~Moment of Truth Mother Teresa
Pada masa Mother Teresa, begitu banyak orang kelaparan di Calcutta,India. Sebuah Daerah kumuh dengan begitu banyak "perut-perut buncit" bergelimpangan di jalanan. Mother Teresa yang tidak tahan kemudian menghampiri sebuah toko roti, ia berkata:
"Tuan, seandainya ada roti sisa yang tidak terjual sore ini, bolehkah saya memintanya untuk orang-orang yang kelaparan di luar sana ?
Tebak apa yang di terima ?
Roti hangat ?? nope
Hujan sumpah serapah dan ludah dari pemilik toko belepotan di wajahnya. Sebagai orang yang pernah juga diludahi; saya tentu bisa memahami perasaan Mother Teresa.
Apa yang terjadi kemudian ?
Sang bunda bereaksi kaget, tapi tetap tenang dan sabar. Ia cuma berkata:
"Tuan ludah ini untuk saya, tetapi roti yang saya minta itu untuk orang-orang yang kelaparan diluar sana."
Sang pemilik toko masih ngedumel, hal ini membuat para pengikut Mother Teresa berang. Tapi Mother Teresa justru mengajak mereka berdoa bersama."
Kira-kira begini doanya sembari ia berlutut.
"Ya Tuhan semesta alam yang berlimpah kasih dan kemurahan, sudilah Engkau menganugerahkan berkatelimpah kepada Bapak ini berserta seluruh anggota keluargannya. Semoga mereka sehat dan sejahtera. Hindarkanlah mereka dari kelaparan yang kini diderita oleh banyak orang diluar sana.Engkaulah penciptan dan pemelihara semesta, dengarkanlah doa hambamu ini. Amen.
Kemudian ia pamit. Keesokan harinya berita tersebar luas ke segala penjuru kota. Pewartanya tidak lain adalah sang pemilik toko yang tersentuh dengan doa Mother Teresa. Ajaib!! karena rotinya yang tidak laku dan nyaris basi sore kemarin, justru laris pembeli.
Kemudian sang pemilik toko mendatangi toko-toko roti untuk menyediakan roti untuk diberikan kepada Mother Teresa dan orang -orang kelaparan. Roti hangat dengan qualitas tinggi. Bukan roti basi atau pun bekas. Tetapi keranjang-keranjang penuh dengan roti hangat.
Mother Teresa adalah seorang yang "egois". Luar biasa, ia begitu asyik dengan dirinya untuk menikmati menolong dan berkorban demi banyak orang. Karena hal itu membuatnya bahagia, mmebuatnya "ketagihan"membuatnya menemukan kenikmatan hidup. Baginya mengisi justru dengan mengosongkan.
Apa yang ada di mindset beliau tentang politik !?
~ Politik mendatangkan ketidakadilan
Masa kecil dialami Teresa dalam situasi pertikaian politik. Begitulah Albania waktu itu, jadi ajang perebutan antara Yugoslavia dan Turki, sementara itu kelompok pejuang Albania dan Macedonia sendiri juga tampil. Hasil nyata dari semua itu, yang dilihatnya, adalah kemiskinan. Keluarganya harus ikut menampung dan membantu mereka yang menjadi miskin akibat pertikaian politik itu. Namun, hasil paling nyata dari pertikaian politik adalah kematian ayahnya, akibat diracun mereka yang tidak suka dengan aspirasi politiknya. Memang, politik bisa membuat orang membangun kubu: kawan-lawan.
Situasi seperti itu dialaminya juga di India, tempatnya berkarya sebagai misionaris. Dia melihat bahwa di balik tembok biara dan sekolahnya, kampung kumuh makin tersebar dan melebar. Kemiskinan parah makin mencolok mata. Semua itu terjadi saat sekitar masa kemerdekaan India, serta pertikaian berbau agama dengan (kemudian) Pakistan dan Bangladesh. Calcutta semakin menjadi kota kampung kumuh, bahkan malahan orang-orang tua, sakit, miskin dan menderita berserakan pula di trotoar-trotoar jalanan. Sekali lagi dilihatnya, ambisi serta pertentangan politis mendatangkan pertikaian, dan akibatnya, kemiskinan serta ketidakadilan merebak.
* Yakobus
2:15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,
2:16 dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?
2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.
Dia terpanggil untuk menolong. Namun dialaminya bahwa kategori politis banyak menghambat hati tulusnya dalam mengabdi Tuhan bagi mereka yang miskin dan menderita. Begitulah, kategori politis menempatkan orang dalam pembedaan kaya-miskin, Islam-Hindu-Kristen, barat-timur; akibatnya lalu perbedaan perlakuan, kecurigaan serta sikap mau mencari kelompok sendiri demi kepentingan sendiri lebih ber-bicara. Dalam situasi seperti itu, hati tulus dan sikap pamrih, apalagi untuk berbagi dengan mereka yang menderita, kurang dihargai namun kepentingan yang lebih dicari.
Sungguh menyakitkan hati, politik yang sebenarnya merupakan sarana untuk menyelenggarakan serta memikirkan kepentingan umum, malahan dipersempit menjadi kepentingan sendiri atau kelompok. Akibat yang dihasilkannya adalah kekerasan, pertikaian, dan akhirnya kemiskinan serta ketidakadilan. Hal itu masih terjadi juga sampai saat ini. Bukan saja di Timur Tengah, dan berbagai belahan dunia lain, tetapi juga di negeri ini.
Agama, suku atau etnis menjadi "kendaraan" untuk melajukan ambisi dan kepentingan sempit. Tentu kita bisa membayangkan, jelang pemilu nanti, situasi itu akan makin mengancam. Maka betapa menyedihkan, agama yang sebenarnya mengajarkan kasih dan keterbukaan akan sesama, malahan dipakai sebagai ajang untuk menyingkirkan dan memanipulasi kepentingan sesama dan bersama.
Mother Teresa memahami itu. Maka dia tidak mau digerakkan dan ditarik ke sana ke mari untuk ikut mendukung kepentingan politik tertentu. Dia ingin berada di semua pihak. Batas ideologis dan politis, agama dan etnis ingin ditembusnya. Bergaul akrab dengan mereka yang komunis sampai berjumpa dengan para pemuka agama, me-nyapa para koruptor untuk mau peduli sampai menyentuh mereka yang kelaparan di pinggiran jalan.
Tidak mengherankanlah kalau dia sampai mengatakan, "Bila orang sudah mencampur adukkan soal politik, maka tiada lagi kasih."Tentu dikatakannya seperti itu, karena dia mengalami sendiri bahwa mereka yang terjun dalam dunia politik menghambakan diri pada kepentingan sempit, bukan kesejahteraan sesama. Kekuasaan yang dicari, karenanya keculasan menjadi alatnya.
~ Politik tidak peduli akan ketidakadilan
Pernah Mother Teresa mengatakan, "Jika saja para politisi mau berlutut dan berdoa, maka dunia pasti akan tertata lebih baik." Dikatakannya demikian, karena menurutnya para politisi kurang mau memperjuangkan kebenaran, apalagi kebenaran moral. Suara hati sudah tertutupi oleh naluri serta rangsangan akan kuasa dan keuntungan. Menurutnya, kalau kebenaran saja tidak dipedulikan, apalagi keadilan, lebih jauh lagi, Tuhan.
Kalau saja saat ini Mother Teresa hidup di Indonesia, tepatnya: Jakarta, dia bisa jadi akan menambahkan kata-kata lain, "Namun, tidak sedikit politisi yang seolah saleh, namun sebenarnya bukan Tuhan sejati yang diabdinya.
Kalau soal yang religius dan agamawi saja ditilep, apalagi bidang-bidang yang jauh dari urusan agama. Pernyataan sinis yang lalu sering diajukan lalu muncul, katanya Indonesia adalah bangsa yang religius, namun tingkat korupsinya juga makin hebat, sangat jauh lebih hebat dari bangsa yang karena menganut paham komunis, lalu begitu saja disebut tidak ber-Tuhan. Angka kejahatan dan kekerasan pun makin meningkat.
Masalahnya bukan pada olah kesalehan, terlebih kesalehan ritual, tetapi lebih pada hati yang tertutup. Maka menambah jam pelajaran agama atau waktu berdoa, tetap tidak akan mampu mengubah apa-apa, kalau tidak ada kesediaan hati untuk mau terbuka dan, terlebih, berubah. Agama kalau tidak sampai pada sikap etik, hanya akan dipandang sekedar sebagai rumusan ajaran dan norma.
Kepicikan, atau fundamentalisme, bisa tumbuh dari sini. Mother Teresa mengalami sendiri betapa urusan politik sering tidak menyentuh realitas mendasar dalam kehidupan umat manusia: ketidakadilan. Malahan tidak jarang, politik semakin menjerumuskan bangsa dalam ketidakadilan, dan kaum elite politik yang mengambil untung darinya. Kita pun sebenarnya mengalaminya juga. Politisi kita yang suka ribut, tak pernah mau sepaham, apalagi selangkah, dalam soal-soal mendasar bagi perbaikan tatanan kehidupan bersama sebagai bangsa, malahan makin membawa ancaman bencana bagi bangsa.
Ledakan bom di Bali, Marriot, seakan dilupakan, karena lebih sibuk dengan soal meraih kekuasaan. Jeritan para korban tidak lagi didengarkan. Demikian juga penggusuran tanpa ampun dibuat semena-mena, tanpa merasa bertanggung jawab bahwa sebagai aparat pemerintah punya kewajiban memberikan tumpangan dan tampungan, bukan malahan hanya menggusur dan mengusir.
Politik menghasilkan kemiskinan dan ketidakadilan. Bisa dikatakan demikian. Akan tetapi tentu tidak berarti bahwa politik tidak diperlukan. Tetap dibutuhkan, namun orientasinya sungguh harus dikembalikan, dari salah jalan dan ketersesatan selama ini. Bagi Mother Teresa, tanda kembali ke jalur rel yang sebenarnya nyata dalam sikap pembelaannya akan mereka yang menjadi korban dari kebijakan politik yang tidak adil, yang hanya menguntungkan kaum kaya dan berkuasa: orang miskin dan menderita!
Pertanyaan bagi kita adalah, apakah pemilu tahun depan akan menghasilkan politisi-politisi yang punya hati nurani, atau malahan menghasilkan politisi yang makin rakus dan ambisius?
* Pengkhotbah
12:13. Sesudah semuanya kupertimbangkan, inilah kesimpulan yang kudapatkan. Takutlah kepada Allah dan taatilah segala perintah-Nya, sebab hanya untuk itulah manusia diciptakan-Nya.