MENGERTI KEHENDAK DAN PIMPINAN ALLAH

MENGERTI KEHENDAK DAN PIMPINAN ALLAH
(Pergumulan Hidup Orang Percaya Mengerti Makna dan Tujuan Hidup Manusia)

oleh: Denny Teguh Sutandio

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
(Roma 11:36)

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”
(Efesus 2:10)

 



I.    Pendahuluan dan Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” (manusia sebagai pribadi) sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (manusia sebagai pribadi yang diciptakan).1 Selain itu, manusia diciptakan Allah bukan tanpa tujuan, melainkan dengan tujuan dan tujuan itu adalah hanya untuk memuliakan Dia saja. Karena alasan inilah, sudah seharusnya sebagai manusia, kita harus kembali kepada makna dan tujuan hidup kita kepada Sang Pemberi Hidup itu, yaitu Allah. Ketika kita kembali kepada Allah, kita mengerti makna dan tujuan hidup kita sesuai dengan maksud penciptaan Allah itu.

II.    Dosa: Hambatan Utama dalam Mengerti Makna dan Tujuan Hidup Manusia
Tetapi, benarkah semua manusia ingin kembali kepada Allah untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya? Tidak. Manusia lebih memilih untuk menetapkan diri sendiri atau orang lain (orangtua, teman, dll) sebagai pusat dan sumber (“tuhan”) yang menuntun hidupnya. Itulah yang disebut dosa. Dosa bukan hanya sekadar membunuh, mencuri, berzinah, dll. Itu hanya akibat dosa. Dosa berarti pemberontakan terhadap Allah. Ketika manusia mulai memberontak kepada Allah dan mencari “sumber” lain di luar Allah, pada saat itulah, manusia mulai berdosa, meskipun orang ini tidak pernah membunuh, mencuri, dll. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of The Faith mendefinisikan dosa sebagai berikut,
“When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect ... God had interpreted the universe for him, or we may say man had interpreted the universe under the direction of God, but now he sought to interpret the universe without reference to God... The result for man was that he made for himself a false ideal of knowledge.” (=Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal... Allah telah menginterpretasikan alam semesta bagi manusia atau kita dapat mengatakan manusia telah menginterpretasikan alam semesta di bawah perintah Allah, tetapi sekarang manusia berusaha untuk menginterpretasikan alam semesta tanpa petunjuk Allah... Hasil bagi manusia adalah bahwa dia menghasilkan bagi dirinya sebuah ideal pengetahuan yang salah.)2

Dari definisi Dr. Van Til ini, kita mendapatkan pengertian bahwa dosa berarti manusia berusaha mengambil alih posisi Allah sebagai pusat dan sumber untuk menginterpretasikan alam, manusia, dan segala sesuatu. Akibatnya, bukan pengetahuan yang benar, manusia semakin mendapatkan pengetahuan yang salah (tetapi “seolah-olah” benar). Gambaran pengertian inilah pertama kali dimulai oleh iblis, sebagai bapa/sumber dosa. Iblis berarti penantang Allah. Artinya, ia menyamar sebagai malaikat terang untuk menipu manusia. Bagaimana cara iblis menipu? Iblis menipu manusia dengan menggoda manusia meninggalkan Allah dan menetapkan standar diri atau orang lain sebagai pusat yang menggantikan Allah. Itulah cara kerja iblis yang dialami Adam dan Hawa. Mari kita cermati cara kerja iblis dan dosa di dalam kasus Adam dan Hawa ini.

Pertama, iblis pertama-tama mencobai Hawa bukan dengan perkataan yang jelas-jelas salah, tetapi dengan perkataan yang “seolah-olah” benar. Baca Kejadian 3:1, “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (bdk. perkataan Allah sendiri di dalam Kej. 2:16-17, “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.””) Perhatikan apa yang telah saya katakan tadi. Iblis menipu manusia dengan pertama-tama memakai “standar” (atau perkataan) Allah bukan untuk menyadarkan manusia, tetapi untuk memelintirnya. Iblis memelintir perkataan Allah ini dengan pertama-tama meragukan perkataan-Nya. Bukan hanya meragukan perkataan-Nya, iblis juga datang mencobai Hawa ini dengan membalikkan sebagian perkataan-Nya. Kemudian, si Hawa dengan bangganya mengulang perkataan-Nya dan menambahinya. Hawa mengatakan bahwa Allah melarangnya makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat bahkan Ia melarang untuk merabanya (Kej. 3:2-3). Padahal, Allah tidak pernah melarang Hawa untuk meraba buah itu (bdk. Kej. 2:17). Di sini, iblis sudah berhasil memancing psikologi Hawa dengan meragukan dan membalikkan firman Allah, lalu Hawa (dengan agak jengkel dan sedikit tidak puas) menjawab pernyataan iblis itu dengan mencoba menambahi perkataan yang tidak difirmankan-Nya. Apa yang Hawa lakukan juga mungkin bisa terjadi pada kita. Ketika iblis mencobai kita, kita kadang kala menjawab cobaan itu dengan mengutip Firman Allah yang diekstrimkan (ditambahkan), sehingga mungkin seolah-olah kita “Alkitabiah”, padahal sebenarnya kita sedang menambahi sesuatu yang tidak difirmankan Allah. Melalui cobaan iblis yang pertama ini, kita disadarkan untuk berhati-hati terhadap godaan iblis.

Kedua, iblis kemudian mencobai Hawa langsung dengan mengatakan apa yang benar-benar bertolak belakang dengan perkataan-Nya. Jika di poin pertama tadi, kita telah melihat cara kerja iblis yang halus yaitu menyamarkan sebagian firman Allah, maka di poin kedua ini, kita melihat lebih tajam lagi bahwa iblis benar-benar menyamarkan dan membelokkan semua firman Allah. Allah telah berfirman kepada manusia agar tidak makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, karena jika mereka memakannya, mereka mati, tetapi iblis memutarbalikkan perkataan-Nya dengan mengatakan bahwa jika mereka makan, mereka tidak mati, melainkan akan menjadi seperti Allah, tahu yang baik dan jahat (Kej. 3:4-5). Di saat inilah, motivasi dan semua cara iblis benar-benar terbongkar, tetapi Hawa bukannya sadar malahan tergoda oleh kedok iblis itu. Akhirnya, Hawa melihat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu baik untuk dimakan, sedap kelihatannya, dan menarik hati karena memberikan pengertian, kemudian setelah itu, ia memakannya (Kej. 3:6). Lalu, Hawa memberikan buah itu kepada suaminya, Adam, dan Adam memakannya. Akibatnya, setelah makan buah pohon itu, mereka berdua telanjang (Kej. 3:7).

Ketiga, dosa mengakibatkan mereka tidak mau mengaku apa yang telah mereka perbuat (baca: Kej. 3:9-19). Setelah mereka memakannya, Allah datang ke Taman Eden mencari mereka (Kej. 3:9). Pdt. Dr. Stephen Tong menafsirkan pernyataan “Di manakah engkau?” di dalam Kej. 3:9 ini sebagai pencarian Allah akan posisi Adam dan Hawa secara rohani, bukan secara jasmani. Ketika Allah mencari mereka, mereka bersembunyi. Lalu, akhirnya, mereka berani keluar dan mengaku bahwa mereka bersembunyi. Ketika Allah bertanya mengapa mereka bersembunyi, mereka menjawab bahwa mereka telanjang. Lalu, Allah bertanya, siapa yang memberi tahu bahwa mereka telanjang dan apakah mereka makan buah pohon itu. Pada saat itulah, terjadilah saling tuding-menuding. Ketika Allah bertanya kepada Adam, Adam menyalahkan Hawa. Ketika Allah bertanya kepada Hawa, Hawa menyalahkan ular. Lalu, mengapa Allah tidak bertanya juga kepada ular? Karena Allah tahu ular itu dipakai setan yang pekerjaan sehari-harinya adalah mencobai manusia. Sehingga, Ia tidak menyalahkan ular itu, tetapi menyalahkan manusia yang mau diperdaya iblis.

Di sini, kita mendapatkan satu rangkaian jelas mengenai cara kerja iblis dan dosa:
Iblis mencobai Hawa (bukan Adam) dengan meragukan dan membalikkan SEBAGIAN perkataan Allah -> Hawa menjawab pertanyaan iblis itu dengan mengulang perkataan-Nya dan menambahinya -> iblis melancarkan serangannya yang kedua yaitu benar-benar memutarbalikkan SELURUH perkataan perkataan-Nya -> Hawa mulai tergoda, mencoba melihat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu, akhirnya ia jatuh ke dalam pencobaan itu -> Hawa tidak mau menikmati dosanya sendiri, ia memberikannya kepada Adam untuk bersama-sama menikmatinya -> Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa -> mereka telanjang -> mereka tidak mau mengaku (bahkan saling menuding) ketika Allah menanyai mereka -> Allah menghukum mereka -> mereka diusir Allah dari Taman Eden.

Dari skema rangkaian di atas, kita mendapatkan satu pelajaran berharga, yaitu iblis mengakibatkan manusia meninggalkan Allah secara perlahan-lahan dengan mencoba meragukan (dan memutarbalikkan) SEBAGIAN firman-Nya, lalu akhirnya benar-benar memutarbalikkan SEMUA firman-Nya, sehingga manusia benar-benar terlepas dari Allah. Akibat tragisnya, manusia hidup sia-sia dan tak mengerti arah hidup yang jelas, karena mereka mencoba mencari makna dan tujuan hidup di luar Allah.

III.    Aplikasi Dosa sebagai Hambatan-hambatan dalam Mengerti Makna dan Tujuan Hidup Manusia
Setelah kita mengerti bahwa dosa adalah hambatan utama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia, saat ini, kita akan mencoba mengaplikasikan konsep dosa tersebut di dalam kehidupan kita sehari-hari, di mana aplikasi dosa tersebut merupakan hambatan-hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia. Apa yang mengakibatkan kita tidak lagi melihat Allah sebagai Sumber dan Pusat hidup kita? Saya mengkaji ada empat penyebab, dua penyebab pertama diambil dari 2Tim. 3:2.
A.    Diri
Di dalam 2Tim. 3:2, Paulus menyebutkan bahwa di hari-hari terakhir, manusia mencintai dirinya sendiri (mayoritas terjemahan Inggris menerjemahkannya, “menjadi pecinta diri”). Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya dengan menambahkan kata self-centered (berpusat kepada diri). Di sini, kita mendapatkan pengertian bahwa hambatan pertama dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia adalah diri dan keterpusatan pada diri. Mengapa orang meletakkan diri sebagai pusat? Karena mereka menganggap bahwa diri bisa dibanggakan, cukup layak, dll. Benarkah mereka sungguh layak dan pintar? Realita menyatakan hal yang sebaliknya. Semakin manusia menganggap diri hebat, pintar, layak, dll, semakin manusia hidup tidak karuan. Abad rasionalisme di mana manusia memutlakkan rasio manusia akhirnya mengakibatkan meletuslah Perang Dunia 1 dan 2. Di zaman postmodern, ketika manusia menganggap kehebatan diri itulah yang terpenting, anehnya manusia tidak bisa mengatasi masalah global, seperti krisis global, dll. Di sini, letak ironisnya manusia yang terus merasa diri hebat. Padahal, Alkitab mengajar bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, dan polluted). Ketika manusia disebut sebagai makhluk yang: dicipta, terbatas, dan terpolusi dosa, maka manusia sebenarnya tidak layak menjadi patokan kebenaran yang menentukan hidupnya sendiri. Ada 3 arti di balik konsep ini, yaitu: Pertama, manusia itu dicipta, maka ia hanya bisa mengenal sesama ciptaan (atau lebih rendah dari itu, misalnya benda-benda mati). Tentunya, manusia tak mungkin bisa mengenal Sang Pencipta. Kedua, manusia itu terbatas, maka manusia hanya bisa mengerti dan mengenal sesuatu yang terbatas sifatnya (bahkan tidak bisa mengetahui yang terbatas itu pun dengan sempurna), dan tentu saja tak mungkin mengenal yang tidak terbatas (misalnya, Allah). Ketiga, manusia itu berdosa, maka ketika manusia mengenal sesuatu, ia tak mungkin bisa mengenal sesuatu itu secara komprehensif dan dengan pengertian yang tepat. Misalnya, ketika manusia mau mengenal Allah, dosa mengakibatkan manusia hanya mengerti dan mengenal Allah tidak secara tuntas, tetapi sebagian dan bahkan sebagian itu pun telah dicemari dosa. Sehingga, secara fenomena, manusia bisa kelihatan beribadah kepada “Allah,” tetapi hati mereka tidak tertuju dan berpusat pada Allah. Rev. Dr. John R. W. Stott (seperti dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong) pernah mengatakan bahwa di dalam agama, manusia tidak pernah mencari Allah, tetapi malahan melarikan diri dari Allah.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Secara theologi, kita mungkin sudah belajar agar diri jangan dijadikan sebagai patokan kebenaran, tetapi benarkah dalam hati, kita sungguh-sungguh mengamini dan menjalankan prinsip yang telah kita pelajari itu? Benarkah ketika kita mencari pasangan hidup, pekerjaan, studi, dll, kita lebih mementingkan kehendak Tuhan ketimbang kehendak diri? Benarkah kita berani dan rela mematikan keinginan daging kita untuk disesuaikan dengan kehendak dan rencana Tuhan dalam hidup kita? Biarlah theologi yang telah kita pelajari dapat kita jalankan untuk memuliakan Tuhan. Jangan biarkan theologi menjadi bahan pelajaran yang kita pelajari tanpa kita aplikasikan!

B.    Uang
Penyebab kedua yang diambil dari 2Tim. 3:2 ini yaitu uang. Selain diri, Paulus mengatakan bahwa uang menjadi kegemaran orang di hari-hari terakhir. “Menjadi hamba uang” dalam ayat ini di dalam terjemahan Inggris diterjemahkan mencintai uang. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bersifat mata duitan.” Dengan kata lain, uang menjadi sumber dan pusat bagi hidup manusia berdosa. Uang yang akhirnya menjadi tuan dalam hidup manusia berdosa, sehingga secara sadar atau tidak sadar, ke mana-mana iblis memakai sarana ini untuk menipu kita, seolah-olah tanpa uang, kita tidak bisa hidup. Akhirnya, ketika orang yang sudah ditipu ini diinjili atau dibawa ke gereja, lama-lama ia akan berpikir, apakah ke gereja bisa menghasilkan uang lebih banyak? Jika ya, ia akan terus ke gereja. Jika tidak, ia akan keluar dari gereja. Tidak heran, demi memenuhi selera berdosa dari manusia yang tamak akan uang ini, tidak sedikit gereja (market-oriented) yang berani mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti sukses, kaya, berkelimpahan, dll. Gereja yang seharusnya menjadi suara hati nurani masyarakat dan pewarta Kebenaran Allah akhirnya berkompromi dengan filsafat manusia berdosa. Lalu, apa yang Alkitab ajarkan? Apakah Alkitab mengajar bahwa uang itu tidak perlu, sehingga kalau mau menjadi Kristen, harus miskin? TIDAK! Alkitab tidak pernah melarang kita untuk kaya dan sebaliknya, mengharuskan kita miskin baru bisa mengikut Tuhan. Yang Alkitab ajarkan adalah orang percaya jangan menjadi gila harta/uang, mengapa? Karena, “akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Tim. 6:10)
Alkitab mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta uang, tetapi dunia mengajar bahwa akar dari segala kejahatan adalah kurang uang. Apa bedanya? Perbedaan ini bukan hanya perbedaan superficial, tetapi perbedaan esensial. Alkitab mengajar kita untuk tidak berfokus kepada (atau mengilahkan) uang, karena itu adalah akar kejahatan. Apa dasar presuposisinya? Pertama, karena uang itu bersifat fana, yang sebentar lagi akan hilang. Mungkin kita hari ini kaya, tetapi mungkin saja tahun depan kita melarat dan menjadi miskin. Uang tidak bisa menjamin hidup kita, sehingga kita tidak boleh menjadikan uang sebagai ilah dalam hidup kita. Kedua, fakta membuktikan bahwa hanya karena cinta uang, hubungan keluarga bisa porak poranda. Kita sering mendengar bahwa hanya karena tamak uang, istri rela membunuh suaminya, adik rela membunuh kakaknya, bahkan anak rela membunuh orangtuanya. Bahkan di kalangan Kristen sendiri (di keluarga “hamba Tuhan”), anak dan menantu bisa saling baku tembak memperebutkan uang dari sang ayah. Sehingga, tidaklah salah ketika Alkitab mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sedangkan ketika dunia mengajar bahwa akar segala kejahatan adalah kurang uang, sebenarnya secara prinsip, mereka mengilahkan uang (meskipun ada yang tidak berani mengungkapkannya secara terus terang), seolah-olah tanpa uang lah, manusia justru berbuat jahat (sedangkan kalau memiliki banyak uang, manusia tidak akan berbuat jahat). Mungkin ada yang bertanya, bukankah memang ada orang yang kurang uang (atau miskin) lalu melakukan kejahatan, misalnya merampok? Apakah fakta ini membuktikan bahwa konsep ini benar? TIDAK! Orang yang kurang uang bisa berbuat jahat itu bukan karena dia kurang uang, tetapi karena iri dan malas. Iri hati dan kemalasan mengakibatkan manusia terus ingin mencari sesuatu yang bisa memuaskan dirinya sendiri, tetapi herannya mereka tak mau berusaha bekerja keras, malahan mereka mencari keuntungan dari orang lain, misalnya, merampok, dll. Jadi, pokok persoalannya bukan pada kekurangan uang, tetapi pada karakternya. Fakta membuktikan bahwa orang yang kurang uang pun ada yang tidak berbuat jahat, malahan sebaliknya, justru orang yang ingin memiliki banyak uang, mereka akan mempergunakan segala macam cara untuk memperoleh lebih banyak uang lagi.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Benarkah hidup kita diarahkan hanya kepada Kristus? Mungkin secara theologi, kita sudah banyak mendengar bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang dan kita harus memilih: Allah atau Mamon. Tetapi apakah theologi dan firman Tuhan yang kita dengarkan benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Benarkah kita sungguh-sungguh rela tidak menjadikan uang sebagai pusat hidup kita? Beranikah kita yang memiliki toko sendiri berkomitmen untuk tidak membuka toko atau bekerja pada hari Minggu, meskipun itu tidak menguntungkan bagi kita? Semua ini membuktikan dan menguji kesiapan dan komitmen kita di hadapan Tuhan tentang bagaimana kita tidak mengilahkan uang sebagai pusat hidup kita. Yang sering terjadi adalah kita secara teori mengamini setiap khotbah dan firman Tuhan yang diberitakan, tetapi secara praktik, kita hampir tidak menjalankannya dengan segudang argumentasi yang kita ajukan kepada Allah. Sudah siapkah kita berkomitmen untuk mengutamakan Tuhan lebih dari segalanya ataukah kita mau mendua hati: Allah dan Mamon?

C.    Teman/sahabat/saudara/pasangan hidup
Poin ketiga ini dan keempat nantinya adalah hambatan eksternal yang bersifat pengaruh yang hidup. Hambatan ketiga dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia yaitu adanya pengaruh dari teman/sahabat/saudara/pasangan hidup. Kita mungkin bertanya, bagaimana mungkin orang yang dekat dengan kita bisa mengakibatkan kita tidak menemukan makna dan tujuan hidup kita? Bukankah kita sering mendengar bahwa ketika pacaran, masing-masing pasangan menemukan makna hidupnya? Hal ini tidak salah. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengutamakan mereka lebih daripada mengutamakan Allah. Ketika kita mengutamakan dan menganggap orang-orang yang dekat dengan kita sebagai pusat dan sumber yang menentukan hidup kita, itulah yang menjadi hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup kita. Pacar, saudara, rekan, saudara, dan bahkan istri hanya bisa menolong kita menemukan makna dan tujuan hidup kita secara fana/sementara. Mengapa? Karena mereka juga sama-sama manusia (berdosa) seperti kita di mana mereka tentu tidak bisa menjadi patokan yang mengarahkan hidup kita. Tetapi herannya, manusia tak pernah menyadari hal ini. Karena orang-orang dekat ini, kita menjumpai fakta bahwa orang yang ingin menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan penuh waktu tiba-tiba mengurungkan niatnya dan bahkan melarikan diri dari panggilan Tuhan. Tidak sedikit, istri mempengaruhi suaminya untuk meninggalkan Allah, sehingga sang suami kehilangan makna dan tujuan hidupnya yang hanya bisa diisi oleh dan di dalam Allah. Di dalam Alkitab, Ayub adalah contoh praktis pertama yang bisa kita pelajari. Ketika dilanda masalah yang berat, istri Ayub menyuruh Ayub mengutuki Allah. Teman-temannya pun menuduh Ayub bahwa Ayub tidak setia atau berdosa kepada Allah. Abraham, contoh kedua, memiliki istri yang meragukan (menertawakan) janji Allah yang memberikan anak di dalam keluarga mereka. Ketiga, saudara-saudara Yusuf menjual Yusuf karena mereka iri. Tetapi puji Tuhan, ketiga tokoh Alkitab ini lebih beriman kepada Allah ketimbang kepada orang-orang yang dekat dengan mereka, sehingga mereka tampil menjadi pahlawan-pahlawan iman yang berhasil.
Bagaimana dengan kita? Secara teori, lagi-lagi kita banyak belajar bahwa pacar, saudara, teman, rekan, dan bahkan istri bukan sumber hidup kita, tetapi benarkah kita menjalankan prinsip yang kita pelajari? Benarkah kita berani dan rela TIDAK menaati apa yang diusulkan oleh orang-orang yang dekat dengan kita jika itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan? Biarlah ini menjadi introspeksi diri kita masing-masing.

D.     Orangtua
Poin terakhir yang menjadi hambatan kita menemukan makna dan tujuan hidup kita adalah orangtua. Hah? Bagaimana mungkin? Bukankah kita sering mendengar bahwa orangtua mengerti dan mengenal anak-anaknya serta memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya? Bukankah kita juga sering mendengar bahwa orangtua tidak mungkin mencelakakan anak-anaknya? YA. Secara teori duniawi, kita sering mendengar hal itu. Di satu sisi, hal tersebut benar, karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua untuk mendidik dan mengajar anak-anak mereka, sehingga mereka menjadi orang berguna. Tetapi di sisi lain, ketika mendidik dan mengajar anak-anak mereka, apa yang mereka ajarkan? Bukankah yang sering kita dapati adalah mereka mengajar anak-anak mereka agar anak-anak mereka memenuhi apa yang mereka inginkan (dan bukan apa yang Tuhan inginkan)? Bukankah kita sering mendengar bahwa orangtua memaksa anaknya (meskipun dalihnya: “menyarankan”) untuk meneruskan apa yang diinginkan (atau sudah dirintis) oleh orangtuanya yang bekerja profesi tertentu. Misalnya, jika orangtuanya (ayah atau ibunya) seorang dokter, maka orangtua ini menyuruh anaknya untuk sekolah kedokteran dengan tujuan agar anaknya ini kelak meneruskan profesi orangtuanya sebagai dokter. Saya memiliki contoh praktis dalam hal ini, yaitu dari sepupu saya. Kakak sepupu saya dipaksa oleh ayahnya–meskipun bukan dokter (tetapi ayahnya berdalih bahwa ia tak pernah memaksa tetapi “hanya” menyarankan) untuk masuk kedokteran dengan argumentasi bahwa dengan menjadi dokter itu berarti anaknya tidak usah “ikut orang” (diperintah orang), sedangkan kalau profesi lain, anaknya harus “ikut orang.” Akibat pemaksaan ini, sepupu saya ini tidak memiliki hasrat ingin belajar, karena ia masuk kedokteran untuk memenuhi keinginan orangtuanya saja. Hal yang serupa terjadi pada adik sepupu saya ini yang lebih suka bahasa Inggris, namun karena sudah ditetapkan oleh orangtuanya, ia dipaksa masuk fakultas hukum untuk menjadi notaris, lagi-lagi dengan alasan: “supaya tidak ikut orang.” Tidak cukup memaksa 2 anaknya, paman saya ini juga memaksakan anaknya yang ketiga untuk masuk sekolah kedokteran, padahal anaknya sejujurnya ingin menjadi businessman. Ketiga anaknya ini sudah salah arah, tetapi hanya karena keinginan orangtua yang “dibaptis” dalam nama “menyarankan” (sebenarnya: MEMAKSA), akhirnya, mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan (dan terlebih, apa yang Tuhan mau!). Bahkan untuk mendukung keinginan orangtua tertentu, ada yang sampai mengatasnamakan “Tuhan” agar anaknya patuh. Bukannya mengarahkan anaknya untuk menggumulkan panggilan hidupnya di hadapan Tuhan untuk mencari dan mengutamakan kehendak Tuhan, bahkan ada orangtua yang sampai mengatakan bahwa kehendak Tuhan bagi anak yaitu hanya melalui orangtua, bukan melalui pendeta, sahabat, dll. Di sini, orangtua ini (meskipun mengaku diri “Kristen”) sudah memutlakkan diri sebagai “tuhan” yang harus ditaati. Dengan kata lain, orangtua yang sudah memutlakkan hal ini sudah mengambil alih posisi Allah sebagai sumber dan itu adalah DOSA! Berhati-hatilah, para orangtua!
Bagaimana dengan Anda khususnya para orangtua Kristen? Apa yang Anda ajarkan kepada anak-anak Anda? Benarkah theologi yang sudah kita pelajari bahwa kehendak Tuhan yang terutama benar-benar kita terapkan dalam cara mengajar dan mendidik anak kita? Sudahkah Anda mengajar kepada anak-anaknya untuk mendahulukan dan mengutamakan kehendak dan keinginan Allah dalam hidupnya dan bukan kehendak (sebenarnya: keinginan) Anda sebagai orangtua? Orangtua boleh mengarahkan anaknya untuk memilih jurusan kuliah dan/ pekerjaan, tetapi sekali lagi: orangtua TIDAK berhak memaksa anak-anaknya, karena yang menciptakan anak-anak Anda adalah Allah dan Allah meminta kita bertanggung jawab mengajar dan mendidik mereka untuk dipakai memuliakan dan menggenapkan kehendak-Nya dalam hidup mereka (bukan memuliakan diri orangtua).

IV.    Mengerti Kehendak dan Pimpinan Allah: Solusi terhadap Hambatan-hambatan Mengerti Maksud dan Tujuan Hidup Manusia
Setelah kita mengerti empat hambatan dalam mengerti makna dan tujuan hidup manusia, maka kita akan berpikir, bagaimana kita bisa mengerti makna dan tujuan hidup manusia yang sebenarnya? Di poin pertama artikel ini, kita telah membahas bahwa manusia diciptakan oleh Allah, sehingga secara otomatis, makna dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya hanya bisa ditemukan di dalam Allah. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, sudah sepatutnya kita kembali kepada Allah untuk mengerti kehendak dan pimpinan Allah di dalam seluruh aspek kehidupan kita, agar kita dapat memuliakan Tuhan.

A.    Apakah Kehendak dan Pimpinan Allah itu?
Di sini, ada dua arti yang harus kita mengerti, yaitu:
1.     Kehendak Allah
Kehendak Allah berbicara mengenai apa yang merupakan rencana Allah di dalam kekekalan. Roma 11:36 memberikan gambaran yang jelas tentang apa itu kehendak Allah, yaitu kehendak Allah itu adalah apa yang berasal dari Allah, dikerjakan oleh Allah, dan hasil akhirnya untuk kemuliaan Allah. Allah telah menetapkan segala sesuatu sebelum dunia dijadikan, lalu Ia yang telah menetapkan itu, Ia pula lah yang akan mengerjakan rencana-Nya melalui karya Roh Kudus, dan pada akhirnya,  semuanya harus memuliakan Dia sebagai Sumber dan Pusat segala sesuatu. Sebagai contoh, di dalam pekerjaan baik. Ketika kita membaca Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”, kita mendapatkan gambaran serupa tentang kehendak Allah. Yaitu, Allah telah menetapkan (KJV: ordain) kita (yang diciptakan Allah) untuk melakukan pekerjaan baik, lalu penetapan Allah ini dilakukan di dalam Kristus – di mana umat pilihan-Nya ditebus oleh Kristus dan dijadikan ciptaan baru di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan – , baru setelah itu, kita dituntut untuk hidup di dalam pekerjaan baik itu demi kemuliaan Allah. Dari sini, kita mendapatkan 4 kehendak Allah yang terintegrasi, yaitu kehendak Allah di dalam Penciptaan (dari dan oleh Allah), Penebusan (dari dan oleh Allah), Kelahiran Kembali (oleh Allah), dan Kesempurnaan kelak (untuk Allah).

2.     Pimpinan Allah
Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah kita sebagai manusia yang terbatas dan fana ini bisa mengerti rencana Allah yang kekal itu? Di sini, kita membutuhkan apa yang disebut pimpinan Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong mendefinisikan pimpinan Allah sebagai kehendak Allah yang berada di dalam proses sejarah/waktu. Dengan kata lain, pimpinan Allah adalah penyataan (intervensi) kehendak Allah yang kekal itu kepada umat-Nya yang tidak kekal. Dari Alkitab, kita mendapatkan pelajaran berharga tentang apa yang disebut pimpinan Allah. Di Perjanjian Lama, umat-Nya, Israel mendapatkan pimpinan Allah ketika mereka keluar dari Mesir menuju ke Tanah Kanaan. Begitu juga yang terjadi dengan pimpinan Allah yang dialami oleh para rasul di Perjanjian Baru.
Kemudian, kita akan mencoba membagi wujud pimpinan Allah itu. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam kaset Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK): “Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus” membagi dua wujud pimpinan Allah, yaitu pimpinan positif dan pimpinan negatif. Dua wujud pimpinan Allah ini pasti bermotivasi dan bertujuan baik, tetapi yang berbeda di antara keduanya adalah cara pandang manusia. Manusia sering kali memandang pimpinan Allah yang positif itu dari Allah, sedangkan yang kelihatannya negatif itu dari setan. Padahal tidak demikian. Di Perjanjian Lama, Allah memimpin umat-Nya, Israel keluar dari Mesir ke Tanah Kanaan dengan pimpinan positif dan negatif. Pimpinan positif diberikan-Nya ketika Ia memberikan manna kepada orang Israel ketika mereka kelaparan dan memberikan air kepada mereka yang kehausan. Tetapi Allah yang sama memimpin mereka untuk berputar-putar dahulu selama 40 tahun (Yos. 5:6; bdk. Ul. 2:7) untuk sampai ke Tanah Kanaan untuk menguji iman dan kesetiaan umat-Nya (kelihatannya negatif). Pimpinan Allah yang negatif mungkin kelihatan negatif di mata manusia, tetapi percayalah, pimpinan itu pasti berdampak positif bagi umat-Nya. Di Perjanjian Baru, Allah yang sama juga memimpin para rasul dengan pimpinan positif dan negatif. Pimpinan Allah yang positif dapat dilihat ketika Roh Kudus bekerja luar biasa dahsyat di dalam diri Petrus ketika ia memberitakan Injil, sehingga dr. Lukas mencatat pada saat itu yang bertobat pada hari Pentakosta adalah kira-kira 3000 orang (Kis. 2:41). Pimpinan Allah yang seolah-olah negatif dapat dilihat ketika Roh Kudus mencegah Paulus memberitakan Injil di Asia (Kis. 16:6). Mengapa Roh Kudus melarang Paulus memberitakan Injil di Asia? Bukankah maksud Paulus itu baik yaitu memberitakan Injil? Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa maksud Roh Kudus melarang Paulus memberitakan Injil di Asia adalah Paulus lebih cocok diutus ke Eropa, karena orang-orang di Eropa membutuhkan orang-orang seperti Paulus untuk meruntuhkan semua filsafat mereka dan menundukkannya di bawah Kristus, sedangkan untuk daerah Asia, Petrus lah yang diutus. Di sini, kita mendapatkan pengertian yang lebih dalam lagi yaitu ketika Roh Kudus melarang kita memberitakan Injil, bukan berarti Ia melarang motivasi kita yang baik itu, tetapi mungkin sekali Ia mempersiapkan orang lain untuk melakukan apa yang kita kerjakan, dan kita sendiri dipersiapkan untuk melakukan tugas yang lain yang lebih sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan kepada kita.
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Masihkah kita menganggap pimpinan Allah yang seolah-olah negatif itu dari setan? Ataukah hari ini, kita mau kembali kepada Tuhan dan melihat pimpinan-Nya baik yang positif dan kelihatan negatif itu sama-sama pimpinan Allah yang baik bagi kita? Ingatlah, Allah sebagai Sumber dan Pusat hidup kita menginginkan kita mensinkronkan kehendak kita dengan kehendak-Nya melalui pimpinan-Nya. Sudah siapkah kita melakukannya?

B.     Bagaimana Mengerti Kehendak dan Pimpinan Allah dalam Hidup Orang Percaya?
Lalu, bagaimana kita mengerti kehendak dan pimpinan Allah itu? Ada beberapa prinsip yang perlu kita mengerti dalam memahami kehendak dan pimpinan Allah di dalam segala aspek, yaitu:
1.    Menyadari status kita sebagai orang percaya (anak-anak Allah)
Poin pertama yang harus kita pikirkan ketika kita mau mengerti kehendak dan pimpinan Allah adalah kita pertama-tama harus menyadari status kita sebagai orang percaya. Mengapa ini penting? Karena jika kita tidak pernah menyadari status kita sebagai orang percaya, kita tak akan pernah ada kehendak dan kerinduan untuk mensinkronkan apa yang kita inginkan dengan apa yang Allah inginkan. Orang percaya sejati bukan hanya orang yang aktif di dalam setiap kegiatan gereja, tetapi orang yang benar-benar 100% mendedikasikan hidupnya untuk memuliakan Tuhan. Mereka adalah orang yang mau menTuhankan Kristus di dalam hidupnya, bukan hanya sekadar di mulut saja. Ketika kita sudah menyadari bahwa kita sungguh-sungguh orang percaya yang memiliki kerinduan untuk mensinkronkan kehendak kita dengan kehendak Allah, maka kita baru boleh memikirkan bagaimana mengerti kehendak dan pimpinan Allah di dalam hidup kita. Tetapi jika kita tidak pernah menyadarinya, jangan pernah mulai memikirkan kehendak dan pimpinan Allah, karena itu adalah hal yang sia-sia. Lalu, bagaimana kita bisa menyadari bahwa kita benar-benar orang percaya? Roh Kudus lah yang bersaksi bersama roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm. 8:16). Di sini, ada janji Roh Kudus yang akan menyertai, menolong, menegur, menasihati, dan menghibur kita sebagai anak-anak-Nya. Ketika kita mulai menyeleweng dari kehendak Allah, Roh Kudus mengingatkan kita dengan menegur, menasihati, bahkan menghajar kita agar kita kembali kepada kehendak Allah. Ketika kita meresponi apa yang Roh Kudus lakukan di dalam hati kita ini, itu tandanya kita anak-anak Allah. Jika tidak, berhati-hatilah, mungkin sekali Anda bukanlah anak Tuhan, tetapi menyamar seolah-olah seperti anak Tuhan. Inilah bedanya, orang percaya (anak Tuhan) sejati dengan orang “percaya” (anak setan). Jadi, mulai sekarang, jangan berani mengatakan dan menyamakan semua orang Kristen dengan anak Tuhan, karena tidak semua orang Kristen adalah anak Tuhan.

2.    Bergumul setiap hari bersama Tuhan
Kita jangan pernah menginginkan pimpinan Tuhan secara instant. Tuhan tidak pernah memimpin/memberikan segala sesuatu secara instant/serba cepat. Tuhan ingin kita berproses di dalam mengerti pimpinan-Nya. Proses itulah yang kita harus bangun dan mulai dengan bergumul setiap hari bersama-Nya di dalam doa dan pembacaan Alkitab.
Di dalam doa, kita terus menggumulkan apa yang menjadi kehendak dan pimpinan-Nya baik dalam karier, pekerjaan, perkuliahan, maupun pasangan hidup. Nyatakanlah apa yang kita inginkan di hadapan Tuhan di dalam doa, tetapi ingat, biarkan Tuhan yang menilai apa yang kita inginkan itu sesuai kehendak-Nya atau tidak. Berarti di dalam doa, ada komunikasi antara kita dengan Allah. Jangan pernah memanipulasi kepentingan kita di dalam doa. Biarkanlah Allah juga berkata-kata kepada kita di dalam doa. Itulah yang dialami baik oleh para nabi dan rasul di Alkitab ketika mereka melayani Tuhan dan memutuskan segala sesuatu. Mereka tidak gegabah melayani Tuhan dan memutuskan segala sesuatu, tetapi mereka meminta petunjuk Tuhan di dalam doa. Bagaimana dengan hidup doa kita? Apakah kita berdoa setiap hari? Ataukah kita berdoa hanya ketika kita sedang bergumul? Tuhan tidak mau kita berdoa hanya pada saat kita menggumulkan sesuatu. Misalnya, ketika kita mau bekerja, kita baru berdoa menggumulkan pimpinan Tuhan tentang pekerjaan apa yang dikehendaki-Nya. Tuhan mau seluruh hidup umat-Nya adalah hidup yang bergumul di dalam doa.
Bukan hanya di dalam doa, kita pun harus menggumulkan pimpinan Tuhan juga melalui firman-Nya, Alkitab. Di dalam Alkitab, kita belajar banyak prinsip-prinsip Kebenaran yang Allah inginkan di dalam seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, di dalam pekerjaan, Alkitab mengajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (Rm. 11:36), lalu Alkitab juga mengajar bahwa kita harus bekerja seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Dari dua bagian Alkitab ini, kita akan mengerti bahwa pekerjaan yang Tuhan inginkan adalah yang berkenan kepada-Nya (memuliakan-Nya) dan Ia menginginkan kita bekerja semaksimal mungkin untuk memuliakan-Nya. Dari prinsip ini, jika kita misalnya ditawari dua pekerjaan, yang satu, sebagai sekretaris bank, dan yang lainnya, sebagai orang yang berkecimpung di dalam MLM (Multi Level Marketing), maka atas dasar prinsip Alkitab, kita harusnya lebih memilih profesi sebagai sekretaris bank meskipun gajinya lebih sedikit. Mengapa? Karena menjadi orang yang berkecimpung di MLM adalah orang yang berjudi dan praktek perjudian dilarang di Alkitab. Contoh kedua, misalnya pergumulan mencari pasangan hidup. Alkitab mengajar bahwa prinsip pertama mencari pasangan hidup adalah: lawan jenis (mengutip pernyataan Pdt. Effendi Susanto). Tuhan menciptakan pria dan wanita (tidak ada alternatif ketiga dan Tuhan mengutuk alternatif ketiga tersebut) dan Ia menghendaki pria dan wanita bersatu di dalam lembaga pernikahan (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Ef. 5:31). Kedua, Alkitab mengajar bahwa orang percaya harus mencari pasangan hidup yang seiman (2Kor. 6:14; secara konteks, “pasangan” di sini mengacu kepada sahabat, bisa juga diterjemahkan sahabat/pasangan hidup). Ketiga, Alkitab juga mengajar adanya kesepadanan (saling melengkapi) antara pria dan wanita yang diciptakan Allah secara berbeda (Kej. 2:18). “Sepadan” tidak berarti identik, tetapi sepadan berarti melengkapi. Dalam bahasa Ibrani, kata ini bisa diterjemahkan part opposite (=bagian yang berlawanan) Terjemahan kata ini sungguh unik, yaitu menggabungkan 2 istilah: bagian dan berlawanan. Meskipun berlawanan, keduanya tetap merupakan satu bagian (seperti dua gigi roda yang saling melengkapi). Di sinilah, artinya sepadan, yaitu satu bagian dengan dua karakter yang berbeda yang saling melengkapi. Tetapi kesepadanan ini berlaku bukan pada karakter primer yang berkaitan dengan kebenaran, tetapi pada karakter “sekunder” yang sama-sama bersumbangsih. Jangan salah mengerti arti kesepadanan ini, lalu menafsirkan kesepadanan berarti: kalau si cowok orangnya on-time, maka si cewek orangnya harus suka telat (ngaret); kalau si cowok jujur, maka si cewek harus tidak jujur; dll. Itu bukan contoh kesepadanan yang tepat. Kesepadanan yang tepat adalah jika si cowok orangnya cepat bekerja, maka harus diimbangi dengan si cewek yang agak lambat kerjanya, supaya masing-masing bisa saling membantu. Jika cowok dan cewek sama-sama cepat kerjanya, maka pekerjaan itu menjadi tidak teliti, karena tidak ada salah satu yang lambat memeriksa pekerjaan itu. Dan ketika mereka saling melengkapi dalam karakter, mereka melakukannya dengan semangat altruistik yang murni, bukan dengan tujuan menuntut/memaksa. Kegagalan pernikahan Kristen karena masing-masing pasangan saling menuntut.3 Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa pernikahan Kristen bukan mendapat sesuatu, tetapi memberi seseuatu (Christian marriage is not to get something from others, but to give something to others).
Dari tiga prinsip dasar ini, kita mendapatkan prinsip bahwa ketika kita ingin memilih pasangan hidup, yang perlu diperhatikan adalah satu, apakah pasangan kita lawan jenis atau sesama jenis; kedua, apakah pasangan kita seiman (dalam arti benar-benar percaya kepada Kristus, bukan hanya “Kristen”); dan ketiga, apakah masing-masing pasangan bersedia saling melengkapi (dan membangun) dalam karakter.

3.    Meminta pertimbangan dari orangtua, teman/rekan/saudara, dan khususnya dari hamba Tuhan.
Prinsip terakhir di dalam mengerti kehendak dan pimpinan Allah adalah meminta pertimbangan dari orang-orang dekat, misalnya orangtua, teman/rekan/saudara, dan terutama dari para hamba Tuhan/orang Kristen yang taat. Mengapa saya meletakkan prinsip ini sebagai prinsip terakhir? Karena prinsip ini harus bersumber dari dan diuji oleh prinsip nomer dua, yaitu doa dan Alkitab. Orang yang tiba-tiba ingin mengerti pimpinan Allah hanya dari orangtua saja, lalu tak pernah bergumul di dalam doa dan membaca Alkitab, orang tersebut picik dan tak mungkin bisa mengerti apa yang Tuhan inginkan, mengapa? Karena ia telah mengunci orang-orang tertentu sebagai bukti pimpinan Allah bagi hidupnya, padahal mungkin orang-orang tertentu itu belum tentu benar mengarahkan kita sesuai prinsip-prinsip Firman (atau yang lebih parah, orang-orang yang kita percayai bisa saja membawa kita lebih menyeleweng dari kehendak dan pimpinan Allah, meskipun kelihatan “baik”). Jadi, prinsipnya doa dan Firman (Alkitab) menjadi kriteria penguji dan penghakim semua sarana manusia yang kita pakai untuk mengerti pimpinan Allah.
Setelah kita bergumul bersama Tuhan setiap hari di dalam doa dan pembacaan firman, kita baru boleh berkonsultasi dan meminta pertimbangan dengan hamba Tuhan, orangtua, rekan/sahabat/saudara, dan orang-orang yang dekat dengan kita. Mungkin saja, Tuhan memakai orang-orang tersebut untuk menasihati kita di dalam mengerti pimpinan Allah di dalam hidup kita. Di Perjanjian Lama, Tuhan memakai Abraham untuk mencarikan pasangan/istri bagi Ishak, anaknya. Di Perjanjian Baru, Tuhan memakai Paulus untuk menegur Petrus, rekan pelayanannya agar Petrus tidak berlaku munafik (Gal. 2:11-14). Tetapi kedua hal ini tidak boleh menjadi standar, lalu ditafsirkan bahwa orangtua harus mencarikan anaknya pasangan hidup, karena Abraham diperintahkan Tuhan seperti itu. Kedua contoh tadi hanya beberapa contoh media orang yang Tuhan pakai bagi anak-anak-Nya.
Lalu, kita perlu memerhatikan orang-orang yang kepadanya kita meminta pertimbangan, seperti apakah orang-orang tersebut. Jika kita ingin meminta pertimbangan tentang pasangan hidup kita, carilah orang-orang yang benar-benar mengerti kriteria pasangan hidup khususnya dari sudut pandang Alkitab. Dalam hal ini, saya lebih merekomendasikan agar kita lebih meminta pertimbangan kepada hamba Tuhan yang sungguh-sungguh dan bertanggungjawab atau orang Kristen yang taat agar kita lebih mengerti pimpinan Allah. Bagaimana jika kita meminta saran tersebut dari orangtua yang melahirkan kita? Kita boleh meminta juga saran dari orangtua kita, meskipun tentu saran orangtua kita belum tentu benar (karena mereka bukan Tuhan kita), karena mungkin sekali mereka memberi saran hanya dari sudut pandang dunia pada umumnya (respon terhadap wahyu umum Allah). Bagaimana jika kita juga meminta pertimbangan dari sahabat/rekan/saudara kita? Kita boleh meminta pertimbangan dari mereka, karena mungkin sekali kita lebih terbuka pada mereka (sesuai dengan usia kita), tetapi sekali lagi, saran mereka pun tetap harus diuji oleh kebenaran Firman Tuhan. Jadi, ketiga objek yang kepadanya kita meminta pertimbangan, pertimbangkanlah terlebih dahulu aspek rohaninya, baru aspek-aspek lainnya, supaya kita lebih mengerti pimpinan Allah, bukan apa yang dunia/orang kehendaki. Ingatlah, jangan pernah menelan mentah-mentah semua pertimbangan yang kita dapatkan, tetapi ujilah semua pertimbangan itu dengan dasar Alkitab saja (Sola Scriptura), lalu putuskan sendiri dengan bertanggungjawab di hadapan Tuhan.

V.    Kehendak dan Pimpinan Allah Vs Kehendak dan Pimpinan Manusia dan Sikap Orang Percaya yang Benar
A.     Bentrokan Kehendak dan Pimpinan Allah Vs Kehendak dan Pimpinan Manusia
Kita tadi telah mempelajari bahwa mengerti kehendak dan pimpinan Allah harus bersumber dari dan diuji oleh kebenaran Firman Allah dan pergumulan di dalam doa. Tetapi fakta mengatakan bahwa sering kali kita mendapatkan dilema yaitu apa yang Allah pimpin dalam hidup kita bertentangan dengan apa yang manusia (misalnya, sahabat, orangtua, dll) katakan/ajarkan. Mengapa terjadi bentrokan ini? Karena ada dua presuposisi dasar yang melatarbelakangi dua bentrokan ini. Presuposisi Alkitabiah adalah presuposisi yang berpusat pada Allah, sedangkan presuposisi non-Alkitabiah (dunia sekuler) MAYORITAS adalah presuposisi yang berpusat pada manusia berdosa. Presuposisi yang berpusat pada Allah adalah presuposisi yang melihat esensi lebih penting daripada fenomena, sedangkan presuposisi yang berpusat pada manusia berdosa adalah presuposisi yang melihat hal-hal fenomena lebih penting ketimbang hal-hal esensi (bahkan tidak sedikit yang membuang hal-hal esensial demi memutlakkan hal-hal fenomenal—meskipun orang ini tidak pernah mau mengakuinya secara terus terang). Untuk mengetahui perbedaan yang tajam antara dua presuposisi ini, perhatikan apa yang Allah sendiri firmankan kepada Nabi Samuel ketika hendak memilih Daud sebagai raja menggantikan Saul, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Sam. 16:7) Ada banyak contoh kasus tentang bentrokan ini dan saya akan memberikan contoh tersebut. Contoh ini saya bagi menjadi dua kasus, yaitu tentang pasangan hidup dan pekerjaan. Kedua, contoh ini saya letakkan antara bentrokan yang terjadi antara otoritas sejati (Allah) dengan otoritas pemberian (orangtua).

1.    Tentang pasangan hidup.
Misalnya, jika Alkitab mengajar bahwa orang percaya mencari pasangan hidup yang seiman, maka di sisi lain, orangtua yang mengaku diri “Kristen” mengajar anaknya bahwa pasangan tidak seiman pun tidak menjadi masalah, karena pasangan kita bisa diinjili (motivasi penginjilan yang keliru). Contoh kedua, Alkitab tidak pernah mengajar bahwa di dalam memilih pasangan hidup, kita harus memerhatikan bibit, bobot, dan bebet sebagai hal yang primer (karena bagi mereka, soal seiman atau tidak, cinta Tuhan atau tidak, itu hal yang sekunder), sedangkan ada banyak orangtua yang sudah diracuni oleh pikiran dunia lalu mengajar anaknya bahwa bibit, bobot, dan bebet itu penting. Contoh ketiga, Alkitab tidak pernah mengajar bahwa fisik, pendidikan, dll pasangan itu yang terpenting, tetapi ada orangtua yang terlalu memerhatikan hal-hal sekunder itu sebagai hal penting, misalnya, ada orangtua yang sampai-sampai memerhatikan flek pada pipi teman cewek yang dikenalkan anaknya yang cowok, lalu mengatakan bahwa hal itu berbahaya. Ada juga orangtua yang mengatakan bahwa teman cewek yang dikenalkan anaknya yang cowoknya itu bakat gendut (maksudnya, suatu hari cewek ini akan gendut), maka jangan memilih teman cewek itu sebagai pasangan hidup. Ada juga orangtua yang memerhatikan teman cewek (atau cowok) dari anaknya yang cowok (atau cewek) itu hidungnya harus mancung, cantik/tampan, dari keluarga yang kaya/berada, tidak boleh berkacamata, pendidikan harus setara (tidak boleh lebih rendah), dll.

2.    Tentang pekerjaan.
Tidak sedikit orangtua dunia (yang lebih menyedihkan lagi: orangtua “Kristen” termasuk di dalamnya) menyarankan (lebih tepatnya “memaksa”) anaknya untuk meneruskan pekerjaan orangtuanya. Ketika anaknya ini telah bergumul di hadapan Tuhan tentang pekerjaan yang BERBEDA dari pekerjaan orangtuanya, orangtuanya langsung “marah” dan terus menguliahi anaknya agar anaknya meneruskan usaha yang telah dirintis orangtuanya bahkan sejak kecil/remaja (misalnya, berbisnis, dll), karena dengan berbisnis ini, anaknya tidak usah lagi “ikut orang”, lalu “menakuti-nakuti” anaknya bahwa kalau kerja “ikut orang” itu tidak enak. Meskipun dengan dalih agar anaknya bergumul di hadapan Tuhan terlebih dahulu, orangtua ini tetap menguliahi anaknya bukan untuk bergumul mencari kehendak Tuhan, tetapi untuk meneruskan usaha orangtuanya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, ada orangtua memiliki anak yang menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan penuh waktu, lalu orangtua ini menguliahi anaknya agar jika anaknya sudah menjadi hamba Tuhan penuh waktu, biarkan istri anaknya nanti meneruskan usaha orangtuanya (yang tidak diteruskan oleh anaknya). Inilah motivasi jahat yang terselubung atas nama “Tuhan” dan “Kristen.”

Dari dua contoh kasus di atas, kita mengerti bahwa apa yang dunia ajarkan adalah hal-hal yang fenomenal, sedangkan apa yang Alkitab ajarkan pasti hal-hal yang esensial dan memuliakan Allah. Menanggapi bentrokan ini, ada dua reaksi yang terjadi ketika ada dilema ini, yaitu, di satu sisi, ada orang yang karena terlalu “cinta” dengan (atau “dipaksa” oleh?) orang-orang dekat (misalnya, pacar, istri, orangtua, saudara, rekan, dll), mereka mengorbankan kehendak dan pimpinan Allah, sedangkan di sisi lain, ada orang yang frustasi mengalami dilema ini, lalu akhirnya memutuskan untuk mengikuti kata hatinya sendiri. Dua reaksi ini jelas-jelas salah, karena hal tersebut tidak pernah memuliakan Allah! Lalu, bagaimana sikap orang Kristen sebenarnya?

B.    Sikap Orang Kristen Sebenarnya dalam Menghadapi Dua Bentrokan Ini
Di dalam menghadapi bentrokan ini, orang Kristen yang sejati seharusnya lebih mementingkan dan mencintai Tuhan dan firman-Nya ketimbang orang lain. Tetapi hal ini tidak berarti kita membenci orang lain. Yang dimaksud di sini, kita mencintai Tuhan lebih daripada kita mencintai siapa pun di dunia ini bahkan orang yang paling kita kasihi/cintai. Tuhan Yesus mengajar, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat. 22:37) Ayat ini disambung oleh ayat 38 yang mengajar bahwa itulah hukum yang terutama dan pertama. Berarti, tidak ada kasih kepada diri sendiri dan sesama tanpa bersumber dari kasih kepada Allah. Jangan pernah membalik urutan ini! Dengan kata lain, dengan prinsip mengasihi Allah dan firman-Nya, maka kita bisa mengambil satu kesimpulan dasar bahwa di dalam mengatasi bentrokan antara pimpinan Allah vs pimpinan manusia, kita harus lebih menaati perintah Allah ketimbang perintah manusia. Rasul Petrus dan para rasul lain berani berkata hal serupa ketika diperhadapkan di depan Mahkamah Agama Yahudi, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis. 5:29) Beranikah kita berkata demikian meskipun harus dimusuhi oleh sahabat/rekan, saudara, pasangan (pacar/istri), bahkan orangtua kita? Jika kita berani, itu tandanya kita anak Tuhan sejati, jika tidak, itu tandanya kita belum mengerti kehendak Tuhan. Biarlah tantangan ini menjadi introspeksi diri kita masing-masing.

Setelah kita berkomitmen untuk lebih menaati Allah, lalu apa yang harus kita lakukan jika bentrokan ini terjadi pada kita? Saya membagi 2 sikap yang harus diambil oleh orang Kristen:
1.    Jika bentrokan ini bukan merupakan hal yang primer, lihatlah cara kerja Allah di balik semua itu
Bentrokan ini harus dibedakan menjadi dua, yaitu bentrokan yang tidak bersifat primer dan bentrokan primer. Jika bentrokan ini tidak bersifat primer, kita bisa mempertimbangkan saran dari orang dekat kita dan melihat cara kerja Allah di baliknya. Yang saya maksud dengan bentrokan bukan secara primer ada dua: pertama, kita mendapat pimpinan Allah yang belum begitu jelas, sehingga kita bisa mempertimbangkan saran dari orang dekat kita (terutama orangtua), kedua, jika kita ditawari dua pilihan (baik itu dalam pekerjaan atau pasangan) yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan, kita mungkin bisa mempertimbangkan saran orang dekat kita (terutama orangtua).
Untuk pengertian pertama, saya memiliki kesaksian tersendiri. Sejak SMP, saya seolah-olah mendapatkan panggilan Tuhan menjadi hamba-Nya, tetapi hal tersebut belum jelas. Itu mungkin keinginan saya waktu itu. Sehingga saya sudah lulus SMU, keinginan saya ingin menjadi hamba Tuhan penuh waktu sedikit ditentang oleh orangtua dan ibu saya menyarankan saya untuk mengambil pendidikan sekuler terlebih dahulu. Waktu itu, sejujurnya, saya kurang suka, tetapi Allah memimpin saya di dalam dunia sekuler tersebut. Ketika saya sedang menjalani tes masuk menjadi salah satu mahasiswa universitas Kristen swasta di Surabaya, di situ, saya biasa-biasa saja, bahkan saya terkesan tidak ada harapan, karena waktu ujian logika, saya lemah di situ. Saya sempat berpikir, kalau tidak diterima di situ, ya, saya masuk universitas Katolik yang sebelumnya juga saya telah pilih sebagai tempat kuliah selain universitas Kristen tersebut. Tetapi puji Tuhan, akhirnya saya diterima menjadi mahasiswa Sastra Inggris di kampus Kristen tersebut. Di situ, Tuhan mulai memproses dan membentuk saya. Awal-awal perkuliahan terasa biasa saja. Kemudian, sejak tahun 2004 (semester awal), saya berpindah gereja ke Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya dan saya banyak mendapat pendidikan iman Kristen di gereja tersebut. Khususnya kira-kira tahun 2006, saya mendapatkan pengajaran iman Kristen di GRII Andhika tentang mandat budaya yang harus dilakukan oleh orang Kristen. Sejak saat itu, saya terus bergumul bagaimana menjalankan mandat budaya di lingkungan sekuler. Akhirnya, saya mencobanya mulai ketika menyampaikan presentasi di perkuliahan Speaking 6. Di dalam presentasi berpasangan/pair presentation (sebagai tugas Ujian Tengah Semester) tersebut, saya memberanikan diri memasukkan unsur iman Kristen ketika membahas tentang pendidikan. Di situ, dosen saya melarang saya untuk menyampaikan hal-hal berkaitan dengan iman Kristen dengan dalih, “iman dan sains itu tidak ada hubungannya.” Saya tidak memerhatikan omongan dosen itu, di dalam presentasi berikutnya sebagai tugas Ujian Akhir Semester, saya kembali memasukkan unsur iman Kristen meninjau masalah feminisme. Kembali, saya dikuliahi oleh sang dosen “Kristen” ini dan saya tidak memedulikannya.
Bukan hanya di perkuliahan Speaking 6, bahkan ketika saya akan membuat skripsi, saya pun terbersit bagaimana memberitakan Injil di dalam skripsi dan akhirnya ide saya ini pun terlaksana. Ketika saya memiliki dosen pembimbing Kristen, saya mengajukan dan terus berkonsultasi tentang skripsi saya yang isinya mengandung Kekristenan. Dosen pembimbing saya tidak mempermasalahkannya. Baru setelah saya selesai sidang skripsi dan proses pengurusan skripsi dan wisuda, teman saya berkata kepada saya bahwa dosen pembimbing saya ini mengajar di perkuliahan (di mana teman saya mengikuti kelasnya) dan menyuruh para mahasiswa untuk membuat paper yang bermuatan rohani. Ketika saya diberi tahu hal ini oleh teman saya, saya langsung kaget. Ternyata perjuangan saya menjalankan mandat budaya tidak sia-sia. Roh Kudus bekerja luar biasa dahsyat, sehingga nama Allah dipermuliakan. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa Tuhan memakai ibu saya yang menentang saya sementara untuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu di atas untuk mendidik saya bagaimana menjalankan mandat budaya dan memberitakan Injil di dalam perkuliahan dan bahkan skripsi serta mengalami penyertaan Roh Kudus yang luar biasa ketika saya menyampaikan presentasi (saya tidak bisa menceritakan terlalu panjang lebar di sini).
Bentrokan yang tidak bersifat primer dalam pengertian kedua dapat diartikan jika ada dua pilihan yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan, kita bisa meminta pertimbangan orang dekat (terutama orangtua). Misalnya, ketika kita ditawari dua macam profesi, yaitu, karyawan perusahaan impor dengan karyawan perusahaan mesin. Kedua profesi ini sama-sama baik dan memuliakan Tuhan (lain halnya jika kita menjadi karyawan perusahaan rokok atau minuman keras/bir). Untuk kedua profesi yang sama-sama baik dan memuliakan Tuhan ini, kita bisa meminta pertimbangan dari orangtua (atau sahabat/saudara) kita, mana yang baik, khususnya pertimbangan lokasi, waktu, dll (bukan melulu masalah gaji). Atau misalnya, sebagai pemuda, kita memiliki 2 teman cewek yang sama-sama baik dan cinta Tuhan, kita bisa meminta pertimbangan orangtua [atau sahabat kita] tentang teman cewek yang benar-benar baik, seperti pertimbangan usia yang lebih cocok. Di sini, pertimbangan orang dekat bisa kita pikirkan ulang, supaya kita tidak salah pilih pekerjaan atau pasangan hidup.

2.    Jika bentrokan ini merupakan hal yang primer dan sangat signifikan menentukan makna dan tujuan hidup kita, pilihlah untuk lebih taat kepada Allah!
Tetapi, jika bentrokan ini merupakan hal yang primer dan sangat signifikan, kita tetap perlu mempertimbangkan saran dari orangtua (dan orang-orang dekat kita), tetapi pertimbangan itu harus diuji dan ditundukkan di bawah otoritas pimpinan Allah. Saya akan memberikan analisa terhadap dua contoh kasus di atas (Poin A) sebagai tanda/bukti kita lebih taat kepada pimpinan Allah.
Pertama, tentang pasangan hidup. Ada orangtua yang mengajarkan anaknya ketika memilih pasangan hidup, perhatikanlah, apakah pasangannya itu: berasal dari keluarga kaya/berada, tampan/cantik, memiliki bibit, bobot, dan bebet yang baik, hidungnya mancung, pendidikan setara, karakter baik, tidak memiliki rekor sakit parah, dll. Mengapa ada orangtua yang begitu protective-nya menetapkan standar-standar tertentu bagi anaknya dalam mencari pasangan hidup? Mungkin sekali orangtua tersebut terlalu sayang dengan anaknya dan menginginkan agar anaknya hidup bahagia dengan pasangannya kelak. Itu motivasi yang baik. Tetapi jika motivasi itu ditunggangi dengan pola pikir memaksakan agar selera anaknya harus 100% cocok dengan selera orangtuanya (bukan cocok dengan selera Tuhan), maka motivasi itu salah dan jahat! Ingatlah para orangtua (khususnya bagi banyak ibu yang agak cerewet), anak-anak Anda (cowok) kawin dengan pasangan cewek, bukan kawin dengan Anda, hai ibu, jadi jangan terlalu memaksakan anak Anda apalagi cowok untuk mencari pasangannya! Bagaimana sikap kita sebagai anak terhadap konsep orangtua tersebut? Taat mutlak? TIDAK! Ingat, prinsip memilih pasangan hidup yang telah saya bahas di atas adalah: lawan jenis, cinta Tuhan/seiman, dan sepadan. Ketiga prinsip utama ini menjadi dasar uji bagaimana memilih pasangan hidup yang baik.
Lalu, bagaimana dengan asumsi orangtua yang mendidik anaknya agar anaknya mencari pasangan yang memiliki bibit, bobot, dan bebet? Presuposisi di balik asumsi itu adalah jika orangtuanya bajingan, maka anaknya pasti bajingan, oleh karena itu, jangan memilih pasangan yang orangtuanya tidak beres. Tetapi, benarkah realita seperti itu? TIDAK juga! Itu generalisasi yang tidak menjamin keabsahannya. Fakta membuktikan bahwa ada anak yang bajingan justru lahir dari orangtua yang baik, sebaliknya ada juga anak yang baik lahir dari orangtua yang tidak karuan. Nah, bukankah telah dikatakan bahwa Alkitab memerintahkan kita mencari pasangan yang seiman/cinta Tuhan? Pasangan hidup kita yang sungguh-sungguh cinta Tuhan, meskipun lahir dari orangtua yang kurang baik, tentu tidak akan terpengaruh oleh orangtuanya yang kurang baik. Jika pasangan kita itu sungguh-sungguh cinta Tuhan, tetapi orangtuanya mencoba memengaruhi dia dengan pikiran jahat, pasangan kita itu pasti menolaknya dan mengikuti apa yang Tuhan mau. Bahkan mungkin sekali, pasangan kita ini nantinya memengaruhi orangtuanya sehingga mereka bertobat. Di sini, konsep bibit, bobot, dan bebet dipatahkan dengan konsep cinta Tuhan.

Selain itu, ada orangtua yang mengajar anaknya untuk mencari pasangan yang tidak memiliki rekor penyakit parah apa pun, misalnya tidak pernah geger otak, darah tinggi, dll, karena itu bisa merupakan penyakit turunan atau bisa kambuh lagi. Alasannya, orang yang sudah pernah geger otak, katanya bisa kambuh lagi, dan lama-lama bisa meninggal. Nasihat orangtua ini baik, tetapi bukan suatu hal yang mutlak! Mengapa?
Pertama, kita harus lebih mempertimbangkan aspek-aspek primer ketimbang sekunder. Jikalau andaikata seumpama (if clause) pasangan kita yang jelas-jelas dipimpin Tuhan benar-benar seorang yang cinta Tuhan, cinta orangtua, mencintai kita, sepadan dengan kita, tulus, baik, apa adanya, tetapi sayangnya dia pernah geger otak. Apakah kita rela meninggalkan dia yang geger otak hanya demi mencari pasangan yang tidak geger otak? Jika memang demikian, berarti kita telah memutlakkan kriteria pasangan yang tidak boleh geger otak (meskipun mulut kita mengaku itu bukan hal yang mutlak). Lalu, kita mencari pasangan yang tidak geger otak, tetapi hal tersebut tidak dipimpin Tuhan, karena dia tidak cinta Tuhan, meskipun kelihatannya dia aktif ke gereja. Jika orangtua kita menyarankan kita memilih pasangan kedua hanya gara-gara dia tidak geger otak saja dan kelihatan aktif ke gereja (meskipun belum tentu itu menandakan dia cinta Tuhan), sebagai anak, kita TIDAK perlu mendengarkan saran orangtua kita, jika itu tidak sesuai dengan pimpinan Tuhan! Kalau Tuhan memimpin dengan jelas, pilihlah pasangan yang pertama dengan resiko siap merawat pasangan kita jika memang suatu saat penyakitnya kambuh lagi. Di sini, kasih mengatasi segala kesulitan dan di dalam kasih ada pengorbanan. Ingatlah, seberapa besar kasih Allah kepada kita di dalam Kristus tanpa melihat kecakapan dan kebaikan dari kita. Jika kita terlalu memerhatikan aspek-aspek sekunder di dalam memilih pasangan hidup, tidakkah kita pernah merenungkan betapa besar kasih Allah kepada kita yang bukan hanya jelek, tetapi parah, kumal, najis, bahkan berdosa? Kasih Allah di dalam Kristus menebus umat-Nya tanpa memandang seberapa najis, jorok, jijik, dan berdosanya kita. Ia mengasihi kita. Apakah kita juga tidak mengasihi pasangan kita yang dipimpin Tuhan itu meskipun ada sedikit kekurangan? (tetapi hal ini tidak berarti kita mencintai pasangan kita karena kasihan dengan dia)
Kedua, kita TIDAK pernah menikah dengan seorang yang sempurna seperti malaikat atau Tuhan! Ingatlah, jika ada orangtua yang menetapkan syarat-syarat mutlak pasangan hidup bagi anaknya, orangtua tersebut sebenarnya memiliki ide yang terlalu sempurna yaitu ingin menikahkan anaknya dengan malaikat! Dan jika ada orangtua seperti itu, percayalah, anaknya tidak akan pernah menikah selamanya. Dalam hal ini, orangtua ini sudah berdosa karena menetapkan kriteria-kriteria mutlak sempurna yang tidak akan pernah ditemui di dalam pribadi siapa pun, lalu mengakibatkan anak ini tidak mau menikah (dan bahkan orangtua juga ikut berdosa jika anak yang dikekangnya ini akan menjadi homo)! Ingatlah, tidak ada seorang pun yang sempurna. Jika ada orangtua yang memaksakan syarat-syarat MUTLAK tentang pasangan hidup bagi anaknya, tolong perhatikan di bagian lain, orangtua pasangan lain juga menuntut hal yang serupa, apakah anak kita itu cukup baik? Ada orangtua yang menginginkan pasangan hidup yang sempurna (seperti bidadari: tinggi, manis, cantik, baik, tulus, jujur, langsing, dll), tetapi orangtua ini tidak sadar bahwa anaknya parahnya bukan main. Jadi, sebelum menetapkan syarat-syarat tertentu, coba periksa kondisi anak Anda yang kepadanya orangtua (Anda) menetapkan syarat mutlak tentang pasangan hidupnya.
Ketiga, rekor penyakit tidak menjamin. Apakah pasangan kita yang sudah pernah geger otak (karena kecelakaan) pasti mengalami geger otak lagi (dan lupa)? Tidak. Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri sudah pernah mengalami geger otak sebanyak 3 kali, tetapi sampai sekarang (68 tahun–2008), beliau masih berkhotbah dengan suara yang keras dan dengan daya ingat yang kuat. Jika kita terus memerhatikan apakah pasangan hidup yang dikenalkan kepada kita memiliki penyakit turunan atau yang lain, kita tidak usah menikah dengan dia, kita cukup menjadi sejarawan saja! Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajar bahwa kalau kita menikah, kita menikah dengan masa depan pasangan kita, bukan masa lalu pasangan kita!
Keempat, cara kerja Tuhan jauh melampaui pikiran manusia berdosa yang terbatas. Kita sering berpikir bahwa kalau pasangan kita pernah mengalami penyakit parah, maka kita tidak usah menikah dengan orang ini, karena pasti penyakitnya akan kambuh lagi (jika geger otak). Benarkah demikian? Penyakit separah apa pun, jika Tuhan mau menyembuhkan, maka penyakit itu sembuh. Ia akan menggagalkan dan menghina semua pikiran kita yang duniawi dengan bekerja melampaui pikiran kita, Ia menyembuhkan penyakit pasangan kita (yang Tuhan telah pimpin), sehingga pasangan kita tidak sakit lagi. Jika kita masih mengunci pemikiran kita bahwa orang yang sudah pernah sakit pasti kambuh lagi, berarti kita tidak lagi percaya kepada Allah yang Mahadahsyat yang mampu menyembuhkan penyakit jika itu sesuai dengan kehendak-Nya.

Contoh berikutnya, ada orangtua yang menyarankan anaknya memilih pasangan hidup yang pendidikannya setara. Benarkah konsep ini? Apakah jika pasangan kita memiliki pendidikan D-3 di kampus biasa, sedangkan kita berpendidikan S-1 atau S-2 dari kampus terkenal menjamin bahwa kita lebih pintar dan bijak ketimbang pasangan kita? Belum tentu. Pendidikan bukanlah kriteria utama. Tidak sedikit dosen yang berpendidikan S-2 ternyata logika dan pernyataannya lebih bodoh ketimbang mahasiswanya yang belum meraih gelar sarjana. Utamakan cinta Tuhan lebih daripada gelar akademis (meskipun tentu akademis itu tetap penting)!

Contoh terakhir, ada orangtua yang memerhatikan fisik calon pasangan anaknya. Jika ada orangtua seperti itu, maka jangan pernah mendengarkan saran itu, karena saran itu sampah adanya. Orangtua yang lebih memerhatikan unsur fisik, misalnya hidungnya kurang mancung (alias pesek), bakat gendut, dll, lebih baik orangtua ini mengelola salon kecantikan saja! Orangtua ini tidak sadar bahwa yang menikah adalah anaknya bukan dia!

Kedua, tentang pekerjaan. Ada orangtua yang memiliki usaha sendiri lalu menyarankan anaknya (anak tunggalnya) untuk mewarisi usaha orangtuanya itu dengan dalih, jika bukan anaknya yang meneruskan, siapa lagi yang meneruskan? Bahkan ada orangtua yang menguliahi anaknya untuk meneruskan usaha orangtuanya ini, karena rekan-rekannya di tempat usaha lainnya menyindir orangtua ini mengapa anaknya tidak membantu/meneruskan. Di sini, sang anak harus memikirkan apa pimpinan Tuhan bagi hidupnya khususnya mengenai pekerjaan? Jika Tuhan memimpin dengan jelas tentang pekerjaan yang harus dia lakukan, maka ia tidak perlu takut jika itu melawan orangtua, karena pimpinan Tuhan yang lebih penting. Dan lagi orangtua Kristen yang taat dan setia kepada Tuhan tidak perlu kecewa jika usahanya tidak diteruskan oleh anaknya (anak tunggalnya), malahan orangtua ini harus bersukacita karena anaknya lebih taat kepada pimpinan Tuhan ketimbang pimpinan orangtua. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, justru ada orangtua “Kristen” yang tidak ditaati langsung “marah” dan mengomel bahwa anaknya membangkang, dll, padahal anaknya lebih menaati pimpinan Tuhan. Inilah logika orangtua “Kristen” yang berdosa. Di mata dunia sekuler, hal ini kelihatan logis, tetapi di mata Allah, hal ini sama sekali tidak logis dan mendukakan hati-Nya! Orangtua Kristen yang sudah tidak lagi mengarahkan anaknya untuk lebih menaati pimpinan Allah dan mengambil alih pimpinan Allah dengan menyamakannya MUTLAK dengan saran/pimpinan orangtua, berhati-hatilah, orangtua tersebut sedang menuju ke arah dosa, yaitu mengambil alih posisi Allah sebagai Pusat dan Sumber! Jangan pernah alihkan fokus rohani kita dari Allah kepada yang lain, karena jika kita melakukannya, Tuhan membenci hal tersebut!

Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki kerinduan lebih mengutamakan kehendak dan pimpinan Tuhan? Ataukah kita lebih mengutamakan kehendak diri dan orang-orang dekat kita demi memuaskan diri kita dan mereka? Sikap kita mencerminkan siapa kita sebenarnya, anak Tuhan sejati atau “anak Tuhan” palsu yang sedang indekos di dalam gereja. Hari ini, kepada siapakah kita meletakkan makna dan tujuan hidup kita? Kepada Allah SAJA kah? Atau juga kepada diri, orangtua, pacar, sahabat, saudara, dan istri kita? Jangan pernah mendua hati, karena Allah membenci orang yang mendua hati! Selagi Tuhan memberi kita kesempatan untuk bertobat, pergunakan waktunya sekarang: BERTOBATLAH! Carilah kehendak dan pimpinan Tuhan dalam hidup kita, maka percayalah, hidup kita pasti memiliki makna dan tujuan yang indah untuk memuliakan-Nya, sebagaimana yang pernah dikatakan Tuhan Yesus, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10) Sudahkah kita memiliki hidup yang berkelimpahan (bukan dalam arti jasmani) di dalam Kristus? Amin. Soli Deo Gloria.

Catatan kaki:
1.    Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.
2.    Cornelius Van Til, The Defense of the Faith (USA: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1955), hlm. 15.
3.     Ilustrasi dan penjelasan ini didapat dari pengajaran Pdt. Sutjipto Subeno. Untuk lebih jelasnya, silahkan membeli dan membaca buku Indahnya Pernikahan Kristen (Surabaya: Penerbit Momentum, 2008) yang ditulis oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Bahan studi lanjut tentang tema ini:
1.    Mengetahui Kehendak Allah (Pdt. Dr. Stephen Tong)
2.    Pergumulan Mengerti Kehendak Allah: Tafsiran Kitab Habakuk (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Kategori: Bahan Renungan Alkitab

Comments

bisa diringkas?

maaf ini panjang sekali apa bisa diringkaskan?
satu lagi. Bagaimana pendapat Stephen Tong mengenai mengetahui kehendak Allah?