Bertempat di Sanur Paradise Plaza Hotel, Bali, Opening Ceremony KGTI tanggal 9 Juni 2008 berlangsung meriah. KGTI IX ( Konferensi Gereja-Gereja Tionghos Indonesia) telah dibuka dengan meriah dan sukses oleh Ketua PGTI Bpk. Suhendro Hadiwidjojo dan Sekjen CCCOWE (Chinese Coordination Centre for World Evangelization) Rev. Morley Lee, serta pemukulan Gong dilakukan oleh Bp. Dirjen Bimas Kristen Dr. Jason Lase. Didahului oleh Bpk. Suhendro beserta Rev. Morley Lee yang bersama-sama menekan tombol pembukaan Konferensi ini. Upacara pembukaan KGTI dimeriahkan pula oleh Paduan Suara Gabungan Bali dan PS Oikumene Bali serta Group Kulintang. KGTI IX dihadiri oleh sekitar 900 peserta bersama relawan. .Sekjen CCCOWE Rev. Morley Lee berkenan memberikan kata sambutan untuk para peserta Konferensi. Para Relawan KGTI sangat bersemangat mempersiapkan Konvensi KGTI ( Konperensi Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia). KGTI IX yang diselenggarakan dengan Meriah dan sukses diikuti oleh 806 Pekerja Gerejani dan Hamba Tuhan. Acara ini Konferensi Gereja-Gereja Tionghoa Indonesia ( KGTI ) diselenggarakan selama 4 hari mulai tgl. 9 -12 Juni 2008 di pulau Bali. Main Ballroom dipadati hampir 1000 orang pengunjung.
KGTI IX yang berlangsung meriah, dengan jumlah peserta yang mencapai 806 orang ini berlangsung di Sanur Paradise Plaza Hotel, pulau Bali. Kali ini mengundang pelbagai pembicara dari dalam dan luar negeri, antara lain: Pdt. Caleb Tong, Pdt. Benny Solichin, Pdt. Robby Chandra.
Dalam Kongres ini juga dibacakan Bali Declaration 2 oleh Wakil Ketua Umum PGTI, Bp. Pdt. A.O. Angkasa yang menerjemahkan BALI DECLARATION ke Bahasa Indonesia. KGTI IX yang diselenggarakan pada tgl. 9 - 12 Juni 2008 telah ditutup dengan meriah pada tgl.12 Juni 2008 pagi di Sanur Paradise Plaza Hotel, Bali, dibarengi dengan Ikrar Bersama Bali Declaration . Sekjen CCCOWE - Rev. Morley Lee, memberikan sambutan yang mengharukan pada upacara penutupan KGTI ini. Selaku Ketua Umum PGTI adalah Bpk. Suhendro Hadiwidjojo dan Menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PGTI, Bpk. Subianto Tjandra. Pada penutupan ini, Para peserta KGTI memberikan Penghargaan/Tribute kepada para RELAWAN, yang telah bekerja keras tanpa mengenal lelah selama persiapan dan masa penyelenggaraan Konferensi. Pada Konvensi ini berlangsung acara Singing the anthem dimana Para pengurus dari PGTI dan CCCOWE be-sama-sama menyanyikan Anthem Konferensi "LIGHT UP YOUR CANDLE (Nyalakan Terangmu)"
Sekilas PGTI
Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) atau Communion of Chinese Churches in Indonesia (COCCI) beralamat di Komplek Wisma Angkasa Pura, Jl. Sentani No. M-27, Jakarta 10720 Indonesia.
"Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung dunia." PGTI didirikan dengan berlandaskan Kisah Rasul 1:8 dimana ayat ini merupakan nasehat yang penting dari TUHAN Yesus Kristus sebelum Ia naik ke surga, juga merupakan ayat kunci dari seluruh Kitab Kisah Para Rasul. Didalamnya terkandung: "Kesaksian yang": menjadi tanggung jawab kita. "Roh Kudus": kekuatan pendorong dari kesaksian kita. "Ujung Bumi": visi yang jauh kedepan dari kesaksian kita.
Dua tahun menjelang tahun 2000, ketika masyarakat dunia dengan penuh optimis menyongsong datangnya millenium baru, diluar dugaan terjadi krisis moneter internasional. Asia adalah wilayah pertama yang terlanda krisis tersebut, bahkan di bumi Indonesia terjadi gejolak yang belum pernah terjadisebelumnya, sehingga setiap saat hati rakyat Indonesia merasa was-was, sedih dan marah menjadi satu. Dalam situasi yang demikian TUHAN menyatakan karyaNya di Gereja-Gereja Injili Jakarta, dimana TUHAN telah menggerakkan sekelompok rekan bahwa dalam kondisi yang seperti ini sangat memerlukan persatuan, kesatuan dan saling bekerja sama.
Situasi ini juga memperlihatkan betapa pentingnya Pengabaran Injil, dan dari sisi gereja-gereja berbahasa Mandarin juga memperlihatkan betapa mendesaknya regenerasi pendidikan bahasa Mandarin. Oleh karena itu mereka terdorong dan rela melepaskan keakuannya untuk mengikuti TUHAN. Setelah melalui pengumulan doa, menunggu dan beberapa kali mengadakan penjajakan, maka atas anugerah pimpinan TUHAN pada rapat gabungan (diantara CCCOWE distrik Jakarta, Gerakan Penginjilan Era 2000, Pusat Pelayanan Musik Gerejawi, Pusat Pelayanan Literatur Injil, dan Persekutuan Gereja-Gereja Kristen Injil Jakarta) tanggal 11 Nopember 1997 telah mensponsori terbentuknya PUSAT PELAYANAN GEREJA-GEREJA INJILI INDONESIA (PPGII), yang diresmikan tanggal 29 Agustus 1998. Dari PPGII kemudian membentuk PGTI. Saat ini PGTI sudah ada di 15 kota sebagai PGTI Wilayah di Indonesia.
Tujuan PGTI adalah Melayani para jemaat
Selama kurun waktu sekian tahun ini, PPGII di bawah pimpinan dan penyertaan TUHAN, dengan semangat mengutamakan Kerajaan ALLAH telah memberikan pelayanan kepada gereja gereja. Sehingga pendirian PPGII menjadi kemuliaan bagi Tuhan. Pdt. Daniel Cahyadi Sekjen PPGII melalui doanya di hadapan TUHAN, menetapkan strategi dan arah untuk masa yang akan datang, maka dengan mempertimbangkan perubahan struktur organisasi, dibuat usulan program kerja masa depan. Diharapkan nantinya PPGII bukan saja berperan dalam pelayanan, namun juga berperan menjalankan amanat dan tanggung jawab pendoa secara kenabian. Sebagai pendoa harus:
Memiliki kepekaan terhadap trend jaman.
Memiliki kesetiaan terhadap tugas kepercayaan Allah Bapa.
Memiliki perasaan berhutang terhadap kehausan batin manusia.
Memiliki sense of mission terhadap gereja yang tak bergairah.
Team perencana dan strategi serta para pengurus departemen pada bulan agustus 2003 bertepatan dengan penyelenggaraan siding tahunan ke 5 telah mengundang Pdt. James Shia dari Chinese Christian Evangelistic Association sebagai pembicara dan juga sebagai penasehat dalam pembahasan dan perubahan struktur organisasi dan penetapan strategi.
Pada siang itu telah disetujui dan disahkan perubahan struktur organisasi menjadi 6 kelompok (departemen) utama, yaitu :
Pembaharuan gereja
Misi dan pendirian gereja
Yayasan terang dan garam
Pendidikan dan pembinaan
Himpunan usahawan dan professional
Sekretariat PPGII
Berikut adalah penjelasan tentang struktur organisasi dan sasaran program kerja dari kelompok kelompok tersebut diatas, kiranya PPGII dapat dengan sehati bekerja sama dengan sekitar 300 gereja-gereja yang tersebar di Indonesia, untuk menyebarluaskan injil, tumbuh bersama bersatu dalam kasihNya.
Visi
Sehati Sepikir Menyebarluaskan Injil Tuhan Tumbuh Bersama Menyatakan Kasih Tuhan
Sehati Sepikir; yakni bukan hanya bersatu dalam organisasi, tetapi juga bersatu dalam meneladani kehidupan Kristus.
Menyebarluaskan Injil Tuhan, yakni melalui penjabaran visi membuka wawasan baru ladang pelayanan, mendorong serta memotivasi setiap gereja bersana-sama menghimpun kekuatan untuk melaksanakan tugas misi Pekabaran Injil di dalam maupun di luar negeri.
Tumbuh Bersama, yakni mencapai pertumbuhan bersama melalui pembinaan iman, dan melengkapi jemaat dengan teknis pelayanan dengan tetap bercirikan latar belakang kebudayaan Tionghoa.
Menyatakan Kasih Tuhan, yakni menyalurkan kasih TUHAN dalam nemtuk kepedulian social, guna mewujudkan kualitas terang dan garam dunia.
Sasaran
Berpusat di Jakarta, berkembang ke seluruh Nusantara
Berpijak di Indonesia, berwawasan dunia
Misi
Melayani gereja-gereja
Mendorong kerja sama
Mengsharingkan visi
Menghimpun kekuatan
Mendorong perintis jemaat
Mencapai tujuan
Tiga "TIDAK"
Tidak ikut kegiatan politik, gereja dan politik harus ada pemisah.
Tidak ikut campur urusan intern gereja atau badan misi.
Tidak mendirikan gereja atau pusat penginjilan didaerah dan negara manapun.
Pembaharuan Gereja
Pembaharuan dan pertumbuhan gereja adalah topik yang sering kita dengar, namun dalam kenyataannya tidak mudah untuk digerakkan dan dikendalikan. Dalam menghadapi berbagai imbas zaman, gereja-gereja berlatar belakang Tionghoa kurang teguh dalam Iman juga kurang berbobot dalam kehidupan kerohanian, kurang memiliki kasih yang murni, kurang berakar dalam kebenaran, kurang dinamika dalam doa, kurang efektif dan efisien dalam memobilisasi jemaat, untuk itu PPGII akan menggerakkan mereka untuk selanjutnya lebih meningkatkan diri. Diantaranya faktor yang terpenting adalah dinamika rohani dan memobilisasi semua pihak untuk mementingkan doa.
Pembaharuan dinamika rohani
Pelatihan doa
Melalui fungsi persekutuan doa gabungan gereja gereja dan persekutuan doa wanita
Rencana pembangunan bukit doa (nama belum ditetapkan) sebagai tungku penggondokan kerohanian
Pembaharuan ibadah
Pendidikan dan Pembinaan
Pengembangan sumber daya yang utama adalah manusia, kiranya melalui pelatihan dan pembinaan dapat menghasilkan SDM dalam berbagai tingkat lapisan.
Program rencana gerakan 5250
Dalam jangka waktu 5 tahun menggerakkan Gereja-gereja Tionghoa merintis pembangunan gereja (150 jemaat baru termasuk pos) dan membantu gereja pedalaman merintis 100 jemaat baru. Pekerjaan departemen misi dan pendirian gereja ini tidak berarti menggantikan pelayanan misi gereja / sinode, namun berhubungan dengan pekerjaan misi. Jadi fungsinya sebagai saluran dan penyampaian visi bagi gereja gereja / sinode dalam pekerjaan misi, dengan tujuan mensharingkan beban visi dan amanat. Pembinaan misi PPGII mengutamakan para penginjil yang melayani di desa-desa terpencil dan dalam pembukaan / pendirian gereja-gereja disana. Dengan mengedakan pembinaan jangka pendek dan merencanakan untuk membantu dalam bahan-bahan naskah khotbah untuk menolong para penginjil dalam pelayanan diatas mimbar. Selanjutnya pekerjaan ini akan bekerjasama PPGII wilayah, sekolah-sekolah seminary.
Pembinaan pertumbuhan gereja melalui PPGII akan mengundang dan mengatur Hamba-hamba TUHAN yang bertalenta baik dari dalam maupun luar negeri untuk diatur mengadakan kebaktian khusus gabungan di wilayah-wilayah.
(Pengurus Periode X---4 September 2007 – 30 September 2011)
Ketua Umum : Suhendro Hadiwidjojo
Wakil Ketua :
Subianto Tjandra
Pdt. A. O. Angkasa
Yuki Chandra
Sekretaris Jendral : Pdt. Dr. Jakub S. Hosanna
Wakil SekJen : Jane Lim
Notulis :
Pdt. Dr. Jusuf Pangestu (GKY)
Pdt. Grace Elim, M.div
Bendahara : Stephen Mulyadi
Penasehat :
Pdt. Dr. Peter Wongso (Rektor Kehormatan SAAT)
Pdt. Andreas H. Simeon, M.Th
Pdt. Samuel Sewandi
Pdt. Dr. Daniel Lukas Lukito (Rektor SAAT)
Pdt. Hardi M. Farianto, B.Th
Pdt. Yohanes Adrie Hartopo, Ph.D (Rektor STTAA)
Pdt. Lukas Tjandra (Dosen SAAT)
Pdt. Philip Tjendana
Pdt. Charles Christano (GKMI)
Pdt. Bambang Wijanto (GKKK)
Pdt. Dr. Joseph Tong (Rektor STT Bandung)
Pdt. Dr. Freddy Lay (GKY)
Pdt. Pamudji, Ph.D
Pdt. Dr.Henry Efferin (GKI)
Pdt. Joshua Ong, Ph.D
Pdt. Alex Lim
Pdt. Netty Lintang
Pdt. David Iman Santoso
Ketua Sinode GKKK (Gereja Kristen Kalam Kudus). Pdt. Bambang Wijanto, S.Th yang juga menjadi peserta dalam KGTI ini menyambut baik adanya KGTI IX yang diprakarsai oleh PGTI menyatakan bahwa KGTI ini merupakan sebuah langkah baik dalam mempererat Gereja-gereja Tionghoa yang ada di Indonesia untuk lebih lagi peduli akan kondisi bangsa dan negera serta berperan aktif dalam mewarnai kehidupan bermasyarakat agar Menjadi Berkat yang nyata sehingga Terang dan Garam Kristus nyata dalam hidup sehari-hari.
Dede Wijaya, Penulis buku Pesona Alkitab, pengamat Gereja-Gereja Indonesia.
Comments
IBLIS SEDANG MENGHANCURKAN GEREJA TIONGHOA
Tue, 14/04/2009 - 14:23 — dedewijayaMenurut catatan sejarah yang tersedia, orang Tionghoa pertama kali mendengar Injil adalah pada abad ke-7, oleh misionari dari kelompok Nestorian. Di antara mereka ada yang cukup dikenal yang bernama Olopun dan Subchaljune yang datang ke Tiongkok pada tahun 696. Pada abad ke-9 pengajaran Yahudi dan Islam masuk juga ke wilayah Tiongkok. [McClintock, John & Strong, James. Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature. Grand Rapids: Baker Book House, 1981.]
Kemudian pada abad ke-13, ketika Marco Polo, petualang dari Italia, menjelajah wilayah Timur. Marco Polo tinggal 20 tahun di Tiongkok, berkenalan dengan Kubilai Khan dan memperkenalkan kekristenan kepadanya. Kublaikhan sangat tertarik dan meminta dikirimkan seratus orang misionari. Pada perjalanan pulang dari Tiongkok (th.1275), melalui pamannya disampaikan permintaan Kublaikhan tersebut kepada Paus Katolik.
Sayang sekitar dua puluh tahun kemudian yaitu tahun 1294, setelah Kubilai khan mati baru dikirim John of Montecorvino, dan diterima oleh putra Kubilai khan yang bernama Timur. John of Montecorvino membangun gereja dan tercatat hingga tahun 1305 membaptis enam ribu orang, yang tentu bukan orang Kristen lahir baru. [Roger Steer, J. Hudson Taylor a Man in Christ (Singapore: Overseas Missionary Fellowship Ltd., 1991), p. 12.]
Seandainya Paus Katolik memenuhi permintaan Kublaikhan maka Tiongkok bisa menjadi negara Katolik. Kalau Kublaikhan menjadi orang Katolik, siapa lagi yang bisa menghalangi pendirian gereja-gereja dan biara-biara di seluruh Tiongkok?
Misi Protestan masuk di abad modern dipioniri oleh Dr. Morrison (1807). Dialah yang pertama kali menerjemahkan Alkitab ke dalam tulisan Tionghoa. Selama 40 tahun, pelayanan misi mereka telah banyak menghasilkan orang Kristen.
Pada tanggal 19 September 1853, Hudson Taylor menuju daratan Tiongkok, yang akhirnya mendarat di Shanghai. Pada saat meninggalnya, tahun 1905, telah dibangun 205 tempat pemberitaan Injil, dengan 489 misionari, dan orang Tionghoa yang telah dikristenkan 125000 orang.
Dan sesungguhnya yang menggelorakan semangat Injil orang Tionghoa adalah Dr. John Sung, seorang yang sangat cerdas yang membuang semua medali penghargaannya ke laut pada saat berlayar pulang tahun 1927. Bersama Watchman Nee, Wang Ming Dao, Andrew Gih, Frank Lin, Lim Puay Hian, dan Ting Li Mei, mereka telah menggetarkan hati orang Tionghoa dengan Injil bukan hanya di dataran Tiongkok, melainkan meluas hingga ke Asia Tenggara. Mereka telah memperkenalkan Yesus Kristus kepada jutaan orang Tionghoa.
Kegairahan Kini Memudar
Sekitar sepuluh tahun menjelang Perang Dunia II hingga dua puluhan tahun sesudahnya, orang Tionghoa sangat bergairah terhadap Injil. Terutama orang Tionghoa di luar daratan Tiongkok. Kegairahan itu diwujudkan dengan berdirinya gereja-gereja berbahasa Tionghoa dan juga Sekolah Alkitab berbahasa Tionghoa di mana-mana. Banyak pemuda Tionghoa yang mempersembahkan diri untuk dididik sebagai pengkhotbah. Sekolah Alkitab bahasa Tionghoa penuh siswa, bahkan hingga perlu diterapkan penyeleksian yang sangat ketat sehubungan dengan terbatasnya asrama.
Namun kini telah mundur teratur. Banyak Sekolah Alkitab berbahasa Tionghoa telah tutup, dan yang masih berjalan sudah sangat kekurangan murid. Silakan pembaca selidiki,
dan tentu mereka yang cukup berumur masih ingat masa gereja dan sekolah Alkitab Tionghoa berjaya.
Mungkin ada yang berkata, "ah... ada-ada saja, siapa bilang gereja Tionghoa dihancurkan? lihat gedungnya masih tetap tinggi menjulang, bahkan ada yang baru, serta sangat besar lagi." Tetapi tahukah anda sudah banyak gereja Tionghoa yang tidak bisa mendapatkan pengkhotbah orang Tionghoa, sehingga tidak sedikit gereja Tionghoa yang digembalakan oleh orang Jawa, Batak, Manado atau Nias. Penulis sama sekali tidak mengecilkan suku bangsa lain dalam hal ini. Jangan ada yang salah mengerti. Bahkan suku lain harus bangga karena gairah mereka melayani Tuhan tidak menurun. Yang perlu introspeksi diri dalam hal ini adalah orang-orang Tionghoa, termasuk penulis sendiri.
Kita harus mencari tahu penyebab kehancuran gereja yang sudah sangat jelas ini. Untuk apa gedung yang mewah dan mahal kalau suatu hari kubahnya mungkin diganti dengan lambang bulan dan bintang seperti banyak gedung gereja di Inggris sekarang? Fakta yang jelas di depan mata adalah generasi muda Tionghoa kurang bergairah melayani Tuhan.
Tidak Dibangun Di Atas Batu Karang
Dari sejarah pendirian gereja-gereja Tionghoa, terlihat jelas fondasi doktrinal mereka sangat rapuh. Banyak gereja Tionghoa di Indonesia didirikan dari hasil Kebaktian Kebangunan Rohani Dr. John Sung. Penulis sama sekali tidak memandang rendah Dr. Sung. Namun beliau bukan pengajar doktrinal, lagi pula kedatangan beliau di suatu daerah sangat singkat (Shortterm). Jadi, banyak pemimpin gereja Tionghoa adalah hasil KKR seminggu yang sangat bersemangat namun tidak memiliki pengetahuan doktrinal yang mamadai.
Kekurangan pengetahuan doktrinal telah menyebabkan mereka mencampur-adukkan doktrin dari satu denominasi dengan yang lain sehingga doktrin mereka saling bertentangan. Begitu semangatnya mereka menginjil sepertinya mereka percaya pada tanggung jawab manusia, sementara di sisi lain mereka percaya pada predestinasi Calvinisme.
Mendirikan sebuah gereja, yang mungkin suatu hari akan menjadi sebuah denominasi, tidak bisa dengan fondasi semangat yang dihasilkan dari KKR seminggu. Bahkan Martin Luther, seorang reformator yang hebat, tidak sanggup menancapkan fondasi yang kokoh bagi gereja Protestan, sehingga gereja Protestan masih mamakai blue-print Gereja Roma Katolik. Demikian juga John Calvin yang mencampur-adukkan pemerintahan gereja dengan pemerintahan negara ketika gereja Reformed/Presbyterian berawal di kota Geneva.
Karena dasarnya tidak kokoh, ya tentu tidak kuat untuk menahan angin Liberalisme dan badai Kharismatik. Khusus untuk gereja Tionghoa Indonesia, malah mendapat tambahan serangan dari aspek politik Orde Baru yang melarang pemakaian bahasa Tionghoa, sehingga terjadi kelangkaan generasi penerus yang berbahasa Tionghoa. Semua itu menjadi faktor penghancur gereja-gereja Tionghoa.
Pendiri Sekolah Tinggi Theologi (STT) tidak mementingkan doktrin sehingga STT menjadi tempat pengadukan berbagai doktrin. Para dosen mereka berlomba mengejar titel
yang lebih tinggi tanpa peduli masuk ke seminari Liberal atau Kharismatik, yang penting dapat gelar. Tentu dosen-dosen demikian pulang segera menjadikan STT mereka "warung gado-gado doktrin".
Lebih Mencintai Ras Daripada Kebenaran
Bagi setiap orang yang berakal sehat pasti tahu bahwa dua hal yang berbeda tidak mungkin dua-duanya benar. Yang mungkin adalah dua-duanya salah atau salah satunya benar. Dan siapapun yang cinta kebenaran pasti akan berusaha memastikan dan memegang yang diyakininya benar.
Penulis mensinyalir sikap yang salah bukan hanya di kalangan theolog Tionghoa, bahkan kebanyakan orang Kristen. Sikap salah itu ialah menyatakan suatu pengajaran salah sekaligus memusuhi orangnya, atau memusuhi orang yang menyatakan kesalahannya. Seharusnya kita tidak memusuhi orang Buddha sementara tetap menyatakan bahwa pengajaran Budha itu salah. Kita harus tetap tegur-sapa dengan Saksi Jehova sambil dengan tegas menyatakan bahwa doktrin mereka salah. Dan kita seharusnya tetap bersikap baik bahkan ramah terhadap orang Mormon namun tidak mencampurkan doktrin gereja kita. Sikap memusuhi orang yang menyatakan kesalahan kita itu bukan sikap yang diajarkan Kristus.
Sikap mengejar kebenaran, mencermati perbedaan doktrin satu denominasi dengan yang lain untuk mendapatkan doktrin yang paling benar, bukan hanya kurang dimiliki pemimpin gereja Tionghoa bahkan juga kebanyakan pemimpin gereja lain. Mencintai suku atau ras kita lebih daripada kebenaran adalah hal yang sangat menyakitkan hati Tuhan. Seharusnya setelah seseorang dilahirkan kembali di dalam Kristus, yang lebih dicintainya adalah saudara di dalam Kristus daripada orang sesuku dengannya.
Penulis pernah berkata kepada seorang "majelis" bahwa seandainya China berperang dengan sebuah negara Kristen, hati saya memihak kepada orang-orang Kristen karena mereka saudara saya di dalam Kristus. Orang-orang yang satu suku/ras dengan kita itu karena kebetulan bahasa sama, warna kulit sama, dan kalau ditarik jauh ke atas mungkin satu nenek moyang. Namun mereka tidak akan bersama dengan kita di Sorga kelak. Sedangkan orang Kristen yang telah dilahirkan kembali di dalam Kristus adalah orang-orang yang akan menikmati kekekalan bersama kita.
Sebuah fenomena mencintai ras lebih dari kebenaran di kalangan pemimpin gereja Tionghoa terlihat ketika mereka mengambil sikap lebih memihak gereja Tionghoa atas dasar suku atau ras daripada doktrin. Sebagai contoh, doktrin yang dianut oleh pendiri banyak gereja Tionghoa, seperti Gepembri, GKJ, GSRI, GKNI, GKK, dll. sebenarnya lebih dekat ke Graphe daripada Reformed maupun SAAT yang kalvinistik. Tetapi mungkin karena faktor bahasa (ketionghoaan) atau faktor almamater pemimpinnya yang notabene ada unsur ras, mereka memilih menggeser ketetapan doktrin mereka. Tiga puluh tahun lalu kebanyakan gereja Tionghoa tidak menerima perempuan sebagai gembala. Tetapi karena para dosen SAAT, SBC,dll. banyak yang mengambil gelar di seminari Liberal pulang, maka kini telah lebih banyak mahasiswi daripada mahasiswa di sana, gereja-gereja Tionghoa pun berkompromi, mula-mula mengijinkan perempuan menjadi pejabat gembala, dan kemudian menjadi gembala penuh bahkan ditahbiskan.
Sikap lebih cinta ras daripada kebenaran ini mematikan semangat dan antusiasme generasi muda terhadap kebenaran. Sikap ini sangat menyakitkan hati Tuhan, karena Tuhan sendiri adalah kebenaran. Jika pergi ke gereja atau terlibat dalam pelayanan hanyalah sebuah aktivitas lumrah sebagai orang Kristen, mengapa mesti bertanya, mana yang lebih benar, dan yang lebih alkitabiah? Kalau diselam dan dipercik sama-sama benar, kalau istilah Perjamuan Tuhan tidak berbeda dari Perjamuan Kudus, kalau gereja yang Am dan yang lokal tidak ada bedanya, apa yang perlu dicermati? Mencintai ras lebih dari kebenaran telah mematikan sense terhadap kebenaran. Camkanlah!
Sistem Bergereja Tidak Alkitabiah
Penulis pernah mendengar seorang pemimpin gereja Tionghoa berkata bahwa Tuhan tidak menetapkan sistem pengurusan gereja. Benarkah? Masakan Tuhan yang maha tahu, maha teratur, maha perancang tidak menetapkan sebuah sistem untuk jemaat yang direncanakanNya? Apalagi jemaat ini direncanakan sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran (I Tim.3:15). Kalau tidak tahu, sebaiknya jangan berkata tidak ada!
Jelas sekali telah terjadi kekacauan sistem bergereja di kalangan gereja-gereja Tionghoa. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam sistem perusahaan. Gembalanya dikontrak, bahkan ada ketua majelis mereka yang melihat gereja sebagai salah satu anak perusahaannya.
Sistem penggajian mereka telah menyebabkan harga diri penyampai firman di gereja demikian amat direndahkan. Adalah fakta yang sulit dipungkiri bahwa siapapun yang menentukan gaji anda itu artinya anda bekerja padanya, atau setidak-tidaknya ia adalah atasan anda.
Bahkan sistem kontrak telah menelantarkan hamba Tuhan di hari tua mereka. Dengan direndahkannya martabat pelayan Tuhan full time, telah membawa efek negatif yang sangat parah, yang tidak cukup waktu satu generasi untuk memperbaikinya. Dan faktor inilah yang menyebabkan anak-anak pelayan Tuhan tidak berani bercita-cita melayani Tuhan seperti ayah mereka, orang-orang muda ketakutan jika didorong untuk menjadi hamba Tuhan. Jujur kata, para majelis yang menguasai gereja pasti tidak mendorong anak-anak mereka untuk menjadi hamba Tuhan. Bisakah kita simpulkan bahwa ini adalah salah satu faktor yang telah menyebabkan minimnya mahasiswa theologi Tionghoa?
Semangat kalangan Tionghoa melayani Tuhan pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sangat luar biasa. Pada saat itu berdiri banyak Sekolah Alkitab berbahasa Tionghoa. Tetapi karena latar belakang akademik guru mereka hanya bermodalkan gemblengan para misionari yang kebanyakan hanya dilatih beberapa bulan di negaranya, maka lulusan mereka sudah pasti memiliki kemampuan akademik yang rendah. Tentu tidak mungkin menyalahkan mereka karena mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat melayani Tuhan. Yang patut disalahkan adalah pemimpin yang tidak mengusahakan upgrading yang berkesinambungan. Mengapa? Karena pemimpin gereja justru orang awam. Yang ada di kepala mereka tentu bukan keadaan gereja 30 tahun mendatang, melainkan perusahaan mereka.
Karena tidak mengerti sistem berjemaat yang alkitabiah, maka sistem kacau-balau yang dipergunakan. Dalam situasi demikian sudah pasti yang paling pintar, paling berpendidikan, paling banyak duit, dan paling terpandang di masyarakat, yang akan secara de facto memimpin jemaat. Akhirnya gereja saling mencontoh bahkan mencontoh sistem berbagai perkumpulan sosial.
Pada tahun lima puluhan di kalangan masyarakat Tionghoa memang terdapat semacam dewan (wui yen hui) yang terdiri dari pemuka masyarakat yang dibentuk untuk mengurus sekolah-sekolah Tionghoa. Dewan tersebut mengundang guru, menetapkan gaji guru dsb. Tentu dengan sangat gampang sistem ini dibawa masuk ke dalam jemaat yang tidak diajarkan sistem yang alkitabiah. Karena situasi demikian maka terciptalah sistem kekuasaan majelis, dan hamba Tuhan mereka perlakukan seperti mereka perlakukan guru-guru di sekolah sekuler yang mereka gaji. Di satu sisi para hamba Tuhan memang kurang mengerti doktrin Ekklesiologi, kurang pengetahuan umum, kurang duit, dan tentu kurang percaya diri sehingga menyerah menjadi pekerjaan upahan.
Akhirnya hampir semua gereja Tionghoa ada di bawah kendali majelis atau pengurus sinode yang berprofesi pengusaha bukan rohaniwan. Mereka enggan mengeluarkan uang untuk membiayai hamba Tuhan belajar keluar negeri karena kalau nanti hamba Tuhan tersebut lebih pintar dari mereka, maka itu akan merepotkan mereka. Itulah sebabnya tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan sedikit sekali hamba Tuhan Tionghoa yang belajar ke luar negeri. Situasi tidak sehat demikian telah menyebabkan orang muda tidak bercita-cita menjadi hamba Tuhan, melainkan menjadi majelis saja. Sementara itu para majelis yang telah menghancurkan gereja Tuhan secara perlahan-lahan justru menyangka mereka telah melayani Tuhan dan menyenangkan hati Tuhan.
Falsafah Materialistik Mempengaruhi Gereja
Gereja yang dikendalikan oleh pengusaha tentu akan cenderung materialistik sebab kecenderungan kerja otak mereka memang mencari duit, karena telah terkondisi demikian sejak kecil. Kondisi jemaat yang dipacu ke arah materi tentu sangat subur untuk persemaian theologi sukses. Memandang dan menilai segala sesuatu dari segi materi, dan menghormati bahkan menyanjung orang yang sukses secara materi.
Efek dari falsafah materialistik bisa dilihat jelas dari pembangunan gereja yang mewah sebagai lambang kesuksesan. Anggota jemaat tidak diarahkan untuk mengerti theologi apalagi mencari yang paling alkitabiah. Biasanya anggota jemaat gereja yang telah terhanyut hal-hal materialistik tidak membanggakan pengajaran mereka yang alkitabiah melainkan membanggakan kemewahan gedung dan fasilitasnya yang lengkap dan mewah.
Herankah kita jika Tuhan Yesus sangat pesimis dengan jumlah orang Kristen lahir baru akhir zaman? Jumlah yang menyebut diri Kristen bisa saja masih cukup banyak, dan secara materi juga terlihat hebat. Namun Tuhan pernah berkata, Luk. 18:8 "... Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?"
Kesimpulan Kita
Dari ungkapan pesimistis Tuhan Yesus, dan berbagai pernyataan serta teguran lain dari Tuhan, kita dapat simpulkan bahwa yang Tuhan inginkan bukanlah jumlah orang yang banyak dan gereja yang besar (kuantitas) melainkan yang benar (kualitas). Jangan kehilangan dorongan untuk mencari dan memihak yang paling benar, sekalipun mungkin harus membayar harga yang mahal.
Jangan membanggakan hal-hal yang bersifat jasmani, materi, dan duniawi. Dorong orang
orang muda untuk menggali dan mengejar kebenaran, dan nasehati mereka untuk memilih sekolah theologi dari orientasi doktrinnya, bukan dari fasilitasnya.
Salahkah penulis jika penulis mengajak pemimpin gereja-gereja Tionghoa untuk duduk tenang merenungkan doktrin yang diajarkan orang gereja masing-masing selama ini? Apakah khotbah yang disampaikan benar sesuai dengan pengajaran Alkitab (alkitabiah)? Bolehkah doktrin yang sedang dipegang selama ini diuji? Kalau emas murni ia pasti tahan api. GRAPHE membangun tradisi auto introspection dengan mempersilakan orang yang menemukan kesalahan pada pengajaran GRAPHE untuk memberitahu GRAPHE. Dijamin tidak akan dimarahi, apalagi dibenci.
Tulisan ini dibuat sama sekali tidak didasarkan pada sikap dan perasaan negatif. Karena penulis kenal baik gereja-gereja Tionghoa, maka mengajak pemimpin gereja Tionghoa untuk mengintrospeksi doktrin yang diajarkan masing-masing gereja. Sementara itu pemimpin bahkan orang Kristen siapa saja yang membaca kiranya juga melakukan tindakan introspeksi agar ketika Tuhan datang kembali Ia masih mendapati iman (yang benar) di bumi. ***