“Perempuan itu”, yang dalam Wahyu 17 dipersonifikasikan juga dengan sebutan Pelacur Besar, dan dalam Yesaya 14:12 dalam bahasa Latin disebut Lucifer, adalah aktor utama seluruh proses pengadukan. Tujuan ia mengaduk pengajaran gereja-gereja adalah agar bisa menularkan pengajaran gereja yang salah kepada gereja yang benar dan hasil akhirnya tidak ada lagi gereja yang benar. Pertama, ia berusaha memimpin para pemimpin gereja dan para theolog hingga pada konsep “Kebenaran Alkitab Adalah Kebenaran Yang Relatif, Bukan Kebenaran Absolut.” Ketika seseorang menerima kebenaran Alkitab hanya sebagai kebenaran relatif, maka ia tidak berani meyakini bahwa hanya di dalam Alkitab saja ada kebenaran yang menyelamatkan. Ia akan mulai berpikir bahwa kekristenanbisa jadi hanyalah salah satu kebenaran yang relatif. Bisa jadi juga terdapat kebenaran dalam kitab lain. Orang Kristen dengan pandangan demikian pasti akan kehilangan kegairahan untuk bersaksi dan menginjil. Tentu ia lebih tidak bergairah lagi untuk mempertahankan kebenaran Alkitab, karena kalau itu kebenaran relatif maka sebenarnya sama dengan ‘belum tentu benar’, jadi untuk apa dipertahankan? Pemicu munculnya konsep ini bisa jadi karena peperangan rohani yang melelahkan dan kurangnya pendidikan doktrinal. Anabaptis berperang habis-habisan secara doktrinal dengan Roma Katolik bahwa pengajaran Soteriologi mereka salah, bahwa Bibliologi mereka salah, dan bahwa Ekklesiologi mereka juga salah sehingga jumlah martirnya tak terhitung. Kemudian muncul Reformator yang juga menentang Roma. Tetapi sayang sekali pokok pengajaran yang direformasi tidak tuntas. Mereka hanya mereformasi Soteriologi dan Bibliologi dengan semboyan Sola-Gracia dan Sola Scriptura. Mereka tidak mereformasi Ekklesiologi yang diajarkan oleh Roma. Anabaptis tentu tidak puas sehingga tetap menentang sistem gereja yang salah, dengan sasaran yang lebih jelas adalah “Sacrament” perjamuan Kudus dan Baptisan bayi serta percik yang tetap dipungut dari Roma oleh para Reformator. Seharusnya pengikut mereka zaman sekarang tidak perlu keras kepala dan ngotot membela sesuatu yang salah. Lebih baik mereka mengakuinya dan kembali ke jalan yang benar. Karena lebih baik terlambat daripada sama sekali tidak, terlebih jika harus membelanya mati-matian sehingga akan menyebabkan kepedihan hati Tuhan dan membuktikan yang bersangkutan tidak cinta kebenaran. Akhirnya para Reformator terlibat membunuh orang demi membela sesuatu yang salah. Peperangan rohani yang dihadapi kaum Anabaptis sungguh dahsyat karena korbannya tak terhitung. Mereka ditangkap dan dibakar, dipancung, ditenggelamkan hanya karena mereka mengimani sesuatu yang mereka yakini sebagai kebenaran absolut yaitu kebenaran Alkitab. Kedua, peperangan sebenarnya dimenangkan oleh kaum Anabaptis, karena akhirnya baik di Eropa apalagi di Amerika, diumumkan konsep kebebasan beragama, dimana tidak boleh lagi seseorang dihukum atas dasar keyakinan imannya. Akhirnya para penganiaya kalah, tentu karena Tuhan menjawab doa para martir yang berseru ketika mereka dipancung, dibakar, atau ditenggelamkan. Kalau kita teliti memperhatikan sejarah, kita bisa faham alasan Tuhan membiarkan penganiayaan; karena setelah situasi tenang biasanya peperangan rohani pun terhenti, padahal peperangan belum tuntas dimenangkan. Sebagian malah tenggelam bukan lagi ke dalam sungai melainkan kedalam kenikmatan kedamaian, sehingga lupa bahwa peperangan belum tuntas. Kemudian baik kelompok Roma maupun kelompok pengikut para Reformator, mengalihkan peperangan dari aspek fisik ke aspek intelektual. Theolog Jerman, bahkan theolog Eropa banyak terlibat mengarang buku yang isinya malah menyerang Alkitab. Mereka menyerang introductory maupun isi Alkitab. Mereka ini oleh kelompok fundamental disebut sebagai kelompok Liberal. Akhirnya “perempuan itu” mendapatkan alat untuk menghancurkan kekristenan dari dalam. Kini ia mengaduk kekristenan dari dalam. Ia mengalihkan peperangan dari fisik ke urat syaraf. Sementara itu ada kelompok orang Kristen yang sangat beriman kepada Alkitab, bahkan sebagiannya “kelewatan,” sehingga sangat tidak intelek bahkan menentang peran intelektual. Peperangan antara kelompok Liberal dengan Fundamental yang dimulai 1881, tahun terbitnya Alkitab Critical Text oleh Westcott dan Hort, semakin memanas, sehingga pada tahun 1907, R.A. Torrey beserta teman-teman dengan dibiayai oleh dua orang raja minyak mengumpulkan theolog Fundamental dan menulis buku untuk membela iman Fundamental dari serangan Liberal yang sudah menerbitkan banyak buku. Hasilnya, satu set buku 12 volume yang berjudul The Fundamentalsdibagikan kepada sekitar 300,000 pelayan Tuhan secara gratis. Pada awal abad 20 peperangan semakin sengit, tentu bukan secara fisik karena telah diumumkan bahwa tidak ada orang yang dihukum karena iman, melainkan peperangan secara konsep atau doktrinal. Memang perlu diakui bahwa pada saat itu kalangan Fundamentalis banyak yang sangat tidak terpelajar, bahkan sebagian menentang proses belajar. Tetapi kini berkat kasih karunia Tuhan telah banyak anak-anak Tuhan yang cerdas dan mengasihi Tuhan serta firmanNya, yang sungguh-sungguh belajar. Ketiga, sebenarnya “perempuan itu” tahu bahwa akhirnya ia akan kalah, bahwa argumentasi para theolog Liberal itu tidak ada isinya. Bahkan semakin mereka berargumentasi akan semakin nyata bahwa pada dasarnya mereka tidak beriman pada Alkitab, dan bahwa ada someone yang mengendalikan pikiran mereka. Namun si “perempuan itu” bermain cantik sekali. Ia memunculkan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Harold Ockenga pada tahun 1947, dan ia memberi nama gerakan itu New Evangelicalism. Atau gerakan Injili Baru. Harold Ockenga adalah salah satu pendiri Fuller Theological Seminary, Pasadena, California. Ia mengambil kesempatan di saat baik Fundamentalis maupun Liberal sedang dalam kelelahan peperangan rohani mereka. Kaum Fundamentalis melihat masalah di dalam kelompok Liberal itu tidak lain adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Hanya itu saja! Mereka selama ini menjadi orang Kristen karena dilahirkan oleh orang tua yang telah Kristen, dan dibaptis sejak mereka masih bayi. Setelah besar, mereka memilih jurusan theologi dengan sikap hati sama seperti mereka yang studi bidang kimia, arsitektur atau kedokteran. Terlebih lagi, baik theolog di Universitas maupun yang menggembalakan jemaat, semuanya digaji oleh pemerintah. Akhirnya terbentuklah theolog yang tidak lahir baru yang tidak percaya kepada Alkitab melainkan yang menganggap bidang theologi sekedar cabang ilmu profesinya. Para penggembala jemaat berkhotbah asal-asalan, karena bahkan tidak berkhotbah sekalipun mereka akan tetap menerima gaji dari pemerintah. Hasilnya, kini hanya lima persen orang Eropa pergi ke gereja, dan banyak gereja yang gedungnya bisa memuat ribuan orang namun hanya dihadiri tidak lebih dari sepuluh orang. Semua ini adalah karena para Reformator tidak mereformasi sistem bergereja menjadi yang alkitabiah. Bahkan John Calvin muncul dengan theologi konyolnya bahwa jumlah orang yang masuk Sorga atau Neraka telah dipredestinasikan (ditetapkan) Allah sejak dunia belum dijadikan. Kaum Fundamentalis melihat ada hal yang sangat fatal dalam pikiran para theolog Liberal karena mereka belum diselamatkan. Tetapi oleh Ockenga malah perbedaan antara Liberal dengan Fundamental dihapuskan dengan konsep Injili yang inklusif. Ketika Liberal berkata Alkitab banyak salah, sedangkan Fundamental berkata tidak ada salah, kelompok Injili menyahut ada salah dan tidak ada salah. Tentu membuat kedua pihak terheran-heran. Jawab Injili, yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan bisa salah sedangkan tentang kehidupan tidak ada salah. Liberal berkata bahwa wanita boleh menggembalakan jemaat, Fundamental berkata tidak boleh, Injili muncul dan berkata kalau terpaksa boleh. Ketika ada kelompok yang mati-matian menentang baptisan bayi dan percik sedangkan kelompok lain membela, Injili muncul dan berkata kalau sehat diselam sedangkan kalau sakit dipercik. “Perempuan itu” memunculkan kelompok Kristen yang sifatnya menetralisir kebenaran absolut menjadi relatif. Ketika kelompok Kharismatik muncul dengan segala kegilaan mereka dimana dalam acara ibadah orang boleh melompat berteriak tanpa sopan dan teratur (I Kor.14:40), kelompok Fundamentalis melihat itu sebagai sebuah kegilaan yang tidak berasal dari Roh Kudus melainkan roh “kuda” sementara kelompok Injili tidak mengijinkan hal demikian pada kebaktian orang dewasa mereka namun membiarkan pemuda-pemudi mereka ikut-ikutan “gila.” Padahal, hanya masalah waktu saja si pemuda kemudian akan menjadi dewasa dan menggantikan mereka yang tidak setuju. Tidak Ada Yang Benar Atau Salah Jadi, lihatkah pembaca bagaimana cara “perempuan itu” mengaduk kekristenan? Akhirnya “perempuan itu” berhasil menciptakan injil universal, yang intinya “pokoknya percaya Yesus,” tanpa memahami mengapa perlu percaya Yesus dan percaya kepada Yesus sebagai apa dan lain sebagaimana. Tahukah pembaca bahwa siapapun yang datang ke gereja untuk percaya kepada Yesus tanpa dengan konsep bahwa ia adalah orang berdosa yang harus dihukumkan karena tidak ada cara penghapusan dosa selain dengan penghukuman, adalah salah? Pernah ada peserta seminar yang bertanya, mengapa Dr. Liauw mengajarkan bertobat dan percaya kepada Yesus sementara di Alkitab sering kita temukan hanya himbauan untuk percaya tanpa menyebut pertobatan? Apakah tujuan seseorang untuk percaya kepada Yesus jika tidak disertai pertobatan? Percaya Yesus supaya jadi kaya? Percaya Yesus supaya sehat? Percaya Yesus supaya damai? Bukankah semua motivasi ini fana dan menghinakan kematian Kristus di kayu salib? Benarkah untuk datang kepada Yesus dengan sikap bahwa ia adalah Sinterklaus pemberi materi? Atau Ia adalah dokter tanpa kuitansi penagihan? Siapapun yang datang percaya kepada Yesus tanpa pertobatan PASTI termotivasi tujuan yang salah! “Perempuan itu” berusaha membuat suasana menjadi netral dan universal, tanpa peperangan rohani, dan tentu tanpa khotbah yang menyatakan kesalahan. Masing-masing gereja menganggap bahwa ia benar, demikian juga dengan gereja yang berbeda pengajarannya, semuanya sama-sama benar. Bahkan satu langkah lebih maju lagi, semua agama sama-sama tidak tahu siapa benar atau sama-sama percaya kita semua di dalam kebenaran. Masih perlu aktivitas penginjilan? Sama sekali tidak! Sebelum mencapai semua agama sama-sama benar, tentu orang Kristen harus dibuat masuk ke dalam kondisi bahwa semua denominasi benar. Calvinis yang membaptis bayi benar demikian juga dengan Baptis yang menentang baptisan bayi. Kharismatik yang bernubuat benar demikian juga dengan Fundamentalis yang menentang nubuatan masa kini. Intinya, “perempuan itu” berusaha agar semua orang Kristen tidak membedakan antara satu denominasi dengan yang lain karena semuanya sama-sama benar. Mengapa dua hal yang berbeda bisa sama-sama benar? Jawaban yang diajarkan oleh “perempuan itu”, ialah karena kebenaran rohani itu relatif. Masing-masing orang Kristen dari berbagai denominasi tidak bangga dengan doktrin yang dipercayainya, karena denominasi lain yang berbeda juga sama-sama benar. Bahkan pernah ada dosen sebuah STT datang ke kantor penulis dan menyatakan bahwa kita semua seperti orang buta yang berusaha mengenal gajah. Celakalah kekristenan, dan pantaslah kita telah kehilangan kesaksian dan kegairahan untuk bersaksi karena kita belum tahu gajah yang sesungguhnya. Banyak orang berkata, “Graphe mau benar sendiri saja!” Sama sekali salah! Graphe tidak mau benar sendiri, melainkan mau semua orang menjadi benar sesuai dengan Alkitab. Ada lagi yang berkata, “memangnya semua orang harus berjemaat di Graphe?” Jawabannya, “tidak! Kalau semua orang berjemaat di Graphe sudah pasti gedungnya akan roboh.” Keinginan kami adalah semua gereja menjadi benar sesuai dengan Alkitab! Lalu ada lagi yang berkata, “memangnya penafsiran kamu saja yang sesuai dengan Alkitab?” jawabannya, “sepatutnya setiap orang percaya bahwa penafsirannya benar hingga ada pihak yang sanggup meyakinkannya bahwa penafsirannya salah!” Apakah setiap orang harus meragukan komposisi imannya sendiri? Itu sudah pasti bukan iman melainkan kemunafikan, atau sekedar berada di dalam untuk mencari makan? Kalau tidak yakin itu benar untuk apakah dipercayai? “Perempuan itu” berhasil menciptakan suasana netral atau dalam kemiliteran disebut gencatan senjata (ceasefire). Padahal ketika peperangan terjadi antara Anabaptis dengan Roma Katolik yang adidaya akhirnya Tuhan jawab doa mereka dengan reformasi. Dan Tuhan memberikan kesempatan kepada Reformator untuk membawa gereja kembali ke rel yang benar, namun mereka gagal karena masalah materi, jasmani dan duniawi. Mereka takut mati sehingga meminta perlindungan pada raja wilayah sehingga kembali ke pola gereja negara yang dilindungi dan dimomongi oleh raja. Sebagian, antaranya Calvin dan Zwingli bahkan menjadi “raja” di sebuah kota sehingga melaksanakan kebejatan yang pernah mereka tentang yaitu membunuh lawan iman bukannya mengargumentasikan kebenaran kepada mereka. Sekarang, kondisi di Indonesia, terlebih ketika kekristenan menghadapi lawan yang super power secara fisik, orang Kristen lebih terdorong untuk bersatu-padu. Banyak orang Kristen tidak sanggup membedakan urusan politik dengan urusan iman, sehingga mereka karena ingin bersatu secara politik juga menyerukan persatuan secara doktrinal, bahkan ingin menyatukan gereja secara organisasi. Padahal kita boleh bersatu secara politik namun satu gereja dengan yang lain harus tetap bersaksi, dan jika ada gereja yang salah tetap harus ditegur, dan kebenaran harus tetap dikumandangkan. Namun banyak pemimpin gereja terjebak ke dalam angin pusaran yang ditimbulkan dari alat pengaduk si “perempuan itu.” Dimana-mana didirikan BKAG (Badan Koordinator Antar Gereja) atau sejenisnya yang banyak dipimpin oleh orang yang tidak berpengertian theologi yang benar. Seharusnya kita bisa bersatu untuk urusan politik, artinya semua denominasi bisa bersatu untuk urusan politik, tetapi tidak boleh dipersatukan secara organisasi di bawah BKAG. Kalau BKAG terjebak ke dalam urusan doktrinal dan organisasi gereja, maka dengan tegas penulis nyatakan bahwa itu adalah salah satu alat si “perempuan itu!” “Perempuan itu” akan memegang pemimpn BKAG dan memakainya mengaduk gereja-gereja dengan alasan politik. Terlebih lagi nanti BKAG akan dipakai iblis untuk menganiaya gereja yang tidak mau patuh kepada mereka. Silakan pembaca mengamati. Memang tidak dapat disangkal, dan pembaca juga dipersilakan untuk mengamati, bahwa makin hari injil universal akan semakin populer. Injil universal adalah Injil yang diusahakan tidak menyinggung siapapun, atau Injil yang diusahakan senetral mungkin. Injil yang bagaikan garam yang telah menjadi tawar yang tidak akan membuat pendengarnya merasa terpukul untuk bertobat. Injil demikian tentu hanya akan membuat orang “percaya” Yesus tanpa pertobatan. Orang akan “percaya” Yesus karena Ia pengajar moral yang hebat, karena mendapatkan kesembuhan, karena akan diberkati secara material, karena dijanjikan pekerjaan, dan berbagai motivasi yang bersifat materi, jasmani dan duniawi. Graphe Hadir Dengan Tujuan Yang Jelas Adalah kehendak Tuhan Graphe hadir di saat kekristenan tidak bersinar dan bagaikan garam yang telah tawar. Graphe membuat jelas segala yang remang-remang. Garis pemisah yang dihapus kelompok Injili ditarik secara tegas oleh Graphe. Tadinya orang Kristen tidak dapat membedakan antara Presbyterian/Reform dengan Baptis kini diperjelas (edisi 47). Apa itu gerakan Kharismatik, dan apa itu Liberal, Injili dan Fundamental dipaparkan secara tranparan. Sesungguhnya denominasi manapun tidak perlu tersinggung karena siapapun sepatutnya bangga dengan doktrin yang diyakininya. Jika seseorang malu dengan doktrinnya, ya tinggalkan saja doktrin itu seandainya yang bersangkutan betul-betul mencari kebenaran. Tetapi tentu seseorang tidak mungkin meninggalkan doktrin yang dipegangnya jika dari situ ia mendapatkan keuntungan materi yang memang diharapkannya. Jika seseorang yakin suatu pengajaran benar, silakan, yakinilah dengan sungguh-sungguh. Bahkan kami anjurkan jangan sampai separuh hati. Tetapi jika seseorang tidak yakin suatu pengajaran sungguh benar, apalagi setelah diargumentasikan ternyata tidak logis dan tidak didukung oleh ayat-ayat Alkitab, sepatutnya ia tidak memegangnya teguh secara membabi buta. Ia harus berusaha mencari tahu, betulkah doktrin yang sedang diimaninya benar-benar berdasarkan Alkitab, atau hanya hasil akal-akalan manusia belaka. Jadi, Graphe muncul dengan tujuan yang mulia. Graphe ingin melihat orang-orang Indonesia bukan sekedar menjadi orang Kristen, melainkan diselamatkan. Dan Graphe sangat rindu melihat gereja-gereja menjadi benar, yaitu mengajarkan doktrin yang benar. Yang sesuai dengan penafsiran Graphe? Tidak harus, jika menurut pembaca penafsiran Graphe salah. Tetapi jika pembaca setelah menilai dan mempelajari serta merenungkan dan ternyata pengajaran Graphe sangat logis dan alkitabiah, apa salahnya mengikuti yang benar? Itu namanya mengikuti kebenaran, bukan mengikuti Graphe. Jangan menggenapi nubuatan dari aspek negatifnya. Jangan membiarkan gereja diaduk oleh “perempuan itu” hingga khamir seluruhnya. Sebaliknya kita harus saling mengingatkan, saling menasehati, bahkan saling menegur. Sungguhkah anda orang Kristen yang telah dilahirkan kembali? Betulkah ada Roh Kudus di dalam hati anda? Adakah kerendahan hati pada diri anda untuk menerima teguran? Buktikanlah!*** Sumber: PEDANG ROH Edisi 48 Tahun XI Juli-Agustus-September 2006