Pendidikan dan Jalur Alternatif




Mutu
Pendidikan dan Jalur Alternatif

Badai
krisis telah mengakibatkan angka pengangguran bertambah, tak terkecuali dari
kalangan terdidik. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih terfokus pada
upaya mendongkrak mutu pendidikan dan menekan angka pengangguran terdidik.

Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Agustus 2006 jumlah penganggur
dari kalangan terdidik sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen dari jumlah
angka pengangguran. Setengah tahun kemudian jumlah itu naik menjadi 740.206 atau
7,02 persen. Disebutkan pula, lebih dari 300.000 lulusan perguruan tinggi dari
jenjang diploma hingga sarjana atau strata satu (S-1) siap memasuki pasar
tenaga kerja. Tahun ajaran 2005/2006.

Pada
tahun yang sama, Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah mahasiswa yang
lulus dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebanyak 323.902 orang. Namun,
tidak semua yang lulus ini terserap oleh pasar. Lalu kalau demikian, apa
sesungguhnya yang terjadi dengan pendidikan kita? Mengapa pendidikan kitai tak mampu memperluas peluang kerja?

Ditengah ancaman resesi dunia yang juga berdampak pada
perekonomian Indonesia, puluhan ribu
buruh kini menerima pemutusan hubungan
kerja (PHK). Berbeda dengan negara-negara maju yang memberikan bantuan pada
rakyatnyanya yang menganggur, di Indonesia korban PHK harus menerima kenyataan
untuk menderita batin karena merasa tak berharga kehilangan pekerjaan. Seolah tak ada lagi
solusi untuk mengatasi bertambahnya pengangguran. Semuanya sumpek.

Dimulai dari guru

Konstitusi Indonesia dengan jelas
menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ini berarti Pendidikan Indonesia harus bisa menyiapkan manusia
Indonesia untuk hidup mandiri dengan memiliki kompetensi untuk bekerja. Untuk
menghasilkan manusia terdidik sebagaimana diamanatkan konstitusi maka
diperlukan fasilitas memadai seperti gedung sekolah yang layak dan perpustakaan
dengan buku-buku berkualitas. Di samping dibutuhkan laboratoriun serta
fasilitas yang dapat menunjang pengembangan bakat siswa.

Namun di atas segalanya, pendidikan
bermutu membutuhkan tenaga-tenaga guru yang terdidik dan kompeten, berkomitmen
pada tugas dan pengabdian serta layak di gugu
dan di tiru. Mulailah dengan
perbaikan mutu dan kesejahteraan guru, maka semuanya akan ditambahkan.

Sayangnya
mutu guru sering menjadi bahan perbincangan yang tiada habis-habisnya. Guru
dikeluhkan karena kehadirannya di kelas kerap hanya sebagai formalitas belaka.
Sebuah penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2007) menunjukan, hampir sebagian besar
guru sekolah menengah di Indonesia sering meninggalkan ruang kelas untuk
mencari nafkah tambahan di tempat lain. Akibatnya, murid-murid yang semestinya
mendapat pelajaran pun akhirnya terabaikan hak-haknya.

Karena
itu, untuk memperbaiki mutu pendidikan tak ada jalan lain kecuali dimulai
dengan pembenahan mutu guru dengan memperbaiki kesejahteraan mereka. Pemerintah
harus bersungguh-sungguh mengimplementasikan anggaran pendidikan 20% dengan
perbaikan mutu dan kesejahteraan guru. Pasalnya, karena hingga saat ini masih
banyak sekolah yang guru-gurunya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi
berbicara tentang fasilitas pendidikan.

Pada peringatan
hari guru nasional, 25 November lalu
para guru kembali menyerukan kepada pemerintah agar segera memperbaiki
kesejahteraan mereka. Mereka menuntut pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Guru,
meski masih ada indikasi perlakuan diskriminatif terhadap guru-guru swasta. Pemerintah
wajib memperhatikan kesejahteraan guru sebagai tenaga professional bukan hanya
sekedar pengabdi bangsa. Mereka layak mendapat bayaran yang setimpal atas ilmu
mengajar yang mereka miliki, bidang keahlian yang mereka kuasai, serta tugas
dan semangat pengabdian yang mereka emban. Mengubah
Lirik himne guru
dari Pahlawan Tanpa tanda Jasa
menjadi Pahlawan Pembangun Insan Cendekia
akan tidak ada artinya sama sekali jika nasib dan kesejahteraan mereka tetap
terabaikan.

Jalan Alternatif

Bila penyelenggaraan
pendidikan benar-benar sesuai dengan amanat konstitusi, kehadiran generasi muda
yang cerdas dan mampu mengolah sumber daya alam Indonesia untuk dapat memenuhi
kebutuhan semua orang di Indonesia bukanlah sebuah impian belaka.

Sejauh ini
pelajar Indonesia telah membuktikan dirinya mampu berkiprah dalam kancah
internasional dengan keberhasilan mereka menyabet medali emas , perak dan
perunggu dalam olimpiade fisika. Tidak sedikit tenaga ahli Indonesia “jebolan”
perguruan tinggi kelas dunia yang justru
bekerja untuk kemajuan bangsa-bangsa lain. Itu artinya, otak orang Indonesia
tak kalah hebatnya dari otak-otak bangsa terhebat lainnya di dunia. Pemerintah mesti
mengkap semua itu sebagai potensi besar yang bisa dikembangkan untuk kemajuan
bangsa. Disinilah pemerintah harus bisa memberikan akses pendidikan berkualitas
pada semua nggota masyarakatnya dan mengupayakan agar tamatan pendidikan tinggi
dapat bekerja dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

Ide
Ciputera pengusaha kondang di negeri ini untuk mencetak sebanyak mungkin“entrepreneur”
barangkali layak dijadikan acuan. Pemerintah harus merancang system pendidikan
bermutu yang bisa menghasilkan generasi penerus penuh kreasi, mampu mencari
solusi sendiri, dan menciptakan jaln-jalan alternative apabila jalan normal
benar-benar sudah tersumbat.

Hanya
dengan demikian, akan lahir generasi yang tidak ikut menambah barisan
pengangguran, malah menciptakan jalan-jalan alternative untuk mengurai ledakan
pengangguran tersebut.

Binsar A. Hutabarat,

Keywords Artikel: artikel, Pendidikan

Topic Artikel: Renungan dan Artikel