengherankan. Respons penolakan terhadap pemberlakuan perda Manokwari Kota Injil itu lebih bergemuruh dibandingkan yang mendukungnya, khususnya dari luar Papua, namun, sebagaimana keberhasilan ditetapkannya perda-perda bernuansa agama meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, demikian juga dikuatirkan, perda Manokwari Kota Injil yang dianggap perda bernuansa agama Kristen itu akan mengalami keberhasilan sebagaimana perda-perda bernuansa agama Islam.
Memang draf awal yang beredar adalah perda pembinaan mental dan spiritual yang digagas oleh komunitas Kristen, karena penggagasanya adalah umat Kristen, dalam hal ini gereja pada khususnya, maka tidaklah mengherankan jika perda itu dianggap sebagi perda agama Kristen, meski belum tentu merupakan aspirasi semua umat Kristen. Namun, bukan mustahil perda itu akan mendapatkan dukungan dari umat Kristen Papua sebagai agama mayoritas, meski penolakan terhadap perda itu cukup kuat, khususnya yang berasal dari luar Manokwari, Papua Barat, tapi dengan adanya otonomi khusus untuk Papua, apalagi 20 orang anggota DPRD kabupaten dari jumlah 25 anggota DPRD kabupatennya adalah umat Kristen, bisa saja timbul anggapan, wakil-wakil umat Kristen yang mayoritas itu tentulah akan berusaha untuk menyetujui usulan perda itu.
Melihat kontroversi yang begitu kuat sekitar perda Injil itu, apalagi pembahasannyapun belum dilakukan, maka Reformed Center for Religion and Society merasa perlu untuk memberikan kontribusinya untuk mengetahui lebih jelas dengan hadir di kota Manokwari untuk mewawancarai sumber-sumber yang dianggap berkompeten untul hal itu, dan kemudian mencoba memberikan solusi yang bermanfaat.
Informasi yang hendak di dapat dalam wawancara serta survey melalui angket antara lain, untuk apakah usulan perda itu dibuat, dan permasalahan apakah yang coba dipecahkan? Apakah pemberlakuan perda itu memang suatu kebutuhan, dan siapakah yang menggagasnya? Kemudian bagaimana merancangnya dan apakah itu efektif, jika memang mesti dilakukan dan bagaimana menghadirkan perda yang tidak diskriminatif.
Penelitian ini juga berusaha untuk mengkaji, apakah usulan perda kota Injil terindikasi telah menciptakan polarisasi agama, baik antar agama maupun intra agama, dan apakah polarisasi agama itu makin kuat setelah beredarnya draft usulan perda itu, ataukah kehadiran perda Manokwari kota Injil merupakan usaha agama untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan public, dan apakah ada dampak negative peran public agama, dan jika ada, mengapa itu bisa terjadi.
Polarisasi agama di Manokwari jika terjadi, tentunya sangat berbahaya, dan akan menutup dialog antar agama, dan dapat mengarah pada konflik antar agama. Penelitian ini juga akan berusaha melihat hal positif dan negative yang mungkin ada dari usulan perda tersebut, untuk kemudian memberikan pemikiran-pemikiran berupa solusi yang bermanfaat.
II. Manokwari Selayang Pandang.
Manokwari adalah ibu kota provinsi Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat), merupakan pemekaran dari provinsi Papua (Irian Jaya). Nama Irian adalah pemberian dari Soekarno, meski sesungguhnya orang Papua tidak menyenangi sebutan itu.
Nama Irian Jaya Barat ditetapkan oleh undang-undang nomor 45 tahun 1999, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2007 tanggal 18 April 2007, Nama Provinsi Irian Jaya Barat itu dirubah menjadi Papua Barat. Kini di Papua telah terbentuk dua Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Saat ini juga sedang digagas untuk pemekaran wilayah lagi dengan tambahan provinsi Papua Selatan. Pemekaran wilayah itu sendiri menimbulkan pro kontra, apalgi gagasan awalnya berasal dari pusat bukan berasa dari daerah Papua itu sendiri yang dimulai dari dewan adat Papua. Meski kehadiran provinsai Papua Barat menimbulkan kontroversi, namun, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan, meski pada umumnya orang Papua tak ingin terpisah menjadi beberapa provinsi, karena mereka merasa satu, yaitu Provinsi Papua.
Wilayah Provisni Papua Barat meliputi kawasan kepala burung pulau Papua adan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi Papua Barat oleh Samudra pasifik, bagian barat berbatasn dengan Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku, sedang dibagian timurnya dibatasi oleh Teluk Cendrawasih, bagian selatan dengan laut Seram dan tenggara berbatasn dengan Provinsu Papua.
Meski Provnsi Papua Barat telah menjadi provinsi sendiri, Provinsi ini tetap mendapat perlakuan khusus seperti juga provinsi induknya, yaitu Papua. Pada tanggal 5 Aprl 2004, provinsi ini juga telah mempunyai KPUD yang telah berhasil menyelenggarakanpemilu untuk pertama kalinya.
Papua Barat merupakan daearah yang memiliki potensi luar biasa, baik kesuburan alamnya, kandungan barang-barang tanbang, hasil hutan maupun keindahan alamnya sebagai temapat pariwisata. Belum lagi hasil laut seperti mutiara dan rumput laut. Papua Barat juga telah memiliki industri tradisional tenun ikatkain Timor yang dihasilkan di Sorong. Papua Barat sendiri terbagi atas 9 Kabupaten dan Kota, yitu : Kabupaten Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kota Sorong. Sedang Manokwari sebagai ibu kota Provinsi terbagi atas 12 kecamatan dan 132 desa.
Kabupaten Manokwari biasa disebut sebagai kota buah-buahan, karena kesuburan tanahnya yang menghasilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli Manokwari terdiri dari beberapa suku, yaitu Sough, Karon, Hatam, Meyeh dan Wamesa, suku-suku itu memiliki budaya yang berbeda satu sama lain.
Manokwari dibatasi oleh Samudra pasifik di sebelah utara, Kabupaten nabire dan Kabupaten Panial di sebelah Selatan, Kabupaten Biak Numfor di sebelah Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong. Topografi Manokwari umumnya adalah daerah berbukit dan dataran tinggi, atau sekitar 80% dari luas wilayahnya. Manokwari tergolong daerah beriklim basah, curah hujan disana cukup tinggi, rata-rata 2688 mm per tahun, hutan rata-rata 123 hari pertahun. Suhu anatara 26 derajat selsiussamapi 32 derajat Celsius dan kelembaban rat-rat 84,7 % dan intesitas matahari 54,3 %
III. Kota Buah menjadi kota Injil
Sebutan Manokwari Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua, hanya saja, sebutan itu baru diangkat setelah adanya otonomi khusus. Pergantian nama Manokwari sebagai kota buah-buahan yang kini menjadi Kota Injil itu juga terkait usaha pencarian kekhususan Papua yang dilakukan oleh masyarakat Kristen Papua, dengan mengangkat kembali peristiwa sejarah yang mengawali peradaban baru di Papua yang merupakan buah dari penerimaan Injil oleh masyarakat Papua.
Sejarah melaporkan bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, mengucapkan kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua, yang mengatakan, “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini.” Pernyataan dua missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai kota Injil, sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Kristen Papua yang adalah mayoritas itu sepakat untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah kota buah-buahan menjadi kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas histories dari daerah manokwari.
Keinginan agar julukan kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari sesungguhnya bukan semata-mata terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat akan keberadaan Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil ke tanah Papua, sebagimana diungkapkan beberapa tokoh agama di Manokwari, karena ada diantara mereka yang berpendapat bahwa itu adalah usaha melestarikan nilai-nilai Injil yang terbukti telah mengangkat kehormatan masyarakat Papua, dan secara bersamaan merupakan aspirasi masyarakat Papua untuk mendapatkan harapan baru dari ketertinggalan mereka disbanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Meski kekayaan sumber alam Papua 2 kali ;ebih banyak dibandingka kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Mereka berharap, Injil yang telah merubah kehidupan masyarakat Papua yang berada dalam kegelapan, hidup dalam kecurigaan, kebencian, saling memangsa sesamanya (mengayau), dan oleh injil itu mereka telah diperdamaikan. Maka mereka juga berharap penetapan Manokwari kota Injil akan menyadarkan masyarakat untuk berjuang mengatasi ketertimggalan mereka. Kekayaan alam yang melimpah ruah di Papua ternyata tidak berdampak banyak bagi kemajuan masyarakat Papua, karena itu harapan mereka kini berbalik pada Injil yang telah mengakat martabat masyarkat Pappua, sehingga seorang tokoh perempuan Papua mengatakan, itu adalah hak-hak dasar masyarakat Papua. Penetapan Manokwari kota Injil diharapkan akan menuntut penduduk kota Manokwari menjaga kelestarian nilai-nilai Injil yang mulai itu dengan hidup sesuai dengan kebenaran Injil.
IV. Lahirnya Raperda Kota Injil
Usaha untuk memberikan julukan Manokwari sebagai Kota Injil itu sesungguhnya mendapatkan momentumnya setelah aksi demo terhadap pembangunan Mesjid Raya, dengan Islamic Centernya, menurut Pdt. Dimara, Gembala Sidang GKI Elim Koali, Gereja kedua yang dibangun setelah Gereja GKI di pulau Mansinam, luas tanah yang diperuntukan bagi pembangunan Mesjid Raya itu 1 hektare, apalagi posisinya yang sangat strategis, dekat lapangan Udara manokwari, setiap orang yang akan memasuki kota Manokwari tentunya akan melihat mesjid raya yang besar itu, jika jadi dibangun. Kehadiran Mesjid raya itu juga akan melampaui besarnya gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah mayoritas, hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris Sinode GKI, yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menurutnya, persiapan untuk membangun mesjid raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004, itu mengherankan, karena umat muslim tahu, di Kota Manokwari, setiap tahun ada perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulan Mansinam, dan perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya, dari berbagai daerah di Papua tumpah ruah di pulau Mansinam, dan pemerintah juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu.
Pendirian mesjid raya oleh umat Kristen, bermula dari GKI yang kemudian menggandeng gereja-gereja lain, sebagai tindakan yang anti toleransi. Sebagai penganut agama Mayoritas tindakan membangun mesjid raya adalah pengabaian eksisitensi Kristen Manokwari, dan itu menimbulkan perasaan terancam di kalangan umat Kristen, Kota Manokwari yang secara histories diakui sebagi kota Injil, dan ditempat itu setiap tahun dirayakan masuknya Injil di Papua, ingin dirubah menjadi kota berbasis muslim, setidaknya dengan cara menghadirkan Mesjid Raya itu, Apalagi pertambahan masyarakat Muslim di Papua cukup signifikan, dan pertain-partai Islam di Papua pada pemilu 2004 telah mengklaim bahwa umat Muslim di Papua sekitar 40% dan terus mengalami pertambahan. Keberhasilan perkembangan agama Islam di Papua itu dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan pembangunan rumah ibadahnya yang besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah mencukupi.
Kemudahan yang selama ini diberikan kepada umat Muslim ternyata tidak demikian yang dialami oleh umat Kristen di daerah-daerah lainnya, apalagi laporan jumlah gereja yang terbakar atau dirusak juga dilaporkan dalam demonstrasi Mesjid Raya. Gema Indonesia sebagai negara dimana pembakaran rumah ibadah, khususnya gereja yang terbanyak di dunia tentu saja menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua yang terkenal amat toleran, belum lagi pendatang yang umumnya beragama Islam umumnya lebih kaya dibandingkan masyarakat Papua sendiri dn itulah yang kemudian melahirkan aksi demo masyarakat Kristen yang pada intinya berisi penolakan terhadap pembangunan mesjid raya itu.
Usaha menghadirkan mesjid raya yang besar, bahkan ada yang mengatakan akan menjadi Islamic center yang terbesar di Asia Tenggara, segera saja itu menimbulkan protes masyarakat Gereja, apalagi memang ada selebaran yang mencoba memancing di air keruh dengan menyebarkan jumlah gereja-geraja yang dirusak, dibakar di luar Papua, khususnya di pulau Jawa untuk menumbuhkan rasa sentimen keagamaan, tapi menurut beberapa peserta, alasan utamanya adalah mereka tidak setuju jika agama minoritas di Manokwari, dalam hal ini Islam, membangun tempat ibadah yang amat megah, melampaui kemegahan gereja-gereja yang ada, apalagi tempat-tempat ibadah yang tersedia masih mencukupi untuk digunakan.
Pada tanggal 17 November 2005, ada kira-kira 5000 orang lebih pendemo yang memprotes pembangunan mensjid raya tersebut, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa Kristen, warga Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja yang berasal dari 30 denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi Papua Barat, sebelumnya mereka berkumpul di Gereja dekat kompleks DPRD, GKI Maranatha, kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD kabupaten Manokwari. Demonstran itu diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua Barat yang didampingi Bupati Manokwari, Kapolres dan Dandim setempat. Pada waktu itu juga para pendemo mendesak membentuk Perda Manokwari kota Injil, namun tetap setuju dengan mengikut sertakan kelompok agama-agama lain, agar ada saling pengertian dan rasa saling bertoleransi, serta memiliki persepsi yang sama mengenai Manokwari sebagai kota injil. Mereka juga berharap, pembangunan tempat-tempat ibadah mesti memperhatikan keberadan Manokwari sebagai kota injil, sehingga peristiwa pembangunan mesjid raya yang menimbulkan rasa terancam umat Kristen itu tidak akan terulang lagi, hal itu dapat dimengerti karena bisa jadi usaha untuk kembali membangun mesjid raya itu akan terus dilakukan dengan menempuh berbagai macam cara. Sejak aksi demo itu wacana Manokwari kota Injil mulai sering diperdengarkan dalam pidato-pidato tokoh-tokoh agama di Papua.
Menurut Yulio yang adalah koordinator pemuda Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua, yang juga menjadi koordinator lapangan aksi demo menjelaskan, Aksi demo itu berlangsung secara damai, tanpa ada pengrusakan apapun, ini adalah bukti bahwa masyarakat Kristen Papua yang berada di Papua tanah damai, tidak berniat untuk membelenggu kebebasan beribadah kaum Muslim, sebagaimana dilakukan beberapa komunitas umat muslim yang telah merusak dan membakar gereja, bahkan telah mengakibatkan korban nyawa manusia, seperti di Situbondo misalnya, yang hampir saja menyulut kemarahan masyarakat Kristen Papua, tapi itu tak terjadi karena tokoh-tokoh agama yang memang disegani masyarakat dengan segera menenangkannya. Ia juga menjelaskan, jumlah mesjid yang kini ada di Papua cukup untuk menampung kaum Muslim beribadah, jadi untuk apa lagi membangun mesjid raya yang besar itu, bukankah itu tanda tidak ada lagi penghargaan terhadap umat Kristen yang adalah mayoritas.
Demo damai itu memang hampir saja menyulut kemarahan massa pendemo karena adanya komunikasi yang tidak lancar, tapi bukan benturan antar agama. Penurunan spanduk yang dibawa pendemo yang bertuliskan penolakan pembangunan mesjid raya oleh departemen agama sempat direspons negative, yaitu sebagai penolakan terhadap aspirasi massa pendemo, namun, setelah ada klarifikasi bahwa penurunan spanduk mesti dilakukan karena sesungguhnya pemerintah telah mendengar tuntutan pendemo, maka salah paham itu pun reda dan tidak melahirkan konflik. Itu adalah bukti bahwa masyarakat Papua hidup dengan toleransi yang tinggi, dan di tanah Papua, Manokwari tidak pernah ada perusakan atau pembakaran tempat ibadah agama apapun, fakta itu diakui oleh tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dan juga pejabat setempat.
Sikap toleransi maasyarakat Papua yang tinggi itu juga terbukti dengan diijinkannya masyarakat muslim di Manokwari melakukan sembahyah Ied pada perayaan Idul Fitri di 4 lapangan Bola yang terdapat di Manokwari. Massa yang membanjiri lapangan-lapangan bola itu dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik, tanpa gangguan berarti, suasana tenang dan damai menyelemuti perayaan hari raya Idul Fitri tanggal 13 Oktober 2007. Spanduk-spanduk ucapan selamat hari raya menghiasai kota Manokwari, dan itu berasal dari komunitas yang amat beragam.
Selang beberapa bulan kemudian setelah aksi demo mesjid raya, dalam usaha untuk mengukuhkan keberadaan Manokwari kota Injil, dihadirkanlah perda larangan minum minuman keras pada bulan Desember 2006. Perda itu diakui sebagai nilai-nilai Injil, meski juga diterima oleh umat beragama lain, karena memang nilai-nilai itu bersifat universal. Perda itu diakui berasal dari nilai-nilai Injil karena penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam hal ini gereja-geraja.
Dalam suatu seminar tentang perda Miras 98% peserta yang mewakili gereja, agama, pemuda, komponen wanita mengangkat tangan untuk menunjukan persetujuannya, beberapa orang yang tidak setuju menurut Amos wakil ketua DPRD Kabupaten, dan Yulio koordinator pemuda GKI umumnya adalah para distributor Miras.Usulan itu kemudian juga diterima oleh pemda dan mendapatkan persetujuan DPRD Kabupaten, keberhasilan penerapan perda larangan minuman keras itu kemudian dicontoh oleh daerah-daerah lainnya di Papua.
Memang dalam penetapan larangan Miras itu, minuman keras yang telah ada, terlanjur dibeli pedagang sebelum penetapan perda, masih diijinkan untuk dijual sampai habis, dan baru kemudian tidak boleh lagi di pasok untuk kemudian dijual kembali. Pemerintah juga diminta memikirkan mata pencaharian pengganti untuk mereka yang menjadi penjual minum-minuman keras, agar tidak menambah jumlah pengangguran yang akan berakibat pada tindakan-tindakan kriminal.
Kelahiran perda larangan minuman keras itu ternyata cukup efektif untuk menjaga keindahan kota Manokwari sebagai kota Injil, setelah penetapan perda itu, Manokwari bukan hanya bebas dari para pemabuk pada siang hari, tapi juga pada malam hari. Perda ini dianggap sebagai nilai-nilai Injil yang universal dan dapat diterima oleh semua, atau agama apapun. Perda Miras yang juga di motori oleh pemimpin-pemimpin agama Kristen itu menumbuhkan suatu keyakinan bahwa usaha menghadirkan perda kota injil tentu bukanlah sesuatu yang diskriminatif, karena nilai-nilai Injil yang universal itu pastilah diterima oleh semua agama yang ada di Papua, khususnya Manokwari, apalagi itu bukanlah perda agama, sebagaimana draf awalnya berjudul Perda Pembinaan Mental dan Spiritual.
Pada tanggal 1-2 Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua, diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda, bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali. Pada akhir seminar itu diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang pada awalnya diberi nama “Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”. Usulan tersebut kemudian dituangkan dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian menyebar tidak diketahui siapa yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita itu menjadi laporan utama di majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.
Manokwari yang terletak jauh di ujung Timur itu kini menjadi buah bibir bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, serta seorang pengurus radio swasta di Papua. Meski itu baru wacana menurut pengakuan beberapa orang, dan tidak popular di Manokwari, tetapi sebaran informasinya bergerak dengan amat cepatnya kemana-mana, bahkan tidak sedikit yang beraksi keras dan melakukan demo penolakan, meski terkadang informasi yang diterima tidak jelas, karena memang itu baru berupa usulan.
V. Perda Kota Injil dan persoalan diskriminasi
Tampaknya dengan maraknya perda-perda bernuansa agama yang terbukti diskriminatif, reaksi penolakan terhadap usulan itu menjadi begitu kuat. Pada tingkat kabupaten, usulan itu dianggap akan disetujui karena 20 orang dari 25 anggota DPRD kabupaten adalah umat Kristiani. Namun, Pejabat di Manokwari, juga tokoh-tokoh agama disana berkomentar, kami tidak mengerti mengapa itu menjadi berita besar, sedang kami di Manokwari tenang-tenang saja. Wakil ketua DPRD kabupaten, Amos, menjelaskan, “memang saya pernah di wawancarai Koran ibu kota, namun setelah saya melihat isi beritanya, sama sekali berbeda dengan apa yang saya katakan. Demikian juga dengan komentar MUI Papua, komentarnya sesungguhnya tidak didasarkan pada pengertian yang benar, karena kami belum pernah melakukan dialog, jelas terjadi salah pengertian, apalagi sesungguhnya perda kota injil itu sendiri belum ada dan masih berupa usulan dalam hal ini berasal dari komunitas Kristen.
draft berupa usulan pemimpin-pemimpin gereja itu, khususnya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, sebagai pelopor utama yang juga kemudian mengikut sertakan gereja-geraja lainnya, ternyata memiliki pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Kenyataan adanya pasal-pasal yang diskriminatif tersebut diakui dengan jujur baik oleh tokoh-tokoh agama di Papua yang telah membaca isi draf tersebut, khususnya Badan Kerja sama Gereja (BKSG), juga pejabat di kabupaten Manokwari, namun mereka tetap bersikukuh itu bukanlah perda, tapi masih merupakan usulan masyarakat Kristen Papua, khususnya GKI, dan itu wajar saja, apalagi itu harus melewati pembahasan bersama, dan tentu saja nilai-nilai yang bersifat diskriminatif terhadap agama-agama lain tidak akan disetujui dalam arti akan mengalami revisi.
Secara tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, “Perda Manokwari Kota Injil belum pernah ada!” yang ada hanyalah usulan dari masyarakat Kristen, usulan tersebut telah kami terima, namun itu mesti melewati team legislasi, untuk kemudian disusun dalam bentuk perda, dan dalam proses penyusunan itu bisa saja bagian-bagian yang dianggap diskriminatif itu dihilangkan, apalagi usulan itu dihadirkan sebagai respons terhadap pidato-pidato tentang Manokwari Kota Injil, ada pertanyaan, jika Manokwari Kota Injil, isinya apa, dan usulan yang dituangkan dalam bentuk format perda itu adalah usulan dari isi Manokwari Kota Injil.
Hal itu juga ditegaskan kabag hukum Manokwari, menurutnya Perda Manokwari Kota Injil, yang usulan awalnya adalah Perda pembinaan Mental dan Spiritual itu bukan perda agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai-nilai Injil yang adalah perintah Tuhan, dengan perda yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai Injil itu sendiri. Jadi kami menampung usulan itu dan akan disusun oleh team legislasi dalam bentuk bentuk format raperda untuk kemudian diadakan pembahasan, dan kemungkinan pembahasan itu akan dilaksanakan bulan januari 2008. Ia juga mengatakan, dalam raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua.
Sekda Manokwari juga mengatakan, bahwa pemerintah daerah sendiri masih menunggu perdasus yang akan memayungi usulan itu, karena Majelis rakyat Papua pernah membuat ketetapan bahwa Manokwari daerah berbasis religius Kristen, Fak-fak, Muslim, dan Merauke berbasis agama katolik, jadi jelas tidak ada diskriminasi disana, itu justru untuk menjaga kedamaian antar umat beragama di Papua yang sejak lama terjaga dengan baik, dan dengan makin terbukanya Manokwari sebagai konsekwensi menjadi ibu kota provinsi, membanjirnya pendatang ke Manokwari tentu saja tak dapat dihindari, dan untuk itu perlu aturan untuk tetap menjaga keindahan manokwari. Namun, menurut Kabag Hukum Manokwari, usulan dari komunitas Kristen itu baik, hanya saja tentu tidak boleh mengatur hal-hal yang berkenaan dengan umat beragama lain. Memang ciri khas kota Injil dengan keceraiannya perlu ada. Meski ia juga mengatakan telah berkonsultasi dengan depdagri, bahwa yang bisa mengatur perda agama itu hanya Aceh, sedang Papua mesti berdasarkan budaya, usualan itu juga sudah mendapat kajian apakah bertentangan dengan HAM atau tidak. Ia juga mengatakan, pusat memang telah menyatakan penolakannya, tapi mereka belum melihat. Ia juga mengakui dalam draft usulan itu ada point-point yang bersifat diskriminatif, tapi itu akan dihilangkan.
Menurut Pdt Sherley, dalam semiloka yang menggagas usulan perda kota Injil itu umat Kristen yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat suatu perda yang akan membuat masyarakat Manokwari hidup yang menjadikan ciri Manokwari sebagi kota Injil. Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh diijinkan ditetapkan perda syariah, maka mengapa kami tidak boleh menetapkan perda kota Injil, lagi pula perda koyta Injil berbeda dengan perda syariah yang diskriminatif, sedang perda kota injil tidak bersifat diskriminatif,
Kehadiran perda itu memang diharapakan khususnya oleh masyarakat Kristen Papua, meski itu pun masih menjadi polemik dalam gereja-geraja, tapi pada prinsipnya mereka sepakat, jika usulan itu akan dijadikan perda perlu ada dialog dengan semua kelompok agama yang ada di Papua, dan mesti mendengarkan masukan dari komunitas agama-agama lainnya.
Menurut Pendeta Bastian sanbalai, salah seorang pembicara dalam semi loka dan yang juga memberikan kontribusi usulan untuk pembuatan perda pembinaan mental dan spiritual itu, aturan yang akan ditetapkan dalam perda itu adalah nilai-nilai yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai universal itulah yang kami usulkan, jika kemudian ada usulan-usulan yang tampak berisi nilai-nilai yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan, hanya saja memang perda itu merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari usaha-usaha islamisasi yang gencar dilaksanakan di Papua. Misalnya saja tentang penggunaan Jilbab, ia berkomentar, itu merupakan atribut Islam, yang otomatis juga media penyebaran agama, kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai seragam khusus, mengapa mesti ada perbedaan atau kekhususan? Jadi, tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. Komentar ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama lainnya dan juga pejabat di kabupaten Manokwari.
Selain tentang penggunaan Jilbab, yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa melihat latar belakang usulan tersebut menurut mereka adalah persoalan larangan kegiatan publik pada hari minggu, tokoh-tokoh agama, menjelaskan, kehadiran kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya pengojek lebih memilih untuk tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja, karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu, atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal itu juga dinyatakan oleh anggota DPRD Propinsi, ia mengatakan, dulu kami tidak ada yang bekerja pada hari minggu, hari itu adalah untuk beribadah, tapi kini, hari itu tidak lagi dipedulikan, karena itu perlu aturan untuk mengingatkannya.
Hal lain yang menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas, kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini.
Sedang mengenai ijin pendirian tempat ibadah, itu semua sudah diatur oleh pemerintah, jadi wajar saja jika kita meminta mesjid pun perlu mendapatkan ijin dari masyarakat, setidaknya harus mendapatkan ijin dari 150 anggota masyarakat setempat. Menurut beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi kami perlu memberikan proteksi pada umat kami, agar kehadirannya juga dihargai, dan kami tidak mencontoh Aceh yang mengharuskan semua orang non Muslim di Aceh Berjilbab, kami hanya meminta ada keteraturan, untuk menjaga toleransi yang telah tertanam kuat di Papua ini terjaga dengan baik.
Wakil Ketua DPRD Papua, Amos, mengatakan, jika usulan itu berupa perda pembinaan mental dan spiritual tentu saja saya menyetujuinya. Realitas degradasi moral yang terjadi di Papua memerlukan penanganan yang serius, kehadiran perda larangan minuman keras meski belum maksimal, setidaknya telah mengubah Manokwari menjadi lebih aman, khususnya dari ancaman para pemabuk yang sering mengganggu, baik rumah-rumah penduduk, maupun pedagang dan pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor, karena itu demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua yang dulunya telah mengalami pembaharuan oleh Injil. Maka perda itu diperlukan.
Pdt. Dimara mengatakan, dulu tempat kami ini aman, tidak ada pencuri, jika ada barang hilang, atau tertinggal dimanpaun tidak ada orang yang akan mengambilnya. Tapi, sekarang jika kita tidak hati-hati barang-barang kita bisa dicuri orang, demikian juga jemuran pakaianpun bisa diambil pencuri, ini adalah bukti kemerosotan moral yang terjadi, belum lagi dengan banyaknya pemabuk, yang membuat mereka tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan juga mengganggu orang lain, itu adalah bukti telah lunturnya nilai-nilai injil di Papua. Untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut perlu dihadirkan suatu perda yang akan menjadi panduan bagaimana seharusnya masyarakat Papua hidup di Kota Injil ini.
VI. Pemasangan Plang-Plang manokwari Kota Injil
Setelah semiloka yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan spiritual itu, maka di kota Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat indah yang berisi pernyataan “Manokwari Kota Injil”, pada pinggir jalan masuk kota manokwari juga terpampang tulisan “Selamat Datang Di Manokwari Kota Injil, Tuhan Memberkati.” Plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil itu juga terpampang disudut-sudut jalan Manokwari, bahkan sampai kedesa-desa, deklarasi Manokwari kota injil dengan pemasangan plangh-plang itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis perwakilan YPPII di pasang setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda Manokwari Kota Injil. Beberapa pendeta gereja di luar GKI memang mengatakan bahwa, ketika pemasangan plangh-plang tersebut mereka tidak dilibatkan, tetapi kemudian ketika timbul masalah, adnya penolakan, mereka kemudian dilibatkan, itu adalah bukti bahwa perda manokwari kota Injil masih berada dalam tahapan wacana, meski umumnya mereka juga mengakui bahwa Manokwari Kota Injil adalah harga mati, namun jika sampai berbentuk perda beberapa tokoh agama berpendapat perlunya berdialog dengan umat agama-agama lain, dan itu memerlukan diskusi yang cukup panjang.
Plang-plang yang bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang amat indah, atau yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi assesoris yang memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan alamnya, dan juga kesuburan tanahnya. Itu juga berarti sebutan Manokwari kota Injil tampaknya tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Muslim Papua, sudah terbiasa mendengar sebutan manokwari kota Injil, karena memang di kota itu setiap tahun diadakan perayaan besar menyambut masuknya Injil ditanah Papua. Dan Pemimpin Muslim Papua sendiri telah menyatakan penerimaannya, karena mereka percaya nilai-nilai inil itu adalah nilai-nilai yang universal yang juga baik untuk semua. Terlebih lagi, bagi masyarakat Papua agama adalah agama keluarga, jadi mereka telah terbiasa dengan toleransi dalam keragaman agama, sehingga kehadiran plang-plang manokwari yang terkait dengan realitas sejarah itu tidak mengancam mereka.
Meski terlihat ada keragaman pandangan mengenai perda manokwari kota Injil, tokoh-tokoh agama di Papua umumnya setuju bahwa pernyataan dua missionary jerman, yaitu Ottow dan Geisler yang mengatakan, dalam nama Tuhan kami menginjak tanah ini, merupakan peryataan Tuhan bahwa Manokwari adalah kota Injil. Terlebih lagi sejarah membuktikan bahwa Manokwari adalah kota pertama yang mengalami kemajuan di Papua, dan melalui injillah orang Papua bisa menjadi pendeta-pendeta, dan pejabat-pejabat, tanpa injil itu tidak mungkin terjadi. Secara ekstrem mereka mengatakan, yang pertama ada di Papua adalah Injil bukan negara, jadi yang membawa perubahan untuk Papua adalah Injil, jadi penghormatan terhadap Injil mesti ada, karena itu adalah kekuatan Allah. Banyak denominasi gereja di papua dapat disatukan dengan kesadaran yang sama bahwa mereka menerima Injil atas jasa dua orang missionary Jerman itu, sehingga kesadaran itulah yang tampak menyatukan mereka dalam keragaman pandangan tentang perda kota Injil.
VII. Kontroversi Sekitar Perda Kota Injil
Pdt. Gereja Bethel Tabernakel yang telah melayani 32 tahun di Papua dan kini telah berusia 56 tahun berkomentar, “Kota Injil bagi kami adalah harga mati!” Pernyataan itu bukanlah sesuatu yang diungkapkan dengan semangat heroik yaitu untuk melawan orang-orang yang tidak menyetujui dengan sebutan Manokwari Kota Injil, melainkan suatu pernyataan yang didasarkan keyakinan yang teguh bahwa Tuhanlah yang menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil yang didasarkan pada peristiwa historis, karena itu meski tanpa pengakuan dari pemerintah sekalipun keyakinan bahwa manokwari Kota Injil akan tetap dipegang teguh oleh masyarakat Kristen Papua.
Memang, tidak sedikit diantara tokoh-tokoh agama di Manokwari yang bersikukuh bahwa formalisasi sebutan Manokwari kota Injil adalah hak mereka yang harus dipenuhi, karena itu terkait dengan nilai-nilai dasar masyarkat Papua. Penetapan Manokwari sebagi Kota Injil diperlukan untuk mendorong masyarakat hidup menyesuaikan dengan daerah dimana mereka tinggal.
Dapat dipahami bahwa masalah formalisasi sebutan Manokwari kota Injil sesungguhnya masih penuh pro dan kontra, beberapa orang tokoh agama di luar GKI masih menganggapnya hanya sebagai wacana, karena dirasa belum jelas apa sesungguhnya tujuan dari dihadirkannya penetapan kota Injil, apalagi ditengah masyarakat Manokwari yang kini telah menjadi sangat heterogen, dalam ungkapan tokoh-tokoh agama yang menyebut diri sebagai gereja-gereja aliran pertobatan, perda kota Injil tidaklah diperlukan. Pdt Jefrey, seorang pendeta dan dosen di sekolah Alkitab Manokwari mengungkapkan, yang diperlukan adalah kebebasan untuk memberitakan Injil, bukan aturan yang menghambat kebebasan agama-agama lain. Ia juga berpendapat, pelajaran dari sejarah gereja, diamana gerja-geraja menjadi kelompok mayoritas dan kemudian memakai tangan negara untuk memaksakan ajarannya terbukti membawa gereja pada dunia yang gelap, seperti abad pertengahan, karena itu formalisasi agama tidak diperlukan, menghadirkan diri sebagi orang beragama yang hidup benar lebih penting dari pada memaksakan ajaran agama, bahkan diakui, ada ketakutan jika memang usulan itu dijadikan perda itu akan mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang berkeberatan, dan juga bahaya eksklusifisme.
VIII. Penutup.
Usaha untuk menghadirkan perda pembinaan mental dan spiritual yang kemudian dikenal menjadi perda kota injil memang diakui sebagai usaha agama memberikan kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran publik agama itu dipegang kuat sebagai sesuatu yang adalah hak masyarakat Papua, apalagi disana mereka mengatakan tak ada usaha pembelengguan kebebasan beragama. Hukum yang akan dihadirkan adalah hukum yang membuat semua agama-agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Namun, karena usulan itu belum didialogkan dalam komunitas yang lebih luas dalam komunitas agama-agama, wajar saja ada efek samping dari keterbatasan pengetahuan agama-agama itu. Kesediaan tokoh-tokoh agama sebagai penggagas menunjukkan adanya keinginan untuk memberikan kontribusi bagi terciptanya kehidupan masyarakat di Manokwari yang damai.
Peran publik agama yang coba ditawarkan agama kemudian juga mengalami bias dengan kondisi ekonomi masyarakat Papua yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin, apalagi ketika diperhadapkan dengan pendatang yang jauh lebih kaya, dalam hal ini umat Muslim, hal itu terlihat dengan penekanan pada nilai-nilai Kristen yang adalah isi perda kota Injil yang kemudian ingin dipaksakan. Berangkat dari hak untuk memberikan kontribusinya, komunitas agama kemudian ingin memaksakan kebenaran pandangannya pada komunitas lain, dan itu terjadi karena adanya perasaan terancam dari masyarakat Kristen Papua.
Demi untuk memuluskan jalan bagi diberlakukannya perda kota Injil, GKI dalam hal ini sebagai pihak penggagas baik perihal sebutan Manokwari sebagai kota Injil maupun kehadiran perda kota injil, berusaha menggandeng Gereja-gereja lain yang sebenarnya juga ada yang memiliki pandangan yang bersebrangan. Polarisasi agama dalam agama, dalam hal ini Kristen bertujuan untuk mencapai tujuan penetapan raperda kota Injil.
Peran publik agama yang coba diusahakan ternyata telah menjadi bias, karena disana tersimpan semangat hegemoni agama, hal itu semakin diperparah dengan adanya kebangkitan mereka yang menolak untuk didiskriminasikan, dalam hal ini komunitas Mulim yang kemudian juga menyatu, yaitu antara muslim Papua dan muslim pendatang. Polarisasi agama pu terjadi tidak hanya di kalangan Kristen yang mencoba inginmenggolkan apa yang mereka anggap baik, namun itu juga terjadi di kalangan muslim yang merasa terdiskriminasikan.
Polarisasi agama itu mungkin saja tidak disadari, namun itu tetap saja membahayakan. Pada kondisi ini pendekatan yang hati-hati dengan menghadirkan dialog antara mereka yng berbeda pendapat tersebut merupakan kebutuhan penting, itu juga disadari oleh kalangan Kristen sebagai penggagas. Persoalannya sekarang, apakah pemerintah daerah dan pusat cukup bijak dalam memfasilitasi usaha dialog yang terbuka dan adil untuk kemudian mengambil suatu consensus bersama.
Binsar A Hutabarat, S.Th., M.C.S.
Comments
dari tarecha
Sat, 16/08/2008 - 08:02 — Anonymousmelarang suatu agama di suatu tempat seperti melarang adzan, masjid, perempuan muslim berjilbab adalah dzalim.
wohoho?????
Mon, 29/09/2008 - 18:32 — fajarbagaimana dengan larangan untuk berdoa, beribadah yang dilakukan oleh sebagian besar warga muslim di seluruh penjuru indonesia terhadap umat beragama yang lain??
bagaimana dengan syariat islam di aceh yang mengharuskan semua wanita mengenakan jilbab tanpa mempedulikan keyakinan orang tersebut?
tanya diri sendiri, apakah dapat memperlakukan orang yang tidak seiman secara adil???
gajah dipelupuk mata tidak tampak, tapi kuman diseberang lautan jelas banget terlihat. wah, jangan sampai pepatah ini diberikan ya.
silahkan
Tue, 16/09/2008 - 13:36 — Anonymoussilahkan berlakukan perda manokwari kota injil...maka 80% wilayah idnesia akan segera diberlakukan perda syariat islam
silahkan
Tue, 16/09/2008 - 13:38 — Anonymoussilahkan berlakukan perda manokwari kota injil...maka 80% wilayah indonesia akan segera diberlakukan perda syariat islam
Tolong di dalam dengan DOA
Wed, 17/09/2008 - 11:38 — ayariTolong di dalam dengan DOA agar semua rencana dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan dan agar tidak terjadi perpecahan kerukunan antar beragama yang telah terbina lama di tanah Papua khususnya di kota Manokwari. karena dari Manokwarilah terang Tuhan itu datang dan menyinari seluruh tanah Papua lewat kedua rasul Papua Ottow dan Geissler dengan doa sulung mereka "DENGAN NAMA TUHAN KAMI MENGINJAK TANAH INI" Amien...
aneh aneh aja
Wed, 17/09/2008 - 13:21 — Anonymous*DOH* ane denger mau ada pelarangan bangun mesjid bila udah ada gereja? emang di indonesia ada pelarangan bangun gereja? yang sering itu gereja muncul di tengah2 ummat muslim. setau ane seh kalo orang muslim nyebarin agamenye orang yang tertarik islam dibawa dulu ke jamaah terdekat dan mesjid terdekat, nah apabila di daerah tersebut udah banyak islamnya baru bangun mesjid ... bukan rahasia lagi gereja mah segala cara di mall, di pemukiman, asal ada satu aja orang kristen kaya udah berhak bangun gereja... udah deh terusin aja itu perda siapa tau jadi ladang jihad saya di indonesia
Peraturan tidak tertulis untuk membangun gereja
Wed, 17/09/2008 - 20:10 — AnonymousKepada Yth,
Para pembaca yang budiman, mengenai peraturan tentang membangun tempat ibadah mungkin memang tidak terdapat larangan (secara tertulis).Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum dan semua orang mengetahuinya (kecuali orang-orang Islam lugu yg nggak tahu apa-apa), bahwa membangun rumah ibadah bagi nonMuslim sama susahnya dengan mencari jarum dilautan pasir.
Di Indonesia, para pejabat dan Pemda ( pemerintah daerah) sering merintangi nonMuslim, dalam usahanya untuk memperoleh ijin membangun sebuah tempat ibadah. Kadang-kadang ijin membangun telah didapatkan, akan tetapi masyarakat sekitar masih juga merintangi dengan cara-cara halus ataupun cara-cara kasar.
Contoh yang masih hangat/baru adalah kasus STT SETIA yang tidak memperoleh perlakuan yang adil.STT SETIA telah secara sah mengantongi ijin tinggal dan telah berdiri jauh sebelum rumah-rumah penduduk dibangun di sekitar kampus SETIA.
Orang-orang Islam membangun rumah dan mesjid di sekitar kampus SETIA dan meng-claim bahwa SETIA merupakan "pendatang" yang tidak tahu diri.
Pertama-tama mereka melempar fitnah yang mengatakan bahwa SETIA tidak mengantongi ijin-ijin resmi dari Pemerintah Daerah. Setelah terbukti bahwa SETIA mempunyai ijin-ijin yang resmi, dan mencoba menanyakan surat ijin membangun rumah-rumah liar di sekitar kampus....mereka kemudian dengan gampang menggunakan kekuatan masa untuk "mengusir" SETIA.
Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah?
Apakah mereka berani menegakan hukum dan keadilan, serta mempertahankan hak-hak kampus SETIA yang mempunyai surat-surat berkekuatan hukum?
NOTHING!!!!!
Buktinya yang berwenang tidak berani menegakan hukum dan tidak berani mejamin keamanan pihak SETIA (jika sampai mereka nekad untuk kembali ke kampus).
Jika mengingat tentang banyaknya ketimpangan dan ke-tidak-adilan dalam penerapan hukum di masyarakat yang beragama , seringkali membuat banyak orang merasa kesal yang bercampur dengan kemarahan yang siap meledak.
Sampai kapankah keadilan akan dapat ditegakan di bumi Indonesia?
Tidak ada yang bisa memastikannya secara pasti...
Satu hal yang pasti, sampai hari ini dan juga mungkin waktu-waktu yang akan datang....
Usaha untuk mendirikan sebuah tempat ibadah bagi kaum non-mayoritas membutuhkan lebih daripada sekedar surat ijin dan kerja keras...
Biarlah kiranya melalui komentar ini, kita dapat selalu di-ingatkan untuk dapat memperjuangkan hak-hak kebebasan beragama bagi kaum minoritas.
Mari bangkit kaum minoritas!!!!
Mari bangkit!!!!!
(penonton)
Pelurusan
Wed, 17/09/2008 - 14:01 — AnonymousSemua agama yang baik, semuanya pasti mengajarkan kebaikan...
misalkan :
kristen dengan kasihnya...
Islam dengan Rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam)...
pada dasarnya semua agama dapat hidup dengan baik dan saling hidup rukun dan damai... bila masing-masing agama bisa sama-sama menjalankan ajaran agamanya dengan baik, tidak saling menghujat, saling menuduh, dan saling terprofokasi oleh orang-orang yang tidak senang dengan kedamaian...
sebenarnya manusia di dunia ini secara umum bisa dikatakan terbagi menjadi 2, yaitu yang baik dan yang jahat...
yang baik adalah yang bisa membawa kedamaian, ketentraman, saling kasih-mengasihi, saling tolong menolong... tanpa melihat latar belakangnya apakah dia muslim atau kristen, kaya atau miskin...
yang jahat ialah yang tidak bisa tenang akan kedamaian, ketentraman, berusaha mencari cara untuk bisa menimbulkan suatu permasalahan....
yang jahat juga bisa disebabkan karena hanya melihat suatu masalah satu sisi, tidak melihat sisi yang lain, mencari-cari kejelekan-kejelekan,dan tidak memahami suatu hal secara mendalam....
mari berfikir secara lebih mendalam, secara jernih, dan dengan semangat untuk menciptakan kedamaian, ketentraman...
Alangkah indahnya dunia ini jika semuanya bisa memahami makna dari kedamaian, ketentraman, kasih sayang, tolong menolong, persaudaraan, persatuan dan kesatuan dengan tidak memandang latar belakang seseorang...
silahkan renungi.....
Informasi tambahan
Thu, 18/09/2008 - 09:22 — Binsar Antoni H...untuk anda yang tertarik mengetahui raperda kota Injil bisa lihat di tulisan Crisis center, di tulis oleh sidney john, kami pernah berdialog tentang hal ini, tulisannya bisa cari di google, edisi terbaru jurnal perempuan juga akan memuat perda injil, saya sudah kirim tulisan saya yang terbaru. Saya menyarankan bacalah baik-baik tulisan saya tersebut, karena itu tidak mudah, saya bersedia menjelaskan untuk memberikan pemikiran yang terbaik bagi keutuhan NKRI, negeri yang kita cintai ini
Subjektif dan Bohong
Tue, 23/09/2008 - 14:35 — AnonymousSaya mengerti kenapa tulisan ini bisa exist dan sangat subjektif karena memang penulisnya mempunyai misi tertentu. Contohnya, berita yang sama sekali salah bahwa di Aceh non Muslim diharuskan memakai jilbab. Saya orang Aceh, tidak ada orang non Muslim yang memakai jilbab disana, karena memang tidak ada peraturan itu!, peraturan itu hanya dibuat khusus untuk Muslim. Dan sepengetahuan saya, tidak ada yang namanya Perda yang anda sebut Syariah yang membatasi dan mengatur kerhidupan non Muslim. Coba cek dengan fair dan objektif isi pasal-pasal itu, semuanya adalah nilai-nilai universal yang di agama lain-pun dibenarkan. Tapi memang ada pasal-pasal khusus syariah, akan tetapi itu hanya untuk umat Muslim, dan ingat peraturan yang anda sebut Syariah itu tidak pernah memakai definitif kata "syariah" dan tidak provokatif. Sementara perda ini sudah mengatakan secara jelas 'Bible' (maaf saya tidak mau mengatakan Injil, karena saya meng-imani kitab Injil segaimana kitab lain seperti Al-Quran, Taurat, Zabur dll sebagai kalimat Tuhan, dan Injil sekarang bukan versi Injil yang asli, jadi kita ambil sebagaimana orang Barat menyebut kitab ini adalah Bible). Oya, sebagaimana banyak teman Kristen saya yang damai, mereka terbiasa menyebut kitab mereka dengan Bible dan menolak dengan Injil, karena menurut mereka Injil adalah perkataan dari orang Islam (dan saya membenarkan karena itulah yang ada di Al-Quran). Jadi saran saya sebagaimana saran teman2 Kristen damai saya disini (skr saya tinggal di Kuala Lumpur) untuk mengganti istilah saja ke "Bible", toh tidak mengubah makna sebenarnya bahwa yang anda pegang sekarang ini adalah kitab yang biasa anda baca. Kalau saya pelajari, jika seseorang contohnya penulis ini sudah mempunyai misi tertentu yang tendensius maka segala upaya meskipun harus berbohong dan memutar balikan fakta dilakukan. Secara jujur saya mengatakan bahwa umat Kristian jika melakukan sesuatu yang secara tidak langsung umat Islam akan terkait, selalu tendensius dan menyerang. Provokasi adalah salah satu senjata umat Kristian di Indonesia sehingga umat Islam terpancing melakukan tindakan tidak cerdas seperti merusak dll, yang nantinya umat Islam sendiri yang akan menanggung akibatnya (salah satunya dari cercaan dari dunia luar). Saya kadang heran dengan sebagian umat Kristen di Indonesia yang sangat agresif terhadap umat Islam. Saya menghormati bahkan kasarnya "tidak perduli" kalau orang Kristen agresif dalam menjankan ibadah mereka, sebagaimana umat yang lain, tapi kalau misal mengatur tata cara ibadah umat lain, bukankah itu salah satu jenis provokasi? Salah satu contoh bentuk agresifitas orang Kristen (di Indonesia khususnya) imbalan dari Gereja jika berhasil memurtadkan orang Islam menjadi Kristen. Masya Allah, sementara di Islam pilihan agama adalah hak seseorang yang tidak bisa dipaksa, dan saya tahu sendiri tidak ada bentuk provokasi dari orang Islam untuk memurtadkan orang Kristen menjadi Islam, yang saya dengar justru hampir 100% orang Kristen yang berubah jadi Islam adalah dari mereka sendiri, karena memang dalam ajaran Islam tidak boleh mengajak-ajak orang lain masuk ke ajaran Islam jika bukan dari hatinya sendiri. Dan, contoh salah satu usulan perda yang melarang pemakaian jilbab di tempat umum jelas sekali tendesius pelarangan yang tidak fair karena jilbab dalam pandangan Islam tidak boleh dipakai dilepas karena masalah tempat, ini merupakan prinsip, dalam hal HAM-pun tentu itu melanggar. Kalau mau fair (meski saya juga menolaknya), adalah Perancis. Semua atribut keagamaan tidak boleh dipakai. Di semua tempat Indonesia, tidak ada pelarangan atau umat Kristen yang melarang pemakaian atribut ke-kristenan, contoh memakai kalung salib, memakai tudung bagi orang Suster Kristen, membawa Bible dll. Tapi isi perda ini yang melarang atribut Islam jelas sekali tendensius dan melarang umat lain. Saya adalah orang yang cinta damai dan berusaha bertindak fair dan objektif. Saya berinteraksi dengan umat lain sebagaimana justru banyak teman saya di kantor adalah umat Kristiani. Kami menjaga hubungan baik diantara kita dengan saling menghormati salah satunya tidak memprovokasi ajaran pihak lain dan menghormati perbedaan pada masalah prinsip ajaran masing-masing. Kalau semua itu dijalankan, tentu kehidupan beragama yang baik bisa terlaksana, tapi kalau yang ada adalah membatasi ajaran pihak lain, tentulah pihak ini akan mencoba melawan, itu hal yang logis dan lumrah bukan? Kalau anda fair dan objektif, tentu anda setuju pendapat saya.
Anda Yang Subyektif dan Bohong? Anda Ceroboh!
Tue, 23/09/2008 - 17:34 — iah iahSaya mengerti kenapa tulisan ini bisa exist dan sangat subjektif karena memang penulisnya mempunyai misi tertentu.
Saudara yang tinggal di Kuala Lumpur anda benar-benar lucu! Bagai mana mungkin mempercayai bahwa anda seorang yang berjiwa besar dan toleran sementara tulisan anda dimulai dengan sebuah FITNAH yang membabibuta?
Kawan, sebelum menarik kesimpulan apalagi menuduh orang lain membabibuta, sebaiknya anda baca dulu tulisan orang lain dengan seksama. Bacalah dengan teliti dan hati-hati, setelah itu masih belum terlambat untuk menarik kesimpulan. Ha ha ha ha … Lucu, benar-benar lucu! Ketika menghimbau orang lain untuk berlaku fair, anda justru berlaku tidak fair.
Kawanku, tolonglah, baca tulisan utama blog ini dengan teliti dan hati-hati, setelah itu mari kita mendiskusikannya bersama-sama.
Aku berdosa, namun tidak berani berbuat jahat, mustahil menentang kehendakNya!
Kebaikan dirimu, tak berani kusembunyikan, kejahatan diriku, tak berani kuampuni!
Untuk anda yang dimalaysia
Wed, 24/09/2008 - 08:58 — Binsar Antoni H...Saya menghargai komentar anda, meski saya tidak menyetujuinya.Tulisan saya tentang perda Injil itu dimasukkan dalam catatan kaki tulisan Crisis Center, penulisnya bernama Sidney John, meneliti Raperda Injil di Papua bersama solahudin, seorang Muslim, dan itu hasil penelitian. Jika subyektif tentu penulis besar seperti sidney John tak akan sudi membaca apalagi menjadi salah satu sumber bagi penulisannya.
Tulisan saya ini di Indonesia juga banyak dibaca umat Muslim, dan tak ada yang komentar negatif, khususnya bagi mereka yang memang ingin mengetahui ada apa sesungguhnya dengan perda Injil di Manokwari, dan bagaimana kita mendiskusikannya.
Di Indonesia saya punya banyak teman Islam, dan kami dapat berdiskusi dengan baik, tentunya yang tidak radikal, tapi toleran sehingga ada dialog yang manis. Soal kelemahan oknum, di semua agama sama saja.
Mengenai pandangan anda tentang Injil, yang anda sebut bible, atau teman anda menyebut bible, itu terjadi karena salah kaprah, tidak memahami filsafat bahasa, demikian juga tidak memahami Kitab suci masing-masing.
Saya melihat anda bukan hanya tidak paham Kristen, bahkan terlalu curiga, dan sayangnya anda juga tidak belajar tentang Islam dengan baik, Di Indonesia saya biasa bergaul dengan Doktot-doktor Islam yang cukup dikenal, jadi sewaktu saya melihat pandangan anda, terlalu sempi karena hanya paham sedikit. demikian juga anda tidak paham Indonesia, sehingga komentar anda menjadi amat lucu, seorang anak kecil pun di Indonesia bisa menjawabnya.
Kemudian mengenai Malaysia, mungkin anda paham bahwa Malaysia adalah negara Islam, berbeda dengan Indonesia yang Pancasilais, jadi Indonesia jauh lebih baik dengan malaysia, bagaimana mungkin anda berani menasihati kami orang Indonesia dalam beragama. Malaysia sekarang sedang menghadapi persoalan besar, karena pemerintahnya juga tidak adil. Malaysia jik tidak hati-hati akan mengalami kekacaauan karena pemerintahan yang tidak adil, Saya pernah mendengar orang islam Malaysia mengeluhkan pemerintahan Malaysia, termasuk Anwar yang kini mulai naik daun di Malaysia, dia seorang Islam yang moderat. Selamat merenung, dan belajarlah lebih terbuka, jangan terlalu menganggap diri cukup tahu.
Binsar Hutabarat
????
Mon, 29/09/2008 - 18:11 — fajarhal diatas ini (sdr. anonim) adalah yang sering kali disebut sebagai kesombongan dalam kerendahan hati...
no more
Raperda Kota Injil
Wed, 24/09/2008 - 09:11 — Binsar Antoni H...Mohon komentar teman-teman. Data mengenai perda kota Injil berupa wawancara dengan tokoh-tokoh agama Kristen, Islam, masyarakat, pejabat daerah baik kabupaten maupun provinsi saya masih simpan, masih ada yang belum saya tulis. Kira-kira perlu tidak saya membuat tulisan Raperda kota Injil itu secara lebih mendalam?
tidak mencari eksistensi tapi hanya menjalankan perintah agama
Wed, 24/09/2008 - 20:52 — AnonymousSaya kaget saat membaca tentang wacana RAPERDA wanokwari sebagai kota injil,yang dimana melarang wanita muslim untuk berjilbab, mengumandangkan adzan .Yang lebih miris adalah salah satu penyebabnya karena banyaknya eksisitensi tettang perda syariah, hal ini menurut saya teman-teman kristiani harus memandang apakah perda-perda syariah tersebut memang memaksa kaum kristiani untuk memeluk islam ?pertayaaan tersebut saya lontarkan karena dalam tulisan diatas kalau menganggap perda syariah berifat diskriminatif. Sehingga saya dalam hati saya bertanya perda syariah mana bersifat diskriminatif? Saya pikir perda syariah yang berlaku sekarang hanya melarang miras, lokalisasi psk , perbankan syariah dll. yang saya rasa tidak berlaku diskriminatif dissana. Dalam Islam sendiri nabi Muhammad mengajarkan yang intinya bahwa hak seorang non muslim di Negara islam sama dengan hak orang muslim dalam beribadah dan perlidungan keamanan.Satu hal lagi tentang tulisan diatas yang menyatakan orang non muslim diwajibkan berjiblab di aceh tolong diralat karena orang non muslim di aceh tidak diwajibkan berjiblab sebagai bentuk pertanggung jawaban profesinalismean jurnalistik anda kepada nara sumber.SEKALI lagi tidak ada paksaan untuk masuk Islam tapi jika seseorang sudah masuk islam seorang muslim harus istiqomah(bertketatapan hati untuk menjalankan syariah islam) Pandangan saya tentang kota injil yang katanya berlandaskan injil , saya bertanya apakah di kitab injil tertulis adanya pelarangan umat islam untuk berjilbab atau memperdengarkan adzan .jika tidak ada ,itu menunjukan umat nasrani di manokwari membuat hukum sendiri yang tak berlandaskan injil. saya coba menelah perkataanPendeta Bastian sanbalai tentang kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai negeri yang telah mempunyai seragam khusus, mengapa mesti ada perbedaan atau kekhususan? Jadi, tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada hanyalah pembatasan. lalu saya anggap seorang muslim yang berjilbab tidak mesti penyebaran agama , tapi itu kewajiban yang jika seorang muslim ditinggalkan akan berdosa dan masuk neraka , ingat meski manokwari termasuk otda tapi harus tetap menghormati hak orang lain untuk beribadah Berbeda hal dengan islam dalam menegakan syariah islam harus berdasarkan AlQuran dan hadis rosul yang tidak bersifat KERAS tapi bersifat TEGAS dan Jelas.islam tidak mencari eksistensi diri tapi hanya ingin menjalankan perintah agama. Semoga tulisan ini dapat mengakhiri wacana kota injil dan mengakhiri kesalahpahaman antar umat muslim dan nasrani.
Perda Manokwari Kota Injil
Thu, 25/09/2008 - 00:35 — iah iahSaya menentang Perda Manokwari Kota Injil. Hal itu saya sampaikan kepada semua teman-teman saya orang Papua, baik yang rakyat jelata maupun para pemimpin agama dan orang-orang di pemerintahan. Agama adalah panggilan hidup. Agama harus diajarkan, tidak boleh dipaksakan. Syariat agama harus diajarkan tidak boleh dipaksakan. Injil harus diberitakan dengan santun, tidak boleh memanipulasi apalagi memaksa orang lain.
Orang Islam bebas berdakwa, orang Kristen bebas memberitakan Injil dan orang dari agama lain bebas menyebarkan agamanya. namun semuanya harus dilakukan dengan santun. Ketika menyebarkan agama, tidak boleh dilakukan dengan melecehkan agama orang lain apalagi memaksa orang lain. Ketika memberitakan Injil kepada penganut agama orang lain, say selalu bertanya, "Maukah anda mendengar tentang Injil?" Bila orang itu tidak mau, saya akan mengobrol dengannya tentang berbagai hal namun tidak meberitakan Injil kepadanya.
Ketika seorang teman bercerita tentang usaha mereka menentang pembangunan Masjid dan Islamic Center di Manokwari, saya mencelanya. Menurut saya itu bukan tindakan bijaksana. Kepada teman itu saya berkata, "Selama ini pembangunan gereja, klenteng dan vihara selalu di hambat, bila anda juga menghambat pembangunan masjid, lalu apa bedanya?"
Ketika mengunjungi seorang teman di Aceh, saya bertanya, "Kenapa banyak wanita non muslim yang pakai jilbab?" Teman itu berkata, karena mereka takut, juga karena mereka "DIHIMBAU" untuk menyesuikan diri. Teman saya yang Haji itu lalu ngakak dan berkata, "Banyak juga yang khawatir, wanita-wanita Aceh akan pindah ke agama lain agar lepas dari kewajiban memakai jilbab!" Teman itu lalu mengutip kalimat yang sering saya ucapkan, "siapa bilang dunia ini adil? Keadilan hanya ada di dalam rumah ibadah!"
Aku berdosa, namun tidak berani berbuat jahat, mustahil menentang kehendakNya!
Kebaikan dirimu, tak berani kusembunyikan, kejahatan diriku, tak berani kuampuni!
rahasia umum
Mon, 29/09/2008 - 18:24 — fajarsudah menjadi rahasian umum bahwa suatu agama tertentu ingin menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan keyakinan agama tunggal. sejarah indonesia juga menunjukkan banyaknya pemberontakan yang berbasis agama.
hal berikut ini juga sudah menjadi buah bibir yang luas disemua kalangan, bahwa dalam rangka hal tersebut tadi diatas maka dilakukan upaya migrasi kedaerah daerah yang umat tertentu tersebut masih sedikit jumlahnya contoh: papua, bali, dll., sehingga ketika suatu saat nanti akan diambil keputusan untuk memberlakukan secara nasional maka suara - suara tersebut bukan hanya dari beberapa daerah saja, tetapi targetnya adalah 100% daerah di Indonesia tidak berkeberatan. oleh karena itu lihat saja perkembangan yang sudah ada, dan kecenderungannya yang akan terjadi dalam beberapa tahun kedepan, tren ini akan semakin mengental.
lihat juga pengerahan media - media yang ada, segala bentuk pemberitaannya menjadi tidak netral.
tapi....rasanya pancasila tidak akan membiarkan hal tersebut. indonesia akan tetap dengan kemajemukannya, dan semua komponen harus beradaptasi dengan baik. NKRI akan tetap utuh sebagai NKRI dengan Bhineka Tunggal Ika-nya.
hidup persatuan dan kesatuan bangsa.
untuk fajar
Tue, 30/09/2008 - 09:02 — Binsar Antoni H...kemajemukan adalah realitas dari ciptaan. Usaha manusia untuk menyeragamkan agama, suku dll tak akan pernah berhasil. Tuhan memberikan kebebasan pada manusia, maka kita juga harus menghargai kebebasan yang diberikan Tuhan itu. Persoalan utama untuk membangun hidup bersama yang baik adalah bagaimana kita bersikap adil terhadap sesama. barang siapa bertindak tidak adil itu akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain. jadi biarlah orang bersikap tidak adil, tapi kita harus berjuang untuk menegakkan keadilan. Dan perjuangan yang berkeadilan bukanlah mengkampanyekan keadilan tapi, melakukan keadilan. Disini orang Kristen seharusnya percaya bahwa perjuangan keadilan tak pernah sia-sia.
mari menolak semua perda diskriminatif
Fri, 03/10/2008 - 02:38 — Anonymousteman-teman untuk menyeimbangkan, mohon dibaca artikel ini: http://guntur.name/2008/04/12/laporan-dari-padang-siswi-siswi-kristen-pun-terpaksa-pakai-jilbab/
Lebih baik untuk kesatuan NKRI, kita tolak semua perda yang disusun untuk kepentingan politik tertentu (ehm ehm, agama) yang kalau diteliti hampir semuanya tidak cocok dengan ajaran agama masing-masing.
Sekarang....... siapa yang berani meninggalkan keakuan agamanya dan mendahulukan ke Indonesiaannya? Siapa yang berani menolak perda Injili di Manokwari yang melarang hak asasi wanita Muslim untuk memakai jilbab dan sekaligus menolak perda di Sumatera Selatan (entah apa namanya) yang mengharuskan semua siswa sekolah negeri untuk memakai jilbab bahkan untuk yang non muslim?
Merdeka!!!! (halaahh...)
halah lo cuma mau balas2an
Thu, 24/10/2013 - 23:50 — seriushalah lo cuma mau balas2an aku mau buka situsnya kok gak bisa ngarang lo ya kalau lo mau balas2an ayo dah g akan selesai2 ini . yang berani melawan larangan pakai jilbab ya kita umat islam. kamu jual kita beli
Ayo Damai
Tue, 14/10/2008 - 05:53 — AnonymousSebaiknya perda tersebut tidak perlu dikaitkan dg 'kota injil' segala. 'Kota Injil' hanya menyebabkan perpecahan. Ummat Islam di Indonesia telah menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, walau jika dicermati sebenarnya kata2 tsb ditujukan bagi ummat Islam. Jadi tidak benar jika dikatakan sebagai pemecah-belah bangsa. Namun ummat Islam tetap menghapusnya demi keutuhan yg sebenarnya tidak terancam. Padahal saat itu, jumlah ummat Islam lebih dari 90% (bukan sekedar 60%). Jadi, buat saja perda universal yg disukai Alkitab, tetapi jangan beri judul 'Kota Injil' Saya khawatir bahwa agresifitas Kristiani di Papua Barat hanyalah dampak dari ambisi bangsa barat yg ingin menguasai kekayaan Papua Barat. Mereka memanfaatkan agama sebagai pelancar keinginan mereka. Harusnya kita belajar dari Timor Timur (Timor Leste). Kristiani Papua adalah bangsa Indonesia juga, jadi jangan mau dijadikan pion bagi bangsa barat, walau agama mereka memang di bawa ke Papua oleh orang barat. Saya rasa, 2 rasul itu kecewa melihat Kristiani Papua Barat yg melakukan hal yg dapat merusak citra Kristen ini. Karena hal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk mengatakan Kristen sebagai agama alat. Alat untuk apa? Alat bangsa barat untuk menguasai Indonesia. Perda tsb memang bisa menjadi boomerang bagi Kristen sendiri. Jangan sampai ummat Islam juga ikut2an menggolkan kata2 "Indonesia Negara Syari'ah". Walau sebenarnya negara Syari'ah tidak berarti mengekang orang Kristen (selaku dzimmi, orang di luar Islam akan tetap diperhatikan hak2 mereka termasuk hak beribadah dengan tenang, bahkan siapa yg menyakiti dzimmi berarti menyakiti ummat Islam pula), tetapi saya rasa orang Kristen tidak akan rela kalau Indonesia dijadikan sebagai Negara Syari'ah dimana ummat Islam akan menjadi lebih taat beragama, club2 malam dan casino ditutup, ummat Islam akan lebih takut berzina karena akan dirajam, muslimah tidak akan keluar dari rumahnya terkecuali dg berjilbab, dlsb. Jika Kristiani Papua barat merasa berhak, padahal Kristen di sana baru 60%, lalu bagaimana dg Indonesia secara keseluruhan, dimana lebih dari 75% bangsa ini adalah beragama Islam? bukankah ummat Islam di Indonesia lebih boleh merasa berhak untuk menjadikan Islam sebagai Negara Syari'ah?
Melepaskan Klaim Mayoritas
Tue, 14/10/2008 - 08:27 — Binsar Antoni H...persoalan bangsa ini yang tidak pernah selesai adalah ketidakmampuannya untuk melepaskan klaim-klaim, khususnya atas agama dan kepercayaan. Tidak ada agama yang tunggal, agama-agama itu sangat beragam, karena itu tidak ada yang dapat mengklaim, Islam 90%, Kristen 10 % dll. Atau Islam murni, Kristen murni atau yang paling benar.
Biarkanlah keragaman itu ada dan berkembang, maka tak ada seorang pun yang akan berusaha menyeragamkan, yaitu dengan mengadakan aturan-aturan yang bersifat memaksa dengan memakai tangan negara. Keberadaan agama-agama harus dihormati.
Kita tidak boleh mengatakan piagam jakarta itu hadiah orang Islam, memang dalam negara Pancasila semestinya semua agama memiliki kedudukan yang sama, piagam jakarta menempatkan Islam pada kekhususan, dan itu salah. Demikian juga dengan perda-perda agama yang menuntut kekhususan, itu semestinya tak memiliki tempat dalam negara Pancasila.
Ambiguitas Kota Injil
Thu, 20/11/2008 - 14:26 — el_masyriqBukankah Umat Kristiani mendeklarasikan Manokwari Kota Injil dengan asumsi bahwa Kristen adalah agama mayoritas di Manokwari? Mayoritas orang Indonesia beragama Islam tapi selalu dilarang untuk mengikrarkan Negara Islam.
Bukankah Umat Kristiani mendeklarasikan Manokwari Kota Injil dengan asumsi bahwa Kristen adalah agama pertama yang masuk ke Manokwari? Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 M tapi selalu dilarang untuk mengikrarkan Negara Islam.
Saya sepakat jika kebeadaan agama harus dihormati dan cara yang paling efektif agar hal ini terlaksana di Manokwari adalah dengan mengganti atribut Kota Injil dengan atribut lain yang tidak bernuansa keberpihakan pada salah satu agama tertentu.
Satu hal yang perlu dicermati dalam gejala alienasi umat manusia adalah melawan tekanan yang diberikan. Jadi, ketika wacana "Manokwari Kota Injil", maka umat Islam akan semakin tekun mendalami dan menjalankan Syari'at Islam, karena di dalam Islam. "Mati dalam mempetahankan syari'at" adalah Mati Syahid".
Justru dengan isu "Kota Injil", maka umat Islam akan berlomba-lomba mengejar mati sebagaimana umat lain menyelamatkan diri menghindari mati.
Perlu kajian lebih lanjut untuk mengatakan "dari Injil kita temukan nilai-nilai pembinaan mental dan spiritual". Ungkapan ini sangat tidak sesuai dengan fakta yang terdapat dalam tradisi Umat Kristen. Umat Kristen dengan tegas membedakan Doktrin Agama dan Doktrin Etika, sehingga tidak ada korelasi antara nilai-nilai etika (moral) dengan nilai-nilai Injil. Contoh konkrit adalah pelarangan miras yang konan diambil dari nilai-nilai Injil, tetapi tak ditemukan satu ayatpun dalam Injil yang dengan tegas melarang penggunaan miras.
Terlepas dari polemik ini, marilah kita jaga kehidupan yang tentram, damai, sejahtera di kota Manokwari tanpa memberi kesempatan kepada provokator yang mencoba meraup keuntungan di saat mereka berhasi mengadu domba masyarakat Manokwari yang telah lama hidup rukun dengan slogan "Kota Buah-buahan".
Islam tidak butuh rating
Wed, 20/11/2013 - 14:48 — Djohan(Bismillahirrochmaanirochiim)
silakan saja kalo emang mau dipaksain raperda ini,tapi sepertinya rawan konflik nih wan.coba tengok kawan,emang ada ya kota Quran?kota Muhammad (S.A.W) atau kota Islam di indonesia?ada pun serambi mekkah,silahkan aja kalo mau bikin serambi vatikan.kalau mayoritas umat Islam di Indonesia mau,dan kalau Allah S.W.T mengijinkan,dalam sekejap Indonesia bisa jadi negara Islam.tapi buat apa kayak gitu-gitu wan?kita orang muslim udah disibukkan cari selamat masing2 di duniaakherat nanti,sibuk ibadah,karena emang ibadah umat islam dari bangun tidur, sampe mau tidur lagi malamnya mengandung ibadah selama dilandasi doa dan niat ibadah,ada aturannya semua,bersin aja ada doanya,semua muslim didunia lafal doa bersinnya sama kawan,karena sumbernya langsung dari aslinya, sejak 1400an tahun yang lalu masih sama,belum ada versi atau volume 1,2,3nya,tidak ditambah-tambahin ato dikurang-kurangin apalagi dipelintir.ditambah lagi sudah jelas agama kita ngajarin kalo manusia itu diciptakan berbagai suku, golongan dan sebagainya supaya kita saling kenal-mengenali,ditambah ajaran menghargai bahkan melindungi orang non-muslim yang tidak agresif,yang tidak provokasi,yang tidak ngelarang-larang orang pake jilbab.Kita orang islam diajarin semua dari niat,niat baek dapat pahala, niatnya pamer ya boro-boro tidak dapat pahala doang, bisa dapat dosa wan.kan tau sendiri "niat" seseorang,mau dideteksi pake alat apa-apaan juga tidak akan keliatan,cuma Allah S.W.T yang tau. jadi kalo sedikit-sedikit: pak kyai, iniloh gue jihad, iniloh kota yang gue islamin, ini loh org yang gue bujuk masuk islam,gue bisa dpt apaan dari mesjid?tidak gitu kawan. kalo dalam islam itu namanya sia-sia alias nol gede.Allah S.W.T itu tidak mandang dari kuantitas orang gan,tapi dari kualitas iman takwa hambaNya.kenapa?Allah S.W.T tidak butuh solat kita atau ibadah kita wan, tapi karena kita butuh Rahmat dan pertolonganNya buat bekal nanti saat sakaratul maut,alam kubur,hari kiamat,alam perhitungan lalu terakhir alam akhirat.dimana orang yang mengislamkan kalau memang berdosa tidak bisa ditolong oleh orang yang diislamkan.kalo awamnya,kita sendiri yang cari selamet dunia akherat kawanku setanah air. Jadi siapapun yang melihat ajaran Islam secara obyektif dan logika,dia tidak akan pandang berapa pengikutnya,berapa rating agama ini,tapi apa yang diajarkan didalamnya.
(Wallahua'lam Bishowwab)
Untuk FAJAR
Wed, 06/01/2010 - 22:06 — radhiant.mas, kalau anda belum pernah keAceh jangan komentar dech...
di aceh walaupun memakai syariah islam tapi hukum syariah islam disana tidak berlaku untuk agama lain..
anda jangan mempropokasi..
islam itu damai n welcome terhadap agama lain, tidak pernah memaksakan agama lain...
bahkan diaceh jg byk gereja2 n umat kristen, jd anda jangn berkomentar kalau blom pernah kesana y....
anda jgn memfitnah...
Perda syariah aceh ditujukan
Thu, 27/09/2012 - 00:47 — adlinsyahPerda syariah aceh ditujukan khusus bagi warga aceh yg islam,tp klu usulan ranperda kota injil kayaknya ditujukan bukan untuk warga kristen, tp warga muslim yg ada disana,seperti pelarangan jilbab,gak mungkin perempuan kristen pake jilbab iyakan? Pelarangan azan,digereja kann gak pake azan,tp klu dalam islam klu sholat jamaah wajib azannya,klu masalah miras dan prostitusi kayaknya gak perlu diatur di ranperda, karena dalam KUHP sudah ada, dan itu berlaku untuk agama apa aja di indonesia,,jadi dimana toleransi yg anda maksudkan lae,klu ranperda ini berlaku, sama aja kalian mendeklarasikan negara baru,,yaitu negara manokwari kota injil,,karena orang muslim gak akan bisa masuk kesana,, coba bayangkan klu saya mau kesana dengan istri saya yg menggunakan jilbab dengan tujuan wisata artinya istri saya harus buka jilbab,iyakan???tolonglah kita sama2 orang bermarga, yg sudah sangat terkenal toleransinya jangan jadi provokator dikampung orang, saya tidak membedakan lae kristen dan saya islam,tidak lae,, dimedan kita sangat rukun, coba kita diperantauan kita kasih contoh yang baek lae,, ingat lagu batak itu lae, biar anak medan biar kambing dikampung sendiri, tp macan dikampung orang, horas lae, sekali lagi jangan jadi provokator dikampung orang
kamu komentar juga gak bihsa
Thu, 24/10/2013 - 23:44 — seriuskamu komentar juga gak bihsa dipahami kebanyakan bahasa intelek susah dimengerti ngapain lo nulis panjang hanya untuk pembenaran aja silahkan kamu bikin perda seperti itu di daerahmu tapi maaf aja kalau umat islam akan mengikuti jejakmu dengan menjalankan syariat islam tentunya di daerah masing2 di indonesia bisa juga akan melarang kamu pake sungkul merah khas pendeta kristiani,mau g umat kristen disuruh pake sarung n peci yang laki2 dan yang perempuan pakai jilbab ? sulitkan, makanya jangan memaksakan dengan mendiskriminasikan tidak boleh pake jilbab dan adzan di daerahmu